15. Rencana Tidak Sempurna

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Asami telah berbaikan dengan Hazawa Mikan dan keduanya kini berteman dekat. Lantas gadis yang tidak kuketahui bentuknya itu setuju untuk membantu Maeko meringkus si penguntit dan peneror. Sebab entah bagaimana ia serupa dengan Si Kucir Dua, sama-sama menyukai CherryPossum alias Maeko.

Rencananya sederhana, pertama, sebagai makhluk yang berdiam dalam kamar selama hampir dua tahun, Mikan telah menguasai teknik-teknik berkomunikasi dan mempengaruhi orang melalui pesan-pesan singkat. Ia akan memancing si penguntit dengan menghubungi, berteman, dan meminta pertemuan-pertemuan. Seluruhnya dilakukan melalui akun-akun yang mengirim berbagai foto serta teror kepada Maeko.

Kedua, Mikan yang masih bersikeras menolak dunia luar tidak akan datang memenuhi pertemuan-pertemuan yang dijanjikan. Maeko, Asami, Kazuhiko, dan aku yang akan mengambil alih posisi Mikan, menemui serta meringkus si penguntit.

Ketiga, Maeko akan memberi banyak pelajaran dan perhitungan intim dengan si penguntit, itu saja. Memang terdengar mudah dan sederhana, tapi nyatanya tidak. Mikan telah banyak memutar otak dan berusaha untuk dekat dengan GoodbyeKitty--akun si penguntit, ia bahkan mengaku membenci karya serta tingkah CherryPossum--Maeko. Namun rencana sederhana yang diperkirakan akan rampung sebelum ujian selesai, harus mundur hingga pertengahan Desember.

Jadi saat ini, hanya aku dan Maeko yang menunggu di pojok Cafe Lupin--dekat stasiun Ueno--dengan topi, masker, dan kaca mata menutupi wajah. Kazuhiko dan Asami sangat ingin menangkap si penguntit, tapi keduanya harus menghadiri kelas perbaikan agar dapat menikmati libur musim dingin dan tahun baru. Nilai mereka memang membaik, sayang nyaris menyentuh batas Aman untuk satu-dua mata pelajaran.

"Kamu yakin ia memakai baju merah?" Maeko berbisik di hadapan ponsel pintarnya. Gadis tangguh itu sedang menelepon Mikan untuk memastikan ciri-ciri si penguntit. Aku yakin ia gusar dan mungkin mulai meragukan keberhasilan rencana besutan Asami. Sebab waktu pertemuan sudah lewat lima menit, tapi manusia berbusana merah dengan pita serta tas selempang putih belum menampakkan diri.

"Tidak ada, coba kamu tanyakan ia ada di mana!" Suara Maeko sedikit meninggi dan aku cepat-cepat menaruh telunjuk di bibir. "Tolong tanyakan," Ia melanjutkan.

"Tenang saja, mungkin sebentar lagi." Aku berusaha menghibur sambil mengaduk-aduk cokelat panas dalam cangkir. Musim dingin telah resmi melengserkan si gugur dan minuman paling sedap untuk dinikmati di udara dingin adalah cokelat, teh, susu, dan kopi panas.

"Bagaimana jika ia tidak datang?
Aku yakin pelaku bersekolah di Ueno dan kelas perbaikan dilaksanakan hari ini, ia bisa saja tidak datang karena mendapat nilai merah." Aku menanggapi Maeko dengan gelengan, memaksa Gadis yang tidak ada manis-manisnya itu untuk berhenti berpikiran negatif. "Itu."

Maeko mengangkat buku menu dan menutupi wajahnya sambil menunjuk ke arah meja bundar di samping pintu masuk. Seorang gadis berambut cepak baru saja mendudukkan diri, ia mengenakan jaket merah gelap dengan syal dan tas selempang putih. "Coba kamu pastikan dulu ke Mikan!"

"Tidak perlu." Maeko berucap mantap sebelum melepas masker, topi, serta kaca mata. "Aku mengenalnya, ia dari SMA Saita, aku mengalahkan ia kemarin, di pertandingan karate se-Tokyo."

Aku mulai menebak-nebak motif dari si penguntit, seperti pembalasan akan kekalahan, sakit hati serta iri yang berkepanjangan. "Tapi bagaimana ia bisa mendapat foto dari dalam gedung SMA Ueno?" Aku kembali mempertanyakan, takut-takut bila Maeko salah menuduh.

"Ia pasti tidak sendiri, tapi tidak apa-apa, satu saja cukup untuk meringkus yang lainnya." Gadis berambut pendek yang gemar menyombongkan diri--Maeko--berdiri dengan tiba-tiba, menimbulkan bunyi melengking dari kursi dan meja. Pengunjung Cafe Lupin serentak menatap ke arah Maeko, mengamati apa yang sebenarnya menimbulkan suara-suara tidak sedap, termasuk si penguntit.

Ia terkejut dan mengimani tabiat Maeko. Gadis berambut cepak itu bangkit dengan mulut menganga dan alis saling bertautan. Ia menyambar tas selempangnya cepat-cepat, lantas terburu-buru meninggalkan cafe. "Dia kabur!" Sontak aku berteriak.

Maeko menyadari hal itu dan berlari meninggalkan aku, Cafe Lupin, serta dua cangkir cokelat panas. Aku sendiri hampir mengikutinya, tapi Maeko mendorongku mundur, seperti ia tidak ingin aku terlibat dengan apapun itu yang hendak ia lakukan. Kekhawatiran jelas menyerangku, mengenai Maeko yang mungkin dihajar habis-habisan atau dikeroyok oleh kawanan si penguntit. Sayang Maeko telah bertitah dan aku tidak ingin menghianatinya.

Jadi aku kembali mendudukkan diri, mengaduk-aduk cokelat panas dan menunggu Maeko kembali. Semoga saja aku tidak mengantuk dan tertidur tiba-tiba seperti seseorang di meja sebelah.

Aku telah menguap beberapa kali dan terkantuk-kantuk saat ponsel dalam saku jaket bergetar tanpa aba-aba, menandakan sebuah pesan bersarang di dalamnya. Kazuhiko pelakunya, ia mengirim pertanyaan mengenai di mana aku dan Maeko saat ini sambil mengabarkan bahwa kelas perbaikan baru saja usai. Aku hendak mengirim alamat Cafe Lupin, tapi panggilan menyebalkan menginterupsi dengan tidak menyenangkan.

Laki-laki paruh baya itu semakin gencar mengirim berbagai macam pesan dan panggilan-panggilan. Karena ini aku tidak suka membawa-bawa ponsel ke sana-kemari, paling tidak aku punya alasan untuk tidak menjawab atau membalas jika meninggalkan barang pipih itu.

Tentu saja aku tidak mengangkat panggilan Ayah, toh aku hafal betul apa yang akan ia sampaikan. Sesuatu seperti mari meninggalkan Yanaka Ginza, Kakek, dan Ibu untuk kehidupan yang lebih baik serta makmur. Lantas ia akan menyebut berbagai alasan pendukung, mulai dari kenyataan bahwa Ibu yang mencetuskan perpisahan-perpisahan, penyesalan-penyesalan, dan penebusan dengan kehilangan akal. Lalu sekolah-sekolah serta universitas bergengsi yang tidak bisa ditemukan di Jepang, apalagi Tokyo, dan ditutup dengan ungkapan sayang yang diucapkan setengah hati.

Aku mengabaikan panggilannya dan memilih menjawab pesan Kazuhiko.

Maeko kembali tidak lama kemudian, kesedihan dan kepuasan bercampur di wajahnya yang sedikit kusut. Mungkin ia tidak berhasil menangkap si penguntit, atau tidak berhasil menyelesaikan masalah dengan si penguntit. "Aku tidak mengerti bagaimana cara orang-orang berpikir!" Ia mengeluh sambil menarik kursi sebelum mendudukkinya. Aku menanyakan apa yang terjadi dan Maeko memberi penjelasan panjang. "Ia bilang aku serakah dan sombong, aku memenangkan hati para berandal, kejuaraan karate, dan para pengguna novel ponsel, anak itu, tidak suka aku hidup berbahagia."

"Ia hanya iri."

"Sebenarnya kami hampir bertemu, aku membuat janji dengan ia dan beberapa penggemar lain, bulan kemarin, setelah pertandingan karate, tapi ia tidak datang." Aku mulai mampu melihat gambaran besar dari kejengkelan yang mengakar di tubuh si penguntit. "Ia mungkin datang saat itu dan terkejut mengetahui aku si CherryPossum adalah rival yang baru saja mengalahkannya."

"Lalu bagaimana?"

Maeko menggantungkan kedua tangan di pinggang dan memasamkan wajah sebelum memberi jawaban. "Tidak tahu, sudah biarkan saja, yang penting sekarang aku tahu siapa pelaku dan apa motifnya." Aku mengangguk, mendukung apapun itu keputusan Maeko, toh dengan begitu ia bisa lebih berhati-hati.

Kami diam setelahnya, untuk lima hingga sepuluh menit, Maeko kembali sibuk dengan ponselnya dan aku memainkan cokelat panas. Kazuhiko belum menampakkan diri, agaknya sesuatu menahan Si Jangkung di suatu tempat, mungkin Bu Fumiko dan pertanyaan-pertanyaan menjebaknya mengenai rencana ke depan. "Aku dengar dari Kazuhiko, kamu dilengserkan dan ditendang cukup jauh," Maeko berucap tiba-tiba. Gadis itu sedang membicarakan hasil ujian semester yang tidak menyenangkan untuk dibahas. "Bagaimana rasanya?"

Aku tertawa renyah sebelum memberi jawaban. "Mengecewakan, mungkin ini karma karena sering mengejek Kazuhiko."

"Aku yakin karena kamu terus menolak untuk ikut belajar dan lebih memilih berperan sebagai guru, padahal kamu sekedar murid." Meko menenggak habis cokelatnya sebelum melanjutkan. "Atau mungkin ada hal lain yang tersembunyi di balik kantung matamu itu!"

Aku tersenyum, memberi isyarat bahwa keengganan besar sedang menggerogoti tubuh dan pikiranku. "Aku sulit tidur akhir-akhir ini, itu saja."

"Apa ayahmu masih bersikeras untuk."

"Kamu sudah tahu?" Aku memotong.

"Tentu saja bodoh! Ayahku memberikan pekerjaan cuma-cuma dan mungkin pernah berkelahi dengan ayahmu di balik punggung! Bagaimana bisa aku tidak tahu." Maeko terdengar jengkel. "Ia masih memaksamu pergi?" Aku mengangguk. "Bagaimana dengan ibumu?"

"Baik-baik saja, kurasa." Aku menjawab asal.

Maeko melipat tangan dan memamerkan kejengkelan yang jelas-jelas tercetak di wajah. "Benar-benar, aku menunggu supaya kamu bercerita dengan suka rela, tapi percuma." Aku memasam, gadis tangguh ini memang kawan baikku sejak dulu, tapi bukan berarti ia bisa mencampuri apa-apa yang tidak ingin aku sampaikan. "Paling tidak kamu harus bicara dengan Kazuhiko," ia melembut. "Kamu mungkin tidak pernah memikirkan kenapa Kazuhiko begitu ingin bekerja dengan Agensi Yang."

"Memang kenapa?" Aku balik bertanya. Si Jangkung itu punya banyak cita-cita dan mudah terombang-ambing, bukan hal aneh melihatnya tiba-tiba menggilai dunia hiburan. Mungkin memang itu keputusannya setelah pencarian dan pergolakan panjang, toh ia sudah menolak habis-habisan keinginan ibunya untuk menjadi dokter.

"Kamu harus menanyakannya sendiri, dan jangan lupa bercerita, kejam sekali jika kamu tidak memberi tahu Kazuhiko." Aku merasa banyak sekali emosi yang Maeko tuangkan dalam kalimat tadi, mereka bercampur dan saling bertautan hingga tidak mampu dibedakan.

Aku tidak tahu, terlalu banyak hal yang perlu dipikirkan dan Kazuhiko jelas bukan prioritas. Bukan berarti aku tidak peduli padanya, hanya aku berusaha menempatkan kawan baikku itu di posisi aman dan nyaman. Ia tidak perlu banyak-banyak memikirkan masalah orang lain dan bebas melakukan apa saja yang ia inginkan, benar, seperti ia yang seharusnya. "Aku tahu kamu pengecut Ryu!" Kesombongan mulai mengepul dari tubuh Maeko bersama kejahilan dan ketengilan. "Kamu bahkan tidak berani mengatakan 'Asami aku mencintaimu' bukan?" Ia tertawa cekikikan tanpa malu sedikit pun. "Lihat saja, sebentar lagi malaikatmu itu akan direbut oleh anak karate! Dan tentu saja kamu sudah tidak punya harapan!"

"Tidak." Aku yakin pipiku memerah saat ini, mungkin sudah menjalar hingga telinga dan leher. "Kamu pasti menggodaku saja, lagipula aku tidak banyak berharap dengan Asami."








🍆_____🍆_____🍆_____🍆_____🍆

Pandu berlumuran darah sedang berusaha menamatkan cerita



Pandu






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro