Part 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Amanda menutup pintu mobil dengan keras kala melihat Wira tak acuh meski mengantarnya sampai halaman. Dia yakin, pikiran Wira dipenuhi nama Kemoja. Sungguh, gadis kampungan itu amat melukai harga dirinya. Terlebih lagi, di depan ibu Amanda sendiri, Wira mengatakan yang sejujurnya bahwa dia tak bisa mencintai Amanda.

Rosi, ibu Amanda, masih sempat basa-basi dengan Wira. Dia lebih bisa bersikap tenang dan seolah-olah pernyataan Wira hanyalah omong kosong belaka hingga tak memasukkannya ke hati. Namun, ketika mobil telah melaju meninggalkan halaman rumah besar itu, Rosi langsung memaki dan menyumpah serapah.

“Kurang ajar sekali dia. Tidak pernah rasanya aku merasa terhina seperti ini.”

Amanda tak kuasa membendung air matanya. Sementara Andi yang tengah menyetir mencengkeram keras setirnya tiap kali mendengar sedu sedan gadis itu.

“Tenang saja, Manda. Mama akan membicarakan ini pada nenekmu. Dia punya kuasa untuk membuat Wira tunduk. Nenek pasti akan mengungkit janji mendiang kakekmu dan kakeknya. Mama tak akan membiarkan Wira merendahkanmu seperti ini.” Rosi mengepalkan kedua tangannya.

Dia mengikuti Amanda hingga ke pelosok desa menyusul Wira. Namun, yang didapatnya hanyalah penolakan kurang ajar pria itu. Dan, alasannya hanya karena gadis kampung itu. Rosi benar-benar marah dan tak akan memaafkan Wira bila sampai menikah dengan Kemoja.

Amanda lebih cantik dan modern. Tentunya, dia lebih pantas menjadi Nyonya Bratajaya ketimbang gadis kampung itu. Memikirkan penghinaan itu, Rosi makin menyumpah serapah. Saat masih menyumpahi, tiba-tiba saja mobil yang tengah melaju itu berhenti mendadak hingga membuat kepalanya mengantuk jok depan.

“Apa-apaan kau ini?” Rosi memelototi Andi. Namun, pria itu mengabaikannya dan segera membuka seat belt.

Melihat apa yang dilakukan Andi, Amanda yang berniat marah mengurungkannya. Begitupun dengan Rosi. Baru saat itulah mereka melihat objek yang membuat Andi menghentikan laju mobil.

Di depan mobil, disoroti lampu yang terang, sesosok tubuh berlumur darah tergeletak dengan pakaian tak utuh. Wajahnya ditutupi rambut yang basah karena darah. Amanda dan ibunya tercengang lalu berganti takut. Mereka melupakan bahwa daerah itu sepi, bisa jadi perampok saat ini tengah mengintai mereka.

“Andi, kembali!” teriak Amanda. Akan tetapi, pria itu sudah melangkah mendekati sosok tubuh berdarah tersebut.

Amanda akan kembali membentaknya, tetapi urung ketika melihat Andi terjerembab kala membalikkan tubuh yang bersimbah darah tersebut. Bahkan Andi menjerit kaget dan meneriakkan nama Kemoja.

Amanda dan Rosi saling memandang kemudian bergegas keluar. Kala mereka mendekat, Andi sudah melepaskan jaket hitamnya dan menutupi tubuh Kemoja.

“Siapa yang kausebut tadi?” tanya Amanda.

Andi gemetar. Tangannya bahkan bergetar menutupi tubuh Kemoja.

“Aku tak bisa mengantar kalian sekarang. Kita akan kembali ke rumah Wira. Kemoja … dia ….”

“Tidak ada yang kembali!” bentak Rosi.

Hatinya yang semula takut berganti dengan rasa benci. Dia memandangi Kemoja. Meski wajah gadis itu berlumur darah, tetapi garis mukanya dapat dikenali. Ditambah cincin tunangan Wira yang tersemat di jari manisnya membuat Rosi maupun Amanda yakin dia adalah gadis kampung itu. Sebab cincin itu adalah permata warisan dari keturunan Bratajaya yang akan diberikan kepada calon istrinya. Sungguh, rasa takut sebelumnya kini benar-benar lesap dari hati mereka.

“Bawa dia ke mobil. Cepat!” Rosi memerintah Andi. Namun, pria itu tak bergerak sama sekali.

Amanda mengamati Andi lalu pada tubuh berlumur darah itu. Dia membuang napas lalu jongkok di sisi pria itu.

“Andi. Ikuti kata-kata Mama, ya. Tolong, bawa Kemoja ke mobil.”

“Tapi ….”

“Andi.” Amanda menyentuh lengan pria itu. Pertama kalinya dia menyentuh Andi dengan lembut tanpa rasa jijik. Tidak tepat seperti itu, tetapi Amanda harus menahan diri supaya pria itu mau melakukan apa pun perintahnya.

Amanda tidak buta, Andi mencintainya, tetapi dibandingkan Wira, Andi tak berarti apa-apa. Namun, apa salahnya memanfaatkan sang pemujanya saat ini, pikirnya.

Tebakannya tepat. Jantung Andi berdegup kencang, ada rasa membuncah dalam dada kala kulitnya bersentuhan dengan kulit Amanda. Dia tak sadar mengangguk dengan begitu mudahnya, menuruti setiap kata yang dituntutkan Amanda.

Maka, mobil itu pun kembali melaju membawa tubuh Kemoja di dalam bagasi yang semula berisi koper Amanda.

Amanda berganti duduk di kursi sebelah kemudi. Dia dan ibunya bagai memiliki telepati, saling mengerti maksud hanya dalam sekali pandang. Bagi mereka, menemukan Kemoja di jalan berarti Tuhan telah membuka jalan bagaimana menyingkirkan gadis itu.

“Berhenti di tebing sana!”

Bagai dicucuk hidungnya, Andi menepikan mobil di sisi tebing. Amanda dan Rosi segera keluar lalu membuka pintu bagasi. Andi mengikuti, kali ini hatinya mulai diliputi ragu kembali.

“Apa yang akan kalian lakukan?”

“Membuang batu sandungan,” sahut Amanda sambil menarik tangan kiri Kemoja, berniat mengambil cincinnya. Namun, tiba-tiba saja tangan Amanda dicengkeram erat, mata kiri Kemoja membuka sedikit meski yang dia lihat hanya ada kegelapan.

“Aaargh! Lepaskan!” Amanda menjerit dan berusaha menarik tangannya. Dengan bantuan Andi, Amanda berhasil menariknya dan menjauhi Kemoja.

Napas Kemoja tersengal-sengal. Tangannya menggapai-gapai. Tiga orang di depannya menatap waspada. Namun, dalam ilusinya, Kemoja hanya melihat Wira.

“Kang Wira. Kang … tolong Moja. Tolong ….” Ucapannya amat lemah, tapi masih bisa didengar dalam keheningan itu.

Amanda tersulut amarah kala mendengarnya. Dia melangkah maju dan menarik tubuh Kemoja hingga terbanting ke tanah.

Kemoja merintih, dia tak bisa memekik lagi. Dia bahkan tak tahu di sisi mana rasa sakit yang menggelimanginya karena begitu banyaknya luka.

“Apa yang kaulakukan?” Andi menangkap tangan Amanda yang berniat menyeret Kemoja.

Amanda menoleh dan menatap Andi dengan mata berkaca-kaca.
“Kau tahu bukan titik rasa sakitku ini apa? Aku yakin kau tahu. Dan sekarang, aku ingin menyingkirkan rasa sakit hatiku ini.” Dia terisak-isak. “Kumohon, tolong aku, Andi.”

Lagi-lagi, kabut cinta yang buta membuat Andi kembali terlena. Dia tak bisa melihat tangis Amanda. Apalagi ketika Amanda memeluknya, pertahanan terakhir Andi runtuh.

“Andi, tolong aku. Buang dia! Buang dan bunuh dia untukku, Sayang.”

Satu kalimat maha sakti yang membuat Andi bertekuk lutut dan tanpa ragu menuruti. Diiringi janji-janji cinta Amanda, dia mengangkat tubuh Kemoja. Meski dia mendengar rintihan Kemoja menyebut Wira, tetapi hati Andi kian teguh untuk mengikuti apa pun yang diinginkan Amanda.

Malam itu, di atas tebing yang dihantam ombak lautan, disaksikan angin dan rembulan, Andi mempersembahkan tubuh Kemoja kepada lautan.

Amukan ombak menelan tubuh Kemoja, menarik dan mengempaskannya semakin dalam. Tubuh ringkih itu terus melesak memasuki lautan gelap. Hingga pada kegelapan laut, titik keperakan muncul diiringi suara kereta kencana. Titik yang semula kecil makin membesar seiring mendekatnya gemerincing suara. Sesaat kemudian tubuh Kemoja lenyap meninggalkan keheningan laut dalam.

Bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro