Diary Spiritual #Untitled Part 1-2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


[Anonim-05]
[Kamis, 3 Desember 2020, 21.02 Wib]

Dear diary...

Pernah kudengar kalau cinta adalah sebuah anugerah. Namanya anugerah pasti membawa bahagia, gembira dan penuh syukur. Jujur, aku sudah lupa bagaimana rasanya jatuh cinta sebelum aku bertemu lagi denganmu. Iya, cinta pertamaku saat masih berseragam putih abu-abu. Mungkin semesta merasa bersalah pada kita, karena waktu itu ia enggan memberi kesempatan pada seorang remaja SMA untuk bersama.

Lalu kini, bersikap ramah dan membawamu datang kembali padaku. Memori akan cinta yang malu-malu, murni dan penuh harapan itu terulang lagi. Begitupun dengan luka yang ikut terbawa, masih tergambar jelas. Pesan-pesan yang kau kirimkan lewat WhatsApp malam itu terasa akrab denganku. Tetapi, rasa aneh menjuluri hatiku, ada apa ini? Bagaimana dengan perasaan yang dulu begitu hangat? Karena kulihat sinarnya sudah pudar, aku tak lagi merasakan hal yang sama.
Ah sialnya, salah satu diantara kita menyimpan harap. Aku sudah mengira jika semesta hanya bermain-main, sejak awal ia tak mendukung kita sedikitpun. Buktinya, ia sengaja membawamu kembali saat perasaanku tak lagi sama, meski aku tak ingin kau kecewa. Keadaan kita tak pernah berubah, aku kembali memberimu luka. Dan aku, menjadi ragu pada apa yang kudengar, bahwa cinta adalah sebuah anugerah.

[Anonim-06]
[Kamis, 3 Desember 2020, 21.17 Wib]

💕Arti Rindu
Kata orang sabar itu nggak ada batas. Kalau kamu masih mengatakan 'sabar itu ada batasnya' sama saja kamu belum tahu hakekat kesabaran.
Mungkin kata-kata itu pas untuk menggambarkan perasaan resahku saat ini. Setiap hari, setiap waktu, aku selalu mencoba belajar arti sabar sebenarnya. Walau pada akhirnya aku gagal dan tetap mempertanyakan segala kesulitan yang aku lalui. Rasa lelah ini selalu menghadirkan putus asa. Lelah dengan keadaan, lelah dengan penantian, lelah dengan kekosongan.

Terdengar kufur nikmat bukan? Padahal Kau sudah mengirim laki-laki baik dalam hidupku. Keluarga yang selalu mendukung, bahkan sahabat yang selalu ada. Namun, mengapa rasa kosong ini selalu saja mengganggu? Bahkan tak jarang membuatku kehilangan rasa sabar.

Kau satu-satunya yang mampu mengerti aku. Hanya pada-Mu selama ini kusampaikan rasa khawatir dan kesedihan. Bahkan tentang mimpi-mimpi yang perlahan kian mengabur. Tapi, setiap aku mengingat-Mu. Rasa sedih dalam hati tak bisa dibendung. Jauh dari-Mu adalah hal yang paling aku sesali, meski aku tak ingin.

Ya, beberapa bulan ini kesibukan membuatku merasa mengabaikan-Mu. Kau yang paling tahu, seberapa rindunya aku bangun tengah malam dan menceritakan keresahanku. Betapa rindunya aku menyampaikan pengharapan dan kepasrahan ini.

Kau juga yang paling tahu rindunya aku membaca barisan firman-Mu saat pagi dan petang. Tapi tetap saja rasa rindu itu tak lebih kuat dari rasa terlenaku akan kilau dunia. Menyedihkan memang mengatakan fakta bahwa aku bukan hamba-Mu yang beriman. Karena imanku bahkan masih kalah dengan dunia dan isinya. Aku merasa kita semakin jauh.

[Anonim-07]
[Kamis, 3 Desember 2020, 22.44 Wib]

Aku memandangi mereka—sosok yang paling berharga untukku saat ini—dengan senyum penuh kebahagiaan. Mereka adalah teman-temanku, sosok terbaik yang pernah kutemui di hidupku.
Beberapa tahun lalu, aku pernah meminta kepada Allah untuk memberikanku teman yang berkenan menerimaku. Lucu sekali memang. Setiap orang-orang mampu bercanda tawa dengan teman-temannya, aku hanya bisa tersenyum miris dan menangis dalam hati. Aku ingin seperti mereka, tertawa dan berbagi kebahagiaan bersama. Namun, aku tak bisa. Mereka itu terlalu tinggi, sehingga tidak mungkin dapat kugapai. Dan aku tidak pernah memandang pertemanan sebagai hal yang abadi. Pertemanan itu semu, hanya akan bertahan beberapa waktu dan berganti begitu saja. Karena manusia hanya mendekat jika ada perlunya saja.

Aku salah, kuakui itu. Nyatanya, sekarang aku sedang ditampar kenyataan karena selalu menganggap pertemanan sebagai win-win solution. Yang jika saling menguntungkan akan berlajut, tetapi akan putus jika sudah tidak saling menguntungkan.

Allah memberiku lebih dari yang aku inginkan, yakni teman dan ikatan pertemanan yang tak pernah kuduga-duga. Mereka bukan hanya teman yang ada untuk mencari sesuatu dariku, tetapi mereka juga ada di saat-saat terburuk dalam hidupku. Mereka tidak pernah pergi, sekalipun bisa. Mereka pun tetap di sini, meski hadirnya sempat tak ternilai olehku.

Salahku jika pernah merasa bahwa mereka tidak sepenuhnya menyayangiku. Pada kenyataannya, itu hanya dalih atas keegoisanku yang selalu menuntut lebih dari apa yang kupunya. Impianku yang menginginkan seseorang memberi kasih sayang secara frontal, membuat diriku menjadi orang yang kurang bersyukur. Sedangkan dihadiahkan mereka dalam hidupku adalah nikmat yang tiada tanding dari Allah. Karena aku sadar, tidak banyak orang diberi kesempatan saling berbagi, mengerti, membantu, dan saling merasakan empati, seperti yang kurasakan kini bersama teman-temanku.

Kumohon, kunci aku pada perasaan syukur ini. Jangan lagi mengembalikanku menjadi manusia yang tidak puas. Aku telah memiliki segalanya sekarang, bahkan dunia pun seolah sedang memihak padaku.

Aku ingin belajar mensyukuri kehadiran orang-orang berharga itu. Karena kutahu, aku tanpa mereka, tidak akan berarti apa-apa.

[Anonim-08]
[Kamis, 3 Desember 2020, 23.11 Wib]

Kupikir rasa kurma hanya sebatas manis tanpa membuat ngilu di gigiku. Nyatanya, makan terlalu banyak pun akan membuat gigi ngilu. Manis memang manis, tetapi terlalu manis tidak akan baik.

Hidup ini singkat, Teman. Jadi sewaktu usiaku masih belasan, aku berpikir untuk menikah di usia terbilang muda. Agara setelahnya, punya anak, lalu dapat melihat anakku tumbuh dan juga menumbuhkan generasi ukhrawi lainnya.

Pernikahan selaiknya buah kurma di atas. Berbeda dari gambaran awal yang digadang-gadangkan. Dua sejoli dipertemukan, lalu disatukan dalam ikatan suci atas izin Allah tentunya. Selanjutnya, tergantung dari diri kita yang mau bagaimana mengarahkan bahtera itu, ke jalan kesengsaraan atau kebahagiaan.

Ndilalah, aku menikah dengan seorang pria bermata abu-abu langka, aku mengiranya begitu karena kami—dia dan aku—bahkan tak dapat mendefinisikan warna matanya. Mendengar kata menikah, aku jadi teringat teman mayaku di Lampung. Gadis yang cerdas masyaAllah itu—dia yang jadi inspiratorku menulis karya—bilang begini, “Kata dosenku, menurut survey, ‘Usia enam bulan awal pernikahan adalah masa krusial yang jika dapat dilewati, setelah genap setahun, maka pernikahan insyaAllah akan langgeng.”

Entah benar atau tidak, silahkan buktikan sendiri. Karena setiap orang memiliki jalan cerita uniknya sendiri.

Di Awal, saat mulai mengetahui keburukan dia, setiap orang mungkin akan merasa tidak suka, benci, lalu pada akhirnya sampai pada tahap memaklumi. Banyak karakter yang aku tidak sukai darinya. Dan dia juga punya banyak keluhan terhadapku. Namun seiring waktu, perlahan tapi pasti, kami sudah mulai mengerti. Dia memang sangat sering menyindirku dan membuatku sedih, tetapi kan aku orangnya enggak terlalu memikirkan suatu hal sampai berhari-hari. Ucapannya yang agak keterlaluan tak aku simpan dalam hati, lebih banyak aku instropeksi. Aku juga mulai mengoreksinya dan ego kami masih sama-sama menggebu.

Lalu, sebuah kejadian besar terjadi. Dia mulai mencoba menerimaku, mulai seolah-olah menjadikanku sandaran. Dia seperti orang yang kesepian setelah ditinggalkan kemenakan kesayangannya.

Saat aku sadar, air mataku jatuh, dan aku mulai mengikuti inginnya. Rasa ego yang semula dominan, perlahan terkikis. Kami mulai saling mengerti, saling mendukung. Walaupun berulang kali bertengkar akan hal sepele, lalu saling memafkan.

Aku banyak menangis di awal pernikahan, dan kukira tidak ada wanita yang tak menangis di awal pernikahan dengan orang yang baru dua kali ditemuinya. Atau bahkan mungkin dengan yang telah dikenalnya sejak lama. 

Aku ingat pernah melihat ibuku menangis di awal pernikahan. Usiaku baru lima tahun, sedang bertengkar dengan adikku, lalu ibuku membentak kami agar terdiam dan menangis. Ingatan itu membekas karena kami tak pernah melihatnya menangis di hadapan kami.

Baru sekarang aku bisa mengatakan, “Jadi begini yang dirasakan kebanyakan wanita yang telah menikah.”

Mereka, para wanita itu punya banyak alasan untuk menangis. Mereka mungkin merindukan keluarga, kerabat, sahabat, saudara, rumah, masakan mama. Entah karena tak mengenal siapapun, lingkungan baru, kesulitan ekonomi, belum pernah belajar mandiri, ditambah lagi dengan seorang yang belum pernah kamu tahu karakternya, hanya berdasarkan katanya, kamu ketahui akhlaknya. Apalagi jika wataknya tidak kita sukai.

Wanita itu hebat. Rasanya bangga jadi wanita.

Kapan hari dia teringat saat awal-awal pernikahan kami. “Aku sudah membuatmu banyak menangis dulu,” katanya.

Dia menjadi pribadi yang lebih lembut, lebih penyayang, meski tetap keras kepala. Sedangkan, aku dengan sikap sok tahu dan mageran yang masih perlu dibenahi.

Begitulah sedikitnya pernikahan.

Selain buruknya menikah juga banyak kebaikannya kok.

Yang kami rasakan… dimulai dari dia yang renggang dengan keluarganya, sedikit demi sedikit mulai berubah. Bukan masuk urusan personalku juga, jadi, aku tidak diizinkan ikut campur cukup jauh. Hanya saja, aku mendorongnya dari sisi baik agar dia lebih pemaaf dan selalu menjaga silaturahmi. Aku juga bukan orang yang sangat baik, bahkan marah dan jengkel dalam hati, karena sempat disangka tukang hasut atau muka dua. Eh, malah iparku bilang, aku polosnya orang.

Akibatnya, aku juga tidak bisa terlalu dekat dengan keluarganya. Bisa dikatakan, keluarga hubby sangat unik dengan beragam karakter, namun punya kesamaan jelek yang mungkin karena didikan keras ayahnya, membuatku tak betah berlama-lama dengan mereka.

Sadar sih kalau menikah bukan hanya tentang sepasang sejoli. Ada dua keluarga besar yang disatukan di sini.

Semua orang bisa berubah, dan kebetulan dia berubah setelah menikah. 

Masuk pada ranah di dalam RT. Ada gaji, pendapatan, pengeluaran, simpanan, jajan dan lain lain. Kalau boleh dikatakan, gaji kami berdua saat ini tidak akan cukup meski hanya untuk berdua. Tetapi, Allah itu Maha Kaya, jadi jangan kuatir dengan rezekimu.

Ada orang yang takut menikah, karena belum punya kerjaan tetaplah, buat makan katanya enggak cukuplah.

Dulu sewaktu nikah, kami langsung dihadapi masalah finansial. Belakangan kemudian aku mengetahui dia punya hutang lumayan. Dia kerja serabutan, belum ada pekerjaan pas, uang nikah dia dapat dari hasil patungan keluarga.

See, waktu awal-awal rasanya enggak mungkin kami bisa makan. Dua bulan kemudian, dia ditawari  pekerjaan mulia, bertahun-tahun kemudian semua terasa lancar, hutang selesai kami sudah mulai menabung. Aku juga akhirnya bekerja. Happy ending?

Belum ending.

Rasanya salah menempatkan happy ending di saat pangeran dan putri telah menikah. Masih banyak lika-liku kehidupan rumah tangga yang sensasinya ngalahi roller coaster terbaik di dunia, yang akan dirasakan setelahnya.

Ya, aku selalu menganggapnya hanya sebagai bentuk doa untuk kedua orang yang  berbahagia.

So... jangan takut menikah! Tetapi, juga jangan juga menyepelekannya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro