Kue Lapis

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Iya-iya. Gue, kan selalu datang di waktu yang tepat. Lonya aja yang ngga nyadar."
.
.
.
.

Wilujeung reading

//

Pagi tadi, Ratna diamanahkan ibunya untuk membeli kue lapis di seberang sekolah. Namun, ia lupa tak membawa uangnya.

Akan tetapi, yang menjadi masalahnya bukan itu. Ia sudah terlanjur memesan kue lapis. Sekarang Ratna tengah kebingungan, antara kabur atau tetap menunggu penjaga kue yang sempat melayaninya tadi.

Tali tasnya terus ia putar. Jantungnya malah mengadakan pesta di tengah kebingungannya. Peluh mulai lomba maraton di kening Ratna.

Kebingungan Ratna masih berlanjut. Hingga detik berikutnya mba-mba yang melayani gadis berseragam putih abu-abu tadi tiba di tempatnya berdiri.

"Ini Dek, pesanannya." Ratna memperhatikan paperbag yang ia yakini berisi kue lapis pesanan ibunya.

"Dek!" Mba-mba itu memanggilnya lagi lebih keras.

"Eh, iya Mbak. Hng anu—"

"Ini uangnya, Mbak." Seorang pemuda berseragam sama dengan Ratna mengambil alih paperbag tersebut lalu menarik Ratna ke luar toko.

"Duit lo ketinggalan, kan? Gue yakin deh. Coba ceritain."

Ratna masih belum bisa menyembunyikan keterkejutannya atas kejadian beberapa menit lalu. Namun, selanjutnya ia tetap menceritakan semua pada pemuda itu.

Sehabis sarapan tadi, Ratna terburu-buru menghabiskan susu dalam gelas. Setalah menyalimkan tangan pada ibunya ia segera berlari ke luar menyusul sang ayah di pekarangan rumah.

"Nana, jangan lupa ya kue lapis pesanan Ibu!"

"Iya, Buk! Nana pergi Assalamualaikum!" Ratna menaiki jok belakang motor bebek sang ayah yang selama 13 tahun terakhir selalu mengantarnya pergi sekolah.

|| Their a Little Story ||

"Jadi gitu ceritanya."

Bibir Ratna dekerucutkan bak bebek tengah merengut. Ia sedikit kesal dan ingin marah pada diri sendiri atas kecerobohannya pagi tadi.

Pemuda yang membayar kue pesanan Ratna tadi tertawa di sampingnya. Kemudian mengajak gadis itu duduk di bangku halte yang tak jauh dari toko kue.

Lelah bercerita sambil berjalan, Ratna pun mengikuti pemuda itu untuk duduk.
"Eh, Utih koo tau Ratna mau ke toko kue. Ratna kan tadi ngga cerita apa-apa sama Utih."

Utih, nama pemuda yang jangkung pundaknya melebihi kepala Ratna kembali terkekeh mendengar pertanyaan gadis itu. "Iya, tadi gue ngga sengaja lewat rumah lo. Eh, nyokap lo manggil. Ya udah gue samperin deh."

"Iiih Ratna, kan tanya kenapa Utih bisa ta—"

Pemuda itu mencapit bibir tipis Ratna dengan ibu jari dan telunjuknya. "Makanya kalau orang belum selesai cerita itu jangan dipotong."

Ratna mengangguk dan hanya bergumam karena bibirnya masih dicapit.

Selama mengapit bibir Ratna dengan tangannya, Putih Akhtaj—lengkapnya—menceritakan kenapa ia mengetahui Ratna berada di toko kue.

Pagi ini, ia sengaja berjalan melewati rumah Ratna. Niatnya ingin pergi bersama dengan gadis—yang selama ini dipujanya—itu. Namun, pupus karena 'gadisnya' sudah pergi lebih dulu dengan sang ayah—calon mertua.

Baru saja melewati pagar rumah Ratna, namanya dipanggil oleh wanita paruh baya untuk mendekatinya, yang tak lain adalah ibu Ratna.

"Ada apa Buna?" Putih menghampiri ibu Ratna dan berdiri di antara pagar dan wanita itu lalu meletakan tangannya di besi-besi yang berjajar.

"Ini, Utih. Ibu tadi titip buat beliin kue lapis ke Ratna. Tapi anak itu ceroboh, masa uangnya ngga diambil. Padahal kan Ibu belum kasih uangnya main pergi aja sama ayahnya. Kebiasaan banget anak itu."

Mendengar celoteh ibunya Ratna, Putih tersenyum mengingat kembali beberapa kecerobohan Ratna.

"Utih! Dengar Ibu ngga? Malah senyam-senyum sendiri ih!" Ibunya Ratna memukul ringan tangan Putih.

"Eh, iya Buna denger kok. Mana Bun, nanti Utih yang kasih uangnya deh ke Ratna."

"Duh! Anak Buna yang satu ini paling pengertian deh. Belum juga Buna minta, udah ditawarin. Makasih, ya Utih." Seletah memberikan uang pada Putih, Ibunya Ratna mengusap rambut pemuda itu.

Selepas bercerita Putih menatap Ratna. "Ngerti, kan maksud gue?"

Ratna menjelma menjadi anjing mainan di dashboard mobil yang sering diliatnya di angkot. "Hm hmm hmm."

"Ditanya malah hm hm doang. Mau nyanyi?"

"Hmm hm hmmm."

"Killahadzil ard mataqfii masahaAAAH! Ih kok gue dipukul?!" Putih memelototi Ratna dan mengusap-usap tangannya yang kena pukul gadis itu.

"Lagian, Utih malah nyanyi. Bibir Ratna masih aja dicapit!"

"Oh oh oh gue ngerti. Pantesan daritadi lo hm hm doang. Kirain mau nyanyi."

"Bodooo. Huh!" Ratna memukul ringan pundak Putih dan membelakangi pemuda itu.

Tawa pemuda itu kian menyembur di udara menertawakan kebodohannya dan Ratna yang tengah kesal.

Di sisa-sisa tawa Putih, Ratna berbalik. "Em, Utih. Makasih, ya. Udah dateng di waktu yang tepat, kalau ngga pasti tadi Ratna bakal malu banget."

"Iya-iya. Gue, kan selalu datang di waktu yang tepat. Lonya aja yang ngga nyadar." Putih mengusap lembut kepala Ratna.

"Hah? Maksudnya apa? Kok Ratna ngga ngerti."

"Ngga, lupain. Yok balik!" Putih menarik Ratna berdiri dan merangkul gadis itu seraya meninggalkan halte menuju rumah.

[ Their a Little Story]

Jol ojol kepikiran bikin cerita ginian pas dapet tugas 🤣

Dah ah. Mau bersemedi lagi babay mwah💖

Bandung, 21 July 2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro