Part 17

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Ratri dengan cemas menunggu ibunya pulang. Dia mondar-mandir di ruang tamu, sesekali kepalanya melongok ke jendela. Lalu, saat suara Lurah Samin dan Endang didengarnya, lekas-lekas dibukanya pintu. Wajah cemasnya menyambut kedatangan ibu dan pamannya tersebut.

“Bu … bagaimana?”

Melihat kecemasan Ratri, Endang tersenyum lalu merangkulnya masuk. “Tenang saja, meski gagal membakar gadis itu, warga tak akan berani mengusirmu.”

“Benarkah?” Ratri masih sangsi dengan kata-kata ibunya.

“Tenang saja, Tri. Mamang selaku lurah di dieu, bakalan ngelindungin kamu.” Lurah Samin menepuk bahu Ratri. Dia mencengkeramnya dengan lembut.

Ratri memundurkan diri ketika sentuhan pamannya berubah menjadi elusan. Dia memicingkan mata, curiga dengan niat pamannya. Namun, Lurah Samin mengalihkan pandangan sehingga Ratri tak melihat kilatan nafsu di matanya. Endang pun tak melihat perlakuan adiknya kepada anaknya tersebut, sebab itulah dia segera masuk ke kamarnya, meninggalkan Ratri berduaan dengan Lurah Samin.

Melihat Endang pergi, Ratri bergegas meninggalkan pamannya. Dia merasa pamannya tersebut mulai berubah. Secara pandangan mata, Ratri merasa dilecehkan. Apalagi, pernah dia memergoki Lurah Samin sudah berada di luar kamar mandi kala dia keluar seusai membersihkan diri. Mungkin Ratri hanya merasa curiga, tetapi makin lama tatapan pamannya tersebut makin membuatnya tak nyaman.

Lurah Samin mengernyih melihat ibu dan anak itu kompak meninggalkannya. Sungguh, dia tak pernah merasa dihormati keduanya. Terlebih Endang yang selalu berlaku kuasa akan dirinya. Lurah Samin keluar dari rumah Endang, menoleh sebentar lalu meludah membuang rasa kesalnya.

Tak dia sadari hal-hal tersebut telah dilihat oleh ular hitam berkepala merah. Sang ular segera berbalik, melata, lalu menghilang menembus tembok pagar.

***

Sejak terjadinya penyakit aneh di desa, warga tak lagi keluar rumah jika senja menyapa. Semakin malam, keadaan makin lengang dan hening. Hanya kepak sayap-sayap kelelawar dan serangga malam yang menemani keheningan desa. Desa Kahuripan bagai kampung mati pada tiap malamnya.

Namun demikian, dalam kegelapan malam, sosok manusia mengendap-endap memasuki pekarangan rumah Endang. Dia dengan mudahnya membuka pintu belakang lalu menyelinap dan bersembunyi pada sisi lemari hias. Wajahnya ditutupi topeng kupluk, tetapi matanya sangat awas mengamati sekitar. Setelah yakin tak ada lagi suara-suara maupun pergerakan, dia segera membuka pintu kamar Ratri.

Di dalam kamar, Ratri tengah tidur dengan pulasnya. Sosok bertopeng kupluk itu mendekati ranjang Ratri. Memandanginya dengan sinar mata berahi. Seketika, dia membuka topengnya, menampakkan wajah Lurah Samin yang menyeringai.

Lurah Samin berbalik menuju pintu. Gerakannya perlahan karena takut membangunkan Ratri ataupun Endang yang berada di kamar sebelah. Sudah lama dia merencanakan ini. Rasa kesalnya kepada Endang berubah benci ketika seringnya dia selalu diposisikan pada hal-hal sulit. Dia akan memberikan pelajaran kepada Endang melalui anaknya. Tak peduli Ratri ponakannya, toh gadis itu pun sering kali menatapnya dengan penuh cemooh. Sangat mirip dengan sang ibu.

Saat Lurah Samin bergerak mengunci pintu kamar, saat itu pula ular hitam berkepala merah merayap lalu dengan cepat memasuki mulut Ratri. Ketika Lurah Samin selesai mengunci pintu, ular itu telah masuk sepenuhnya, menebarkan aura penguasa tubuh.

Di sisi ranjang, Lurah Samin menyeringai sambil menggosok-gosok tangannya. Dia memandangi tubuh Ratri bagai predator menemukan mangsa. Perlahan-lahan dia mendekat untuk membekap bibir gadis itu. Tubuh Ratri kecil dan sangat mudah baginya menaklukan tubuhnya. Saat tangannya hendak menekan mulut Ratri, tiba-tiba Ratri membuka mata.

Lurah Samin tergemap hingga langkahnya mundur dua kali. Namun, karena takut Ratri akan berteriak, dia segera menyerang untuk membekapnya. Akan tetapi, belum pun tangannya menggapai wajah Ratri, Lurah Samin kalah cepat sebab Ratri telah mencengkeram lehernya.

“Kau ….” Napas Lurah Samin tersengal-sengal. Dia mencoba melepaskan cekikan keponakannya. Namun, berapa kali pun dia mencoba, cekikan itu makin kuat.

Ratri bangkit tanpa melepaskan cekikannya. Bibirnya mendesis dengan kepala menggeliang bagai gerakan kepala ular.

Wajah Lurah Samin makin pucat karena oksigen yang terhambat. Pegangannya pada tangan Ratri melemah. Napasnya terputus-putus, tubuhnya lemas tak berdaya. Saat matanya hampir memejam, tiba-tiba Ratri mendekati wajahnya, menyeringai, menunjukkan gigi taringnya.

Lurah Samin gemetar ketakutan, tetapi semua terlambat untuknya menjerit. Di detik berikutnya, Ratri menancapkan taring, menyebarkan racun yang langsung menyelar ke sepenjuru pembuluh darah.

Lurah Samin ambruk dengan tubuh penuh lebam membiru. Buih-buih keluar dari mulutnya. Dia membeliak kala rasa panas membuncah dalam rongga dadanya. Seakan-akan ada ledakan dalam tubuhnya, darah keluar dari kedua telinga, mata, hidung, serta mulutnya.  

Melihat targetnya telah meninggal, ular yang menyelapi Ratri keluar kembali dari celah mulut lalu menghilang seketika kala menyentuh lantai.

Ratri sempoyongan kemudian terjerembab di kasurnya. Dia mengerjap-ngerjap menormalkan pandangan yang memburam. Saat pandangannya mulai jernih, dia membeliak lalu bangkit dari kasur. Jantungnya seakan-akan dipukul benda tak kasat mata hingga membuatnya merenyut lebih cepat. Ratri hampir menginjak kaki sendiri ketika mundur dengan tubuh gemetar. Di detik berikutnya, dia berteriak memanggil-manggil Endang.

Mendengar teriakan anaknya, Endang yang terlelap segera terjaga lalu cepat-cepat menuju kamar Ratri. Dia mendorong pintu kamar anaknya, tetapi sulit terbuka. Endang berteriak menyuruh Ratri membuka pintunya, tetapi Ratri seakan-akan tak mendengar teriakannya.

“Buka pintunya, Tri! Cepat!” Endang menggedor-gedor dengan kepanikan luar biasa.

Tahu bahwa ibunya telah datang, Ratri segera membuka selot pintu lalu membukanya. Dia segera menghambur ke pelukan Endang.

“Bu … Bu … itu!” Ratri menunjuk ke dalam kamarnya.

Endang menoleh lalu membeliak saat melihat mayat yang hampir gosong tergeletak dengan darah yang mengalir dari mulut, mata, hidung, maupun kedua telinganya.

“Apa yang terjadi?” Dia melepas pelukan Ratri lalu memasuki kamarnya.

Ratri menangis, menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku tak tahu, Bu. Mang Samin sudah tergeletak begitu saja ketika aku bangun.”

Endang menatap mayat adiknya dengan kebingungan. Namun, ada kemarahan pula dalam hatinya. Samin datang ke kamar anaknya tentu akan berbuat sesuatu yang akan merugikan Ratri. Berpikir demikian, Endang meludahi mayat adiknya tersebut.

“Bu ….” Ratri kebingungan melihat tingkah ibunya.

“Kau tenang saja. Mayat busuk ini bisa menjadi senjata luar biasa untuk kita.” Endang menyeringai.

Ratri masih kebingungan dengan maksud ibunya. Namun, melihat Endang begitu tenang, Ratri tak berani bertanya lebih lanjut. Dia melihat Endang mengambil kain, melilitkan kain itu pada tubuh Lurah Samin, lalu menyeretnya hingga ke ruang tamu.

Endang terengah-engah, tetapi bibirnya dipenuhi senyum. “Satu tepuk, dua lalat akan mati,” gumamnya.

Ratri meremas-remas kedua tangannya melihat Endang yang mengambil gelas berisi teh lalu memecahkannya di samping mayat Lurah Samin. Gadis itu makin tak mengerti kala Endang terkekeh-kekeh sambil membuka pintu rumah. Selanjutnya, dia melihat Endang berdiri di halaman rumahnya lalu menjerit-jerit.

“Tolong! Tolong …!” Teriakannya di malam buta yang hening membuat para tetangga terbangun.

Para tetangga sekitar bergegas menuju rumahnya dengan wajah cemas. Endang dengan penuh air mata menunjuk ke dalam rumahnya.

“Tolong, Pak! Lurah Samin mati. Dia … terkena santet.”

Bersambung ….

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro