Bulan bercerita [Balik Asuh]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng




Balik Asuh
Pengarang (Akun Wp) : tane_chan


"Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu." [QS. Lukman: 14]


“Oi, Buyuang¹! Lamo bana²!” seruan lengking itu membuyarkan lamunanku. Sebentar lagi aku akan mengalahkan Putri. Aku bisa mengalahkan anak Kepala Jorong kali ini. Pertandingan belum berkahir. Namun, konsentrasiku buyar dengan adanya dia berdiri tegak di ambang pintu. Sebuah sapu lidi dengan ujung berjenjang dan ikatan yang mulai longgar masih digenggam erat. Daster biru dengan lukisan warna warni bunga membalut tubuhnya yang kurus.

Daster itu sedang sedang popular di kalangan ibu-ibu Nagari Sasak. Pernah sekali kuantarkan Umak ke toko kain kesayangannya, binar kebahagian tampak jelas di mata beliau. Kehadiran daster berbunga-bunga itu—yang kini memeluk longgar di tubuhnya—menjadi salah satu sumber kebahagiaan Umak.  Sayang sekali, itu tidak menular padaku, khususnya petang ini.

“Ayo lekas, sebentar lagi Magrib. Mau kuseret ke bilik mandi?” Suara cempreng khas Melayu itu benar-benar mengganggu rencanaku sore ini. Mengalahkan Putri bermain engklek—disebut permainan bensir di daerah kami—kandas seketika.

“Sebentar lagi, Mak! Belum dapat bintang.” Aku meniup bensir bulat sebelum melemparnya ke atas bidang-bidang datar yang diambar di permukaan tanah. Bensir itu terbuat dari potongan keramik yang diperhalus dengan menggesekannya satu sama lain atau pada batu agar lebih halus.

“Bintang apa pula yang kau cari, Buyuang? Ayo lekas mandi!” Sekali lagi Umak menyeru tanpa memindahan kaki dari ambang pintu. Mungkin enggan mencari sandal yang kusembunyikan tadi siang di dekat tong sampah. Aku melakukannya karena beliau enggan membelikanku es krim tong tong yang lewat. Seperti halnya daster yang menjadi salah satu sumber kebahagiaan Umak, begitu pula status es krim tong tong dalam hidupku.

“Jan banyak gaya³! Capek ka mari!⁴ ” Sapu lidi masih di tangan kurusnya. Suaranya menggetarkan hatiku, membuat bensirku tidak terkontrol, membuat lemparanku meleset.
Aku kalah.
“Ah, Mak! Kalah aku dari Putri gara-gara Umak,” rengutku justru dibalas tawa penuh ejekan dari Putri. Kupandangi bensir yang terdampar di kepala bidang persegi di atas tanah. Satu kotak lebih atas dari kotak yang seharusnya.

“Apa kubilang? Kau mana bisa mengalahkanku, Khalid!”
Hatiku memanas. “Ayo ulang lagi. Rematch!” Kutiru kata-kata rematch dari acara pertandingan bulu tangkis yang disiarkan di TVRI.

Jika ada pertandingan bulu tangkis, itulah satu-satunya waktuku menonton bersama Apak[5]. Apak dan aku sama-sama menyukai bulu tangkis. Ricky Subagja dan Rexy Mainaky, pasangan pemain bulu tangkis favorit kami berdua. Apak kerap menonton di kedai Mak Ilih, aku pun mengekor. Jika bukan karena bulu tangkis, tentu aku sudah diusir—kembali ke rumah. Saat bulu tangkis disiarkan, cita-citaku hanya satu, bisa menontonnya langsung atau di rumah. Duduk di kedai Mak Ilih membuat leherku keram karena posisi TV di dinding—nyaris menyentuh atap.

“Jadi, bagaimana? Rematch?” tantangku sekali lagi. Kedua tangan sengaja tersilang di depan dada, 
“Sudah sore, aku harus pulang mandi. Sebentar lagi harus berangkat ke surau.” Putri mengelak dari tantanganku.

“Untuk apa ke surau?”

“Mengajilah,” tukas Putri lagi.

“Dan kau pun harus pergi mengaji!” Tiba-tiba tangan kurus di ambang pintu tadi sudah menjepit erat daun telingaku. Aduhai sakitnya.

“Aduh, Mak! Sakit!” Aku mengerang.

“Salah sendiri! Dipanggil-panggil dari tadi, tidak juga menurut kata-kata Umak. Apa itu? Dapat bintang dulu? Bintang apa lagi maksudmu? Anak gadis pula yang dilawan. Wa’ang [6] laki-laki main sama laki-laki, bukan sama perempuan!” Umak tak mau tahu dan menggiringku ke dalam rumah, melewati ruang tamu, lanjut ke ruang makan, lalu bersimpuh di ruang kerja Umak alias dapur.
Suara hantaman kuali besar yang biasanya digunakan Apak untuk membuat kuah sate terjatuh dari tempatnya digantung, mungkin pakunya terlepas dari dinding. Kuali itu cukup berat. Mataku membola saat ke mana kuali itu akan mendarat. Umak terjatuh. Aku terkejut. Terlambat!

“Umaaaak!!”


***


Aku mengelus tangan Umak. Tangan itu masih kurus, ditambah sudah keriput, tulang-tulangnya menonjol sempurna. Berbeda dengan saat kukecil dulu, saat Umak masih bekerja sebagai pencuci baju.
Kubelai dan kuciumi punggung tangan keriput itu. Ada tonjolan pembuluh vena yang sangat jelas terlihat di sana. Kuciumi tangan yang dulu sering mencubit telingaku saat aku tak mau mendengarkan perintahnya untuk segera mandi.

“Khalid.”

Aku menghapus ujung mata dan mendongakan kepala. “Umak! Umak sudah sadar!” Tak bisa kusembunyikan kelegaan dalam suaraku.

“Mana Khalid?” Suara Umak sangat lirih, tetapi aku mampu mendengarnya dengan jelas. Bahkan jika itu suara kalbu Umak, aku kini sudah mulai mengerti.

“Ini Khalid, Mak.” Kujawab pertanyaan Umak dengan sabar. Bukankah dulu beliau juga sudah sangat sabar membesarkanku? Sudah seharusnya aku pun sabar di masa tuanya.

Pandangan Umak terlihat tidak percaya. Ada keragu-raguan di sana. “Besar sekali badanmu! Berapa karung beras yang kau makan? Anakku tidak serakus itu.”

Aku bingung. Yah, itulah Umak. Ingatannya tak lagi setajam saat aku masih kecil dulu. Terkadang ia salah mengira cucunya sebagai diriku.

“Nah, itu Khalid.”

Aku menoleh ke arah mata Umak memandang. Seorang bocah delapan tahun yang digandeng oleh seorang wanita berhijab baru saja masuk ke ruang rawat. Umur wanita itu hanya beda setahun lebih muda dariku.

“Siapa perempuan yang menggandengmu, Khalid?” tanya Umak lagi.

Wanita berhijab tadi tersenyum. Ia mencium tanganku. Kucium balik puncak kepalanya. Wanita itu lantas beralih pada tangan keriput Umak. “Ini Putri, Mak. Umak sudah sadar. Kepalanya bagaimana? Masih sakit?”
“Ha? Putri sudah besar, kenapa kau masih kecil, Khalid? Makanya, Umak suruh makan ya makan. Umak buatkan ikan goreng kesukaanmu nanti. Makan ya, biar cepat besar seperti Putri. Bisa ambil bintang nanti. Mana bisa kau menikah dengan Putri kalau pendek begini?” Umak mengatakan itu semua tanpa melepaskan pandangan dari Dion, anakku. Suaranya tak selantang dulu, terputus-putus tapi tetap saja penuh semangat.

Itulah Umak, Ibuku. Wanita pencuci baju yang dulu berjuang membesarkanku sendirian setelah Apak (Ayah) meninggal. Itulah Umak yang kini sering keluar masuk rumah sakit karena penyakit tuanya. Belum lagi pikun yang menahun. Namun, aku bersyukur pada Allah, Umak mendapat penyakit ini saat aku sudah dewasa. Setidaknya aku tidak kebingungan merawat Umak seperti saat beliau terjatuh di dapur dulu.

Aku beruntung memiliki Umak, wanita yang oleh Allah dipilih menjadi penampungku di dalam rahimnya selama sembilan bulan.
Aku pun ingin menjadi penampung Umak, bukan hanya sembilan bulan, tetapi seumur hidupku. Alhamdulilah, rasa sayangku pada Umak dimengerti oleh Putri. Umak dan Putri, dua wanita yang ingin kutampung sepenuh hati dan baktiku sebagai anak dan sebagai suami.

-------------
Catatan kaki:

  ¹Panggilan untuk anak laki-laki di Minang
  ²Lama sekali
  ³Jangan kebanyakan gaya/tingkah polah
  ⁴Cepat ke mari!
  [5]Ayah
  [6]Panggilan untuk anak laki-laki di Minang



 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro