Part 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Sudah seminggu Kemoja menghilang. Wira mencarinya, mengacak-acak berbagai desa serta memasuki hutan dengan mengerahkan tim pencari juga warga desa yang dibayar. Kecemasannya makin merebak setiap harinya. Tiap kali salah satu pekerjanya melaporkan hasil yang nihil, ketenangan Wira makin tercerabut.

“Sabar, Nak. Kamu harus tenang.” Asih, ibu Wira, membelai punggung anaknya.

Wira hanya menatap hamparan hutan di bawah bukit tanpa berniat sedikit pun bersuara.

“Jika kamu tidak tenang, kamu sendiri yang akan menemukan celaka, Wira. Lihat kondisi tubuhmu. Sudah berapa hari kamu tidak makan dengan baik. Ibu tahu kamu mencintai Kemoja, kamu cemas memikirkannya, tapi kamu harus menyayangi dirimu sendiri. Jika Kemoja tahu, dia pun akan sedih. Bukan hanya Kemoja, Ibu pun sedih dengan keadaanmu saat ini.”

Asih memandangi wajah anaknya yang mulai ditumbuhi kumis dan janggut kasar. Garis hitam bawah matanya kentara sekali karena kurang tidur. Matanya kuyu dan layu, tetapi Wira enggan menutupnya hanya sekadar untuk beristirahat.

Wira perlahan menoleh, menatap sendu ibunya. “Maaf … Bu, bukan maksudku ….” Dia memeluk ibunya, mencari kekuatan dan dukungan di sana.

“Ibu tahu, Nak. Ibu mengerti apa yang kaualami.” Asih menepuk-nepuk punggung anaknya, mencoba memberikan kekuatan.

Asih tidak pernah membantah apa pun pilihan hati Wira. Dia memang sempat keberatan karena Wira membatalkan pertunangannya dengan Amanda, tetapi Asih mencoba mengerti hati anaknya. Sebab itulah dia tak melarangnya mencintai Kemoja. Namun, siapa yang mengira nasib gadis itu tak diketahui rimbanya. Sudah tujuh hari, tetapi pencarian mereka tak menghasilkan apa-apa.

“Den Wira! Den ….” Rasta, salah satu pekerja kebun, tergopoh-gopoh menghampiri Wira dengan menaiki undakan anak tangga.

Wira melepas pelukan ibunya. Jantungnya berdegup kuat, entah mengapa dia merasa kedatangan Rasta ada hubungannya dengan kabar Kemoja.

“Ada apa?”

“Den, cepat ke rumah Kemoja. Cepat, Den!” Dengan satu tarikan napas, Rasta berhasil mengatakannya sambil menunjuk ke arah desa.

Wira masih tak mengerti, tetapi dia bergegas menuju ke arah rumah Kemoja diikuti Rasta yang harus kembali berlari, mengejar tuannya.

Setiba di halaman rumah Kemoja, beberapa warga telah berkumpul. Di tengah halaman, Endang dan Ratri menunduk sambil menangis sesenggukan. Wira menyibak kerumunan dan menuju keduanya. Kedatangan Wira membuat Endang dan Ratri mendongak.

“Ada apa ini?” Wira mengitarkan pandangannya lalu berhenti pada Ratri. “Kau membuat masalah?” tuduhnya.

Ratri meremas selendang biru di tangannya. Wira masih begitu dingin dan tak acuh, sikapnya makin menjadi-jadi karena hilangnya Kemoja. Dia mengangkat selendang di tangannya lalu melemparkannya kepada Wira.

“Kau mencari Kemoja, kan? Kau tahu … orang yang kaucari-cari itu selama tujuh hari ini bersenang-senang dengan pamanku!” Dengan lantang Ratri bersuara. Dia memandangi warga yang berkumpul karena panggilannya.

“Hari ini, aku akan katakan kepada kalian. Kemoja yang kalian kenal, nyatanya tak sebaik dan sealim itu. Apa kalian tahu ….”

“DIAM!” sentak Wira.

“Den Wira yang seharusnya diam dan dengarkan penjelasan kami.” Endang berdiri di depan Ratri menghalangi tatapan penuh amarah Wira kepada anaknya.

“Kami berbicara jujur dan apa adanya. Kami pun membawa buktinya.” Endang mendongakkan dagunya, kepercayaan diri yang mutlak.

“Kalian ….”

“Wira!” Asih, yang ternyata menyusul, mencegah Wira yang berniat maju. Dia menggelengkan kepalanya dengan tegas, menyuruh Wira menahan amarah.

“Den Wira, aku dan Ratri telah menyembunyikan ini sejak lama darimu juga dari para warga. Kenyataannya Kemoja memang tak sebaik yang kalian lihat. Dia iblis yang mudah menipu orang-orang. Apakah kalian tahu, Kemoja sedang hamil? Dia hamil dengan adikku, Jaya. Sebelum bertemu Wira, dia telah menjalin hubungan dengan Jaya. Namun, melihat betapa kaya rayanya Den Wira, dia berpaling dan mencoba menggodamu.”

Warga desa yang berkumpul, saling berbisik-bisik, menyuarakan penilaian mereka. Wira ditahan Rasta ketika mendengar ucapan Endang. Begitupun Asih yang mencoba menenangkan anaknya.

“Kau menuduh tanpa bukti, Bu Endang,” sahut Asih.

“Aku bukan tanpa bukti berkata demikian.” Endang menoleh dan dengan kedipan matanya menyuruh Jaya maju dari kerumunan.

“Dia … adikku, dialah kekasih Kemoja.”

“KALIAN PEMBOHONG BIADAB!” teriak Wira.

“Wira, aku dan ibuku tak berbohong. Pamanku dan Kemoja menjalin kasih, bahkan Kemoja tengah mengandung anak pamanku. Kaulah yang buta dan ditipu kecantikannya.” Ratri berkata dari balik punggung ibunya.

“Tutup mulutmu!”

“Jaya, bicaralah! Buat orang-orang ini percaya bahwa Kemoja adalah kekasihmu.”

Asih memandang Jaya, menelitinya dengan pandangan ragu. Usia pria itu sekitar 40-an tahun, meski terlihat rapi tetap saja Asih tak bisa memercayai jika Kemoja menyukainya.
“Apa bukti bahwa Kemoja adalah kekasihmu?” tanya Asih langsung.

Jaya yang semula menunduk, mendongak perlahan-lahan. Dia sangat tenang meski di dalam hatinya cemas luar biasa. Namun, dia harus melakukannya demi uang yang dijanjikan kakaknya. Jaya akan melarikan diri ke pulau seberang sebab polisi bisa saja mengendus keberadaannya di desa ini.

“Aku dan Kemoja tidak hanya saling mencintai dan memuja, tapi kami … juga sudah mengenal bagian tubuh masing-masing.”

“Kurang ajar! Tutup mulut busukmu, aku bersumpah, aku tak akan memaafkan kalian!” teriak Wira.

Rasta berusaha menahan tubuh majikannya agar tak lepas kendali. Karena melihatnya kesusahan beberapa pria lain membantunya menahan Wira.

“Lepaskan aku, Berengsek! Lepaskan!” Wira berusaha menendang mereka.

“Wira, tenanglah!” Asih menyentuh lengan anaknya. Dia sangat sedih melihat keadaan anaknya yang makin tak keruan.

“Aku bisa membuktikannya, Den Wira.” Jaya kembali berucap. “Kemoja memiliki tahi lalat di punggung sebelah kiri. Bahkan, tiap kali dia berkunjung ke rumah Ratri, di sana kami bercinta memadu kasih.”

“Laknaaat!” Wira mengerahkan seluruh tenaga lalu berhasil mendorong Rasta dan pria lain yang menjegalnya. Dengan beberapa langkah lebar, dia berhasil meraih Jaya lalu membantingnya.

Endang dan Ratri menjerit ketika Wira menerkam Jaya lalu memukulinya bak kesetanan. Asih meneriakkan namanya dan berusaha menarik Wira, tetapi kekuatannya bagai angin lalu. Rasta dan beberapa pemuda lain mencoba menghentikan Wira, tetapi keteguhan Wira tak dapat ditandingi.

Wira makin beringas memukuli wajah Jaya. Jaya mengaduh dan mencoba melawan, tetapi kekuatannya tak setangguh itu untuk membalik keadaan. Hingga kemudian, Asih berteriak bercampur tangis.

“Hentikan, Nak, hentikan. Jangan biarkan dirimu menjadi sosok seperti yang mereka inginkan. Hentikan, Wira. Ibu mohon kepadamu.” Asih memeluk Wira dari belakang.

Merasakan pelukan itu, Wira menggantung kepalan tangannya yang telah berlumur darah, menghentikan pukulannya tepat di depan mata Jaya. Air matanya menetes dan jatuh ke wajah Jaya. Dia bangkit perlahan-lahan sambil menatap wajah Endang serta Ratri yang bersembunyi dan mengintip di belakang tubuh ibunya.

“Aku tak akan pernah percaya satu kata pun dengan yang kalian ucapkan. Aku akan tetap mencari Kemoja. Dan saat kutahu apa yang kalian katakan adalah kebohongan, aku akan menagih utang ini.”

Tubuh Endang bergetar ketakutan mendengar ancaman Wira. Namun, dia enggan menampakkannya. Dia bahkan mendongak angkuh, mencoba memengaruhi para warga bahwa dirinya tak bersalah.

“Tuhan tahu, jika aku berbohong, alam pasti akan membalasnya. Tapi … yang kukatakan adalah kejujuran. Kemoja pergi saat ini karena dia tak ingin menikahi Den Wira. Dia ….” Endang membelalak ngeri kala Wira melemparkan batu kecil yang hampir mengenai pelipisnya.

“Diam, atau kau memilih mati?”

Bersambung ….

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro