Buk bercerita [Mama Dera Tersayang]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Mama Dera Tersayang
Pengarang Jumaidapulungan21


        Dera melanyak pintu utama dengan tas ranselnya. Menerobos masuk tanpa mengucap salam ataupun sekedar menyapa mama yang tengah membereskan bekas makan malam. Air mata berderai di pipi mulus Dera yang kini berubah memerah. Kulit beningnya sudah seperti permukaan lipstik karena menangis. Ia langsung berlari menaiki tangga demi tangga. Tujuannya hanya kamar. Tanpa menyentuh apapun, melirik siapapun. Dera tak memperdulikan apapun. Bahkan panggilan sayang mama. Ia hanya ingin kasurnya untuk mengadu.

         Mama buru-buru mangkir dari tempatnya berdiri. Memasukkan sisa lauk dengan cekatan ke dalam lemari saji. Seakan-akan mengikuti setiap jejak langkah Dera.
"Sayang, Dera ...." Entah untuk yang keberapa kalinya panggilan itu dibiarkan lenyap. Tanpa balasan.

Brak ....

Astaghfirullah

         Langkah kaki mama seketika slow motion. Banyak pernyataan yang menghujam pikirannya. Terutama mengapa Dera kembali dengan menangis setelah ditunggu satu jam lebih untuk makan malam bersama ayahnya yang jarang sekali bisa pulang ke rumah.

         "Sayang," panggil mama. Parau, nyaris tak terdengar. Dera membisu. Tengkurap di ranjang sambil menatap gorden jendela. Mama duduk berlahan di bibir ranjang.

         "Sayang, boleh mama ikutan selonjoran di kasur kamu? Sudah lama kita tidak ngobrol." Berusaha minta izin.

          Tanpa diduga. Dera beranjak dan langsung menjatuhkan tubuhnya ke dalam dekapan mama. Air matanya semakin deras. Mama membalas dekapan itu. Mengelus-ngelus pucuk kepala hingga punggung Dera. Rambut Dera berantakan, kebas, dan sedikit berpasir. Rambut yang selalu berusaha mama tutupi dengan hijab. Namun, Dera selalu menolaknya. Celana jeans sobek lutut itu, pun bercak-bercak. Kotor.

            "Kamu kenapa, Sayang?"

            "Dera cuma mau ditemenin tidur sama mama."

            "Boleh dong."

             Dera melepas pelukannya. Bergeser ke tengah kasur dan memberi tempat untuk mama. Kini, dua ibu anak itu saling merapatkan tangan. Fokus ke arah lampu tidur di atas rak buku. Kamar seketika lengang. Tampaknya Dera masih enggan berbagi. Mama terus mengelus dan menarik lembut rambut Dera. Berharap kehadirannya dapat menjadi sandaran dan peraduan untuk anak semata wayangnya yang selalu menolak menutup auratnya.

             "Ma," seru Dera akhirnya setelah hampir satu jam terbaring. Mata mama yang sudah tertutup, terbelalak.

              "Iya? Dera tidak bisa tidur, ya?"
             "Ma, apa semua laki-laki sepengecut dan sebrengsek kayak ayah?"

              Pertanyaan itu ... pernyataan yang sama dengan apa yang dipertanyakan Dera saat ia masuk kelas 1 SMA. Dua tahun yang lalu. Tepatnya saat Dera tahu kalau ayahnya sudah menikah lagi. Bahkan sejak Dera masih duduk di bangku kelas 2 SD. Mama menutup rapat realitas itu. Mama ... mama selalu tampil baik-baik saja di balik deru pengkhianatan. Mungkin mama melakukan semua itu demi Dera, tetapi Dera pun sama. Dera tidak suka ada seseorang yang menyakiti mama. Terlebih-lebih sejak ia tahu ayahnya selingkuh dengan rekan kerjanya. Mungkin juga, hal itu yang mengubah sikap lembut Dera menjadi bengal. Tidak menerima opini dari orang lain. Hanya mama, cukup baginya.

              "Ayah tidak seperti itu, Sayang," bela mama.

              "Mama nggak bisa bo'ongin Dera lagi, Ma. Dera bukan anak kecil lagi. Dera tahu semua tentang ayah."

              "Sayang, bagaimanapun buruknya ayah kamu. Dia tetap ayah Dera." Dera tahu, mama pun merasakan sakit yang teramat setelah dimadu dan dikhianati. Hanya karena mama seorang PNS, tak semudah itu mengurus perceraian.

              "Bagi Dera sama saja," tegasnya.

              "Coba deh Dera cerita kenapa Dera ngomong seperti itu?"

              "Reno, Ma. Reno selingkuh. Dera diduain. Eh, ngga ditigain, Ma. Coba deh mama bayangin sejahat apa dia itu. Langsung Dera putusin Reno waktu labrak tadi. Dera nggak suka sama cowok yang nggak bisa setia sama satu cewek, kayak ayah."

               "Dera, Reno 'kan masih pacar kamu--"

        "Mending, Ma, dari pada ayah. Sudah punya istri, malah nikah lagi. Dera bersyukur banget belum sampe nikah sama Reno."

                "Emang kamu mau nikah cepat? Nggak mau kuliah dulu?"

                "Mama ...," rengek Dera.

                "Gini deh ... ingat nggak, ayah pernah ngelarang kamu sama cowok itu? Kamu sampai debat hebat sama ayah waktu itu. Itu tandanya ayah masih peduli sama Dera." Dera berdehem ketus. "Ayah udah bukan ayah yang dulu, Dera. Bahkan udah beda banget sekarang. Coba deh kamu mau diajak ngobrol sama ayah. Nggak ngindar mulu kayak gini. Bener deh, mama nggak bohong."

                "Mama kayak tukang bo'ong aja."

                "Dera, mama selalu berusaha kuat membunyikan kenyataan ibu tiri kamu, tapi mama tidak boleh egois. Artinya, kamu juga perlu tahu kalau kamu punya ibu tiri. Awalnya, mama pikir kamu bakal maklum karena usia kamu waktu itu sudah lima belas tahun. Tapi, ya, akhirnya kamu justru berubah drastis kayak begini. Sampai lepas jilbab, malah. Sebenarnya ...." Suara mama mendadak serak. "Sebenarnya mama sedih saat kamu memutuskan membuka jilbab kamu."

                "Ma, maafin Dera. Dera cuma benci sama ayah, bukan sama mama."

                "Kalau begitu, anggap permintaan supaya kamu kembali seperti Dera yang dulu dan kembali nutup rambut kamu itu permintaan mama."

                 Hening. Dera memberi satu inci jarak tangannya dengan tangan mama. Bahasa penolakan. Tidak. Lebih seperti ... Dera sedang ragu dan bingung. Ia sangat membenci ayahnya yang satu tahun belakangan selalu ingin mengajaknya bicara. Sementara, di sisi lain, ia sangat menyayangi mama.

                 "Anggap deh, ini permintaan terakhir mama. Sebelum mama--"

                "Mama, jangan ngomong itu lagi, pliss." Belakangan mama suka bicara seram. Mengungkit kematian segala.

                 "Mama cuma mau yang terbaik untuk Dera. Menutup aurat dan menjadi manusia yang taat itu perintah Allah langsung lho, Sayang. Ada tanggung jawab mama juga di sana. Pakai jilbab Dera dan kembali seperti dulu, pliss."

                Sinar lampu LED itu terus menerangi ruangan ukuran 4 x 3 m. Mama terus mengelus rambut Dera. Sementara Dera masih bungkam mendengar kata-kata mama terakhir.

               "Ma, Dera akan nemuin kenyamanan kayak dulu lagi kalau Dera pakek jilbab tidak?"

              "Pasti dong, Sayang."

              "Dera nggak tahu gimana idup Dera kalau ngga ada mama. Nggak tahu deh idup Dera bakal kayak apa tanpa ada mama."

               "Dan cuma Dera yang ada dalam hidup mama."

               "Mama lebih gombal dari mantan Dera, ih."

               "Beda dong, yang ini lebih tulus."

               "Mama yang paling tulus pokoknya. Fiks, no debat." Mama cekikikan mendengar perkataan manja Dera.

                Tiba-tiba gorden transparan yang menutupi jendela kamar Dera disapu angin dari luar. Angin berderu masuk. Daun jendela belum dikunci rapat. Mama segera beranjak.

                 "Duh, anginnya kenceng banget, ya, Sayang. Kayaknya bakal hujan deras nih. Alhamdulillah, kamu udah sampai rumah." Mama kembali baring di samping Dera. "Mau ketemu ayah nggak besok? Ayah tadi cerita mau ke Paris liburan akhir tahun. Kira aja Dera mau ikut sekalian kenalan sama ibu kedua," seloroh mama.

                 "Kalau nggak sama mama, Dera nggak mau."

                  Percakapan terus terjadi. Bahkan hingga keduanya terlelap. Hingga suara perbincangan itu berubah menjadi doa dan harapan. Harapan tentang apa saja yang semoga menjadi kenyamanan esok, lusa, dan selamanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro