Diary Spiritual #Untitled Part 1-1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


[Anonim-01]
[Kamis, 3 Desember 2020, 12.00 Wib]

“Si tetangga sebelah baru pasang kanopi.”

“Yang diujung jalan itu kemarin baru ganti mobil.”

“Si Bu Uty baru pasang kitchen set.”

“Bu Lia kemarin lahiran.”

“Istri Pak Tegar diterima CPNS.”

“Pak Tegar katanya baru dapat bonus gede dari kantor. Dia langsung renovasi rumah besar-besaran.”

“Perusahaan lamaku—aku baru resign dua bulan yang lalu—pisah dengan perusahaan induk, semua karyawannya dapat bonus sampai lima kali gaji.”

Berapa kabar yang bisa diterima manusia dalam satu hari? Satu kabar buruk, satu kabar baik? Satu kabar baik, dua kabar buruk? Berapa banyak yang berbelasungkawa? Berapa banyak yang bersyukur begitu mendapatkan rezeki—yang mungkin saja—melebihi  tetangganya atau saudaranya yang lain?

Hal buruk yang terjadi pada orang lain, seudah pasti itu sesuatu yang membuat stress orang tersebut. Tidak ada hubungannya dengan diri kita sendiri. Namun, unik dan anehnya, ada hal baik bagi orang lain—yang mungkin saja—bisa mendatangkan stress dalam diri kita. Apalagi jika itu berhubungan dengan yang orang lain punya, tetapi kita tak memilikinya.

Saya tidak tahu, berapa banyak dari kalian yang kerap memikirkan itu. Setidaknya satu kali—satu kali saja pemikiran itu cukup memberikan resah untuk ikut berbenah. Berbenah dengan maksud memiliki segalanya yang berhubungan dengan harta.
Saya tidak memungkirinya. Berada di lingkungan yang cukup elit—setidaknya bagi saya yang hanya wong ndeso—membuat saya merasakan minder. Pasanganku pun ingin segera berbenah. Mental kami terpojok pada keadaan ingin cepat kaya.

Tidak salah, bukan?

Tuhan tidak pernah melarang hamba-Nya menjadi kaya. Bukankah dengan kaya, setidaknya kita bisa bersedekah dan membantu orang lain?

“Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup. Dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki padanya.” (QS. Al-Hijr [15[:19-20)

Namun, niat kami salah.

Tuhan sama sekali tidak melarang hamba-Nya mengais rezeki di hamparan kehidupan ini. Namun, dengan niat yang salah—untuk menunjukkan bahwa kami pun punya—adalah hal terburuk yang pernah mampir di bawah atap ini.
Setiap dindingnya seperti menertawakan kebodohan kami berdua. Di tengah malam dingin, kepalaku bercerita kembali tentang harga diri. Namun, saat subuh menyentuh—sama-sama dingin—sisi lainku memaksaku untuk kembali mengingat. Ingatan tentang bersabar dan bersyukur. Apa yang Tuhan kasih hingga saat ini sudah lebih dari cukup. Kapal kami baru untuk berdua, tak perlu terburu-buru mendayung. Lautan ini begitu luas. Butuh waktu yang sangat lama untuk mendapatkan semuanya dan saya sadar umur di dunia bukan untuk mengeruk isi lautan.

“Kami tumbuhkan sesuai ukuran.”

Itu sudah menjawab semuanya.

Tidak ada yang lebih kita inginkan selain dibebaskan dari peneritaan, tetapi  tidak ada yang lebih menakutkan dari pada kehilangan tongkat penopang. [James Baldwin]

[Anonim-02]
[Kamis, 3 Desember 2020, 16.31 Wib]

Be the way you should be, more than just the way you are.

Kalimat itu pernah jadi slogan saya dulu, ketika saya sedang mencari jati diri, menepis semboyan “be yourself” yang sering digemborkan teman-teman seumuran.
Saya nggak tahu mulai dari kapan, tapi perlahan saya merasa nyaman-terlalu nyaman-dengan diri sendiri. Berhenti mengejar ‘saya yang seharusnya’, merasa saya tidak perlu berubah untuk mendapatkan penerimaan orang lain, toh orang yang penting untuk saya sudah menerima saya apa adanya.
Namun, kini saya mulai sadar, saya harus kembali mencari ‘saya yang seharusnya’. Saya mencintai diri saya saat ini, tidak ambil pusing tanggapan orang lain, tapi saya ingin memberikan usaha ekstra untuk mereka yang menerima saya apa adanya. Mereka berhak menemui versi terbaik saya.

[Anonim-03]
[Kamis, 3 Desember 2020, 17.00 Wib]

Ada seni untuk tinggal seatap dengan orang tua. Bukan, bukan orang tua dalam keluarga inti, melainkan orang yang sudah tua. Kakek-nenek.

Seni yang utama mewujud dalam kesabaran. Bukan lagi soal bagaimana mengajarkan mereka cara menggunakan ponsel pintar atau menyambungkan internet, apalagi Googling atau membuat akun. Kesabaran harus ada dalam setiap tindak-tanduk dan perkataan. Pasalnya, orang tua suka bebal.

Apa ada cara lain melawan kepala batu selain kesabaran?

Kakek-nenek sudah tua. Usia mereka di atas 70. Punya rupa-rupa penyakit bawaan, asam urat, darah tinggi, diabetes. Namun, melarang mereka untuk tidak ke mana-mana itu sulit, padahal wilayah rumah sudah masuk zona merah. Butuh kesabaran ekstra untuk memahamkan mereka. Berkaca dari sana, Ibu berkali-kali berkata soal "growing old elegantly", menjadi tua secara elegan, tetap mau menerima nasihat tanpa merasa lebih berpengalaman.

Tinggal serumah dengan orang tua memang membutuhkan kesabaran dan pemakluman luar biasa, seperti ketika kakakku sedang ujian, ada video WA yang menyalak dengan volume penuh di ruang tengah. Bagaimana saat aku dianggap mengambil atau menghilangkan sesuatu. Bagaimana Ayah berusaha membersihkan dapur dengan kilat saat kosong, tetapi beberapa jam kemudian kembali kotor. Bagaimana Ibu berusaha menjaga makanan Nenek yang banyak mau.

Semoga, dengan baktinya Ibu pada orang tuanya dan Ayah pada mertuanya, mereka bisa mendapat sebaik-baik balasan. Seperti yang Ibu katakan padaku, semoga kesemrawutan di rumah selama ini bisa diganjar rumah di surga.

Aamiin.

[Anonim-04]
[Kamis, 3 Desember 2020, 17.06 Wib]

Dear, readers or people dimanapun karena tidak ada sekat strata di antara kita.

Love you, all.

So, sebulan ini aku banyak nemu-nemu cerita, cuplikan, challenge atau semacamnya mengenai "Parenting Talk or talkparenting".

Ini entah mengapa buat aku merasa ....

Intinya, anak butuh orang tua yang dapat mendidik anaknya dengan baik.

But, bukan salah orang tua juga kalau anak akhirnya ....

Ah, sudahlah.

Di sini aku cuma ngajak semua orang melihat masalah dari banyak sisi. Aku suka terharu dan terpanggil jiwanya terutama mengenai kekerasan. Apalagi dari organisasi terkecil, lingkungan terkecil.

Adalah keluarga yang menjadi tempat kita membentuk karakter. Ingat, anak sekarang ada karena orang tua. Perlu ingat juga, orang tua sekarang pun dulu melewati masa kecilnya. Ya, maksudku begitu, semua ada proporsinya.

Intinya, kita kembali lagi kepada yang Mahakuasa. Minta diberikan petunjuk hidup agar hidup lebih terarah dan orang-orang di sekitar kita, keluarga or teman, sahabat atau bahkan musuh bisa mendapatkan energi positif dari kita yang belajar mencoba untuk stay be nice.

Paling termasuk aku. Hiks ....

Berbuat baik kepada dia, belum tentu dia juga demikian bukan?
Namun, pasti ada balasannya. Yakin deh:)

Entah mengapa, sebulan ini aku mikir seperti di atas.

Teman-teman boleh komen, mungkin aku keliru:)

Salam manis demi hidup harmonis. 🥰

Dabayy ....





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro