14. Perjalanan-perjalanan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Paman Nakamura memberi libur, dua minggu tanpa pemotongan gaji dan aku bisa meminta lebih jika ingin--benar-benar berlibur. Penyebabnya adalah ujian semester serta kehadiranku selama Paman Nakamura meninggalkan Yanaka Ginza untuk memanen bayam.

Kemungkinan besar Maeko telah banyak bicara dengan ayahnya, mengenai si penguntit dan peneror, hingga kehadiranku kala itu menjelma bagai kelegaan besar bagi Paman Nakamura. Meski sejatinya aku terpaksa menurut akibat ancaman-ancaman dan Maeko bertindak licik dengan tidak membeberkan tindak tercelanya. Apapun itu aku tidak akan mempermasalahkan, toh pada akhirnya aku diberkati dengan libur panjang setelah dua bulan membanting tulang.

Memang banyak hal menarik atau berguna yang bisa dilakukan untuk menghabiskan waktu luang, seperti bermain permainan ponsel atau menemani Kazuhiko menengok Agensi Yang. Aku sendiri meyakini bahwa Paman Nakamura memberi kelonggaran agar aku banyak-banyak belajar serta mengerjakan ujian dengan maksimal. Namun aku  memilih kegiatan lain yang naasnya mencederai niat baik Paman Nakamura. Benar, sebuah ide brilian untuk melakukan perjalanan dan berkunjung ke Kodaira.

Sebuah institusi mental berdiri di salah satu sisi Kodaira dan manusia paling kejam yang tidak bisa aku benci tinggal di dalamnya. Hampir genap dua tahun ia bergulat dengan kekacauan dalam otaknya, tapi menurut penuturan Kakek, hingga kini belum ada tanda-tanda kewarasan apalagi kesembuhan.

Biar aku ceritakan, manusia dalam naungan institusi itu benar-benar kehilangan akal, ia tidak mengingat siapa dirinya, siapa aku, dan apa yang sedang menimpanya. Persis seperti penderita gangguan integrasi mental kebanyakan. Kadang ia akan berteriak histeris, seolah menangisi kehilangan yang ia lupakan, lantas di lain waktu ia akan memukuli dan melempari siapapun dengan apapun sebagai pelampiasan.

"Belajar dengan Kazuhiko lagi?" Kakek bertanya dari balik meja reparasi. Ia tidak menoleh dan tetap mencurahkan fokus kepada mesin-mesin sederhana kecil yang menyiksa serta memaksa para kaca mata untuk bertengger di hidungnya.

Jujur saja, Kakek melarangku menemui Ibu--manusia dalam institusi--sejak wanita lembut itu menghajar putranya di kunjungan tahun lalu--dalam rangka merayakan ulang tahun Ibu. Ia--Kakek--mungkin mempertimbangkan berbagai hal, seperti Ibu yang akan melukaiku lagi, atau aku yang akan terluka setelah melihat kondisi wanita itu. Keduanya jelas tidak baik untuk kesehatan tubuh dan pikiranku, apalagi soal-soal ujian sedang terbentang di depan mata. Sungguh, aku benar-benar menyadari posisiku.

"Tidak belajar, bermain." Aku melempar kebohongan sambil melenggang meninggalkan Toko Saito.

Tidak apa-apa, bukan? Insiden pemukulan itu sudah lama--sekali--dan aku sangat ingin menyapanya. Bahkan jika diberi kesempatan lebih--seperti banyak sekali waktu luang--aku mungkin akan datang kemarin, sekarang, esok, dan seterusnya, sampai Ibu tidak bisa lagi melupakan putranya.

Aku tidak tahu pasti apa yang melandasi munculnya kerinduan serta keinginan bersua dengan tiba-tiba. Mungkin aku semakin mewarisi kegilaan miliknya hingga menginginkan pertemuan-pertemuan, atau perjanjian-perjanjian dan pekerjaan-pekerjaan sambilan dua bulan terakhir membuatku ingin mengeluhkan bahwa mencari uang tidak menyenangkan. Apalagi jika hasil yang didapat--tidak seberapa dan--tidak bisa digunakan untuk berfoya-foya.

Bagaimanapun juga, Takahashi Ryu masih menyandang gelar anak SMA, sama seperti Maeko, Kazuhiko, dan Asami yang kesemuanya gemar bersenang-senang. Jika saja aku mendapat kewenangan untuk memilih, tentu bermain dan memandangi Asami sepanjang hari akan menjadi yang utama. Lantas berceloteh panjang saat makan malam dan dihadiahi ucapan perpisahan sebelum tidur. Bukan bekerja, belajar, dan memikirkan bagaimana caranya agar tetap berada di jalur yang aman.

Omong-omong, ini yang aku sembunyikan dari Maeko dan Kazuhiko, juga tidak mungkin aku ceritakan di hadapan Asami.

Penyakit mental memiliki citra buruk di mata masyarakat dan kenyataan bahwa aku sedang bertarung dengan biaya perawatan, hanya memperburuk keadaan. Pemerintah memang menanggung sebagian besar melalui asuransi--delapan puluh persen--tapi hanya untuk sembilan puluh hingga 360 hari perawatan saja. Belum ditambah dengan biaya lain jika pasien membutuhkan penangan lebih dari para psikiater.

Sebelumnya Ayah yang menanggung sisa biaya, tapi tidak lagi sejak aku menolak ajakannya dan mengaku mampu menangani permasalahan orang dewasa sendirian. Entah aku yang terlalu percaya diri, keras kepala, atau terbawa emosi. Rasanya sedikit menyesal meski tetap tidak ada keinginan untuk meninggalkan Kakek dan Yanaka Ginza untuk Ayah.

Maksudku, aku sadar bahwa Ibu telah menjadi sosok paling kejam, tapi lagi, aku tidak bisa membenci apalagi menghianati kasih sayang yang sempat ia berikan. Seperti remaja-remaja bodoh yang membuta ketika disentuh oleh pubertas, rasa suka, dan kecengengan-kecengengan.

Tunggu, jika dipikir kembali, mungkin Maeko sudah tahu, sebab aku menggunakan Ibu sebagai alasan untuk meminta pekerjaan sambilan kepada Paman Nakamura. Kazuhiko pun agaknya sempat mengatakan sesuatu seperti aku sedang kesulitan atau butuh bantuan di beberapa kesempatan. Apa kini rahasiaku sudah bukan rahasia lagi? Lucu sekali jika iya.

Tanpa terasa, satu setengah jam terlewati dan kereta yang membawaku dari Nippori  telah bersandar di Stasiun Ome Kaido. Pintu otomatisnya terbuka dan para penumpang yang didominasi oleh anak-anak sekolah mulai berhamburan. Aku sedikit tertinggal, sebab kehilangan tempo hingga menabrak dan tertabrak beberapa kali. Hampir-hampir pula aku ditelantarkan sebab kereta begitu tepat waktu dan bernapsu  untuk kembali melaju. 

Jalanan panjang terbentang sekian ratus meter dari Ome Kaido hingga institusi mental, untuk itu aku harus berjalan kaki selama lima hingga sepuluh menit, tergantung kecepatan. Memang dekat dan pendek untuk ukuran penduduk Tokyo yang lebih banyak memilih berjalan kaki daripada menaiki kendaraan--karena sulitnya lalu-lintas. Namun cukup untuk mengatur dan menata pikiran sebelum kunjungan-kunjungan. Seperti memikirkan apa yang akan aku ucapkan atau ceritakan kepada Ibu, atau sesuatu yang lebih sederhana, semacam sapaan serta usaha untuk mengingatkan.

Pukul empat tepat aku telah berdiri di hadapan pintu kamar nomor dua nol sembilan, diapit oleh sepasang perawat wanita yang sepertinya terlibat dengan insiden pemukulan tahun lalu. Buktinya mereka mengingat dengan jelas siapa aku dan di bagian mana saja Ibu memukulku.

"Suasana hatinya sedang baik." Perawat yang lebih gemuk memberi informasi sementara yang kurus mengumbar senyum sambil menggeser pintu. Kegugupan datang tiba-tiba dan tanpa sadar aku mengambil satu langkah mundur. "Kamu tidak perlu menemuinya jika takut." Si Perawat melanjutkan. Ia lantas mengelus punggungku seperti memberi dukungan.

"Aku tidak takut," Jelasku seperti anak laki-laki kebanyakan.

Ruang dua kosong sembilan terbuka lebar-lebar dan wanita paruh baya berbusana khas rumah sakit berdiam di dalamnya. Ia terduduk dengan tenang di atas ranjang sambil menatapi jendela-jendela serta cahaya matahari sore. Aku ingin memanggilnya dengan sebutan yang biasa disematkan, tapi ketakutan akan gangguan, keterkejutan, serta reaksi setelahnya memenuhi pita-pita suara.

Perawat yang kurus mungkin menyadari bahwa aku tidak punya cukup keberanian untuk memanggil, apalagi mendekat. Jadi ia berinisiatif, melantunkan nama dari pasien dengan gangguan integrasi mental menggunakan nada-nada paling merdu.

Wanita berambut hitam panjang yang kerap kupanggil Ibu menoleh. Ia menatap para perawat bergantian lantas melepar fokus padaku. Irisnya yang kelam mengikatku erat-erat dengan kerinduan yang sedikit terpancar, ia lantas mengamati dari atas hingga bawah dan berlama-lama, seolah sedang memanggil-manggil ingatan dalam otaknya yang tidak genap. Seulas senyum sehangat musim panas pun ia persembahkan kemudian, sebelum suaranya terlepas dan aku terlonjak.

"Kamu datang menjenguk?" Kalimatnya lembut, seperti selimut bayi yang membebatku dulu di balik pelukan-pelukan milik Ayah-Ibu. "Sudah lama ya?" Ia melanjutkan tanpa menunggu jawaban "Lihat, kamu sudah sangat besar."

Kedua perawat telah berdiri beriringan di samping Ibu, salah satu yang lebih besar melambai, seperti memberi isyarat supaya aku segera bergabung. Namun kakiku kaku, ia digerogoti oleh kesenangan akan kemungkinan terbaik dari kembalinya ingatan Ibu. Wanita paruh baya itu baru saja mengungkap lama waktu yang telah terlewat, bersama keterkejutan akan tubuhku yang telah berubah. Ia mungkin mendapat sedikit banyak kewarasan sejak terakhir kali kami bertemu.

Kalimat-kalimat panjang dan obrolan yang tidak pernah bisa diungkapkan di hadapan Kakek, kini mengantre bersama satu dua emosi yang membabi buta. Aku ingin bicara dengan Ibu, mengenai masa-masa sepi selepas ia meninggalkan Yanaka Ginza, nilai-nilai ujian serta peringkatku yang patut dibanggakan, ajakan dan pertaruhan-pertaruhan yang Ayah lakukan, juga Kakek yang semakin tua hingga sulit diajak bicara. "Kamu tidak membawakanku cokelat? Atau boneka besar?" Ibu kembali bertanya.

"Ya, sudah lama, aku sudah lebih  besar, dan maaf karena tidak membawa apa-apa, tapi aku akan kembali lagi nanti, dengan cokelat dan boneka."

Lagi-lagi senyuman hangat menyambut kalimatku, dan tanpa banyak berpikir aku melangkah masuk mengimani kedua perawat. "Ya kemarilah." Ibu mengulurkan kedua tangan, lantas membelai wajahku perlahan. Ia juga memberi usapan di puncak-puncak kepala dan pundak, tanpa sekali pun melepas senyum yang terkembang. "Apa kamu kurang tidur? Lihat ada lingkaran hitam di bawah sini."

"Tidak, aku tidur dengan baik, hanya." Kalimatku dipotong oleh pertanyaan lain yang naasnya melukaiku. Persis seperti apa-apa yang mungkin dijadikan pertimbangan oleh Kakek.

"Siapa namamu? Apa Kita pernah bertemu?" Bodoh sekali, apa yang sempat aku harapkan dari pasien gangguan mental. Ia mungkin belum mampu mengingat dan mengucap namanya dengan benar. Jadi tanpa sadar aku mengambil banyak jarak. Wajahku jelas memasam dan seperti menyadari perubahan-perubahan, para perawat memberi tepukan di pundak-pundak.

Ibu masih tersenyum, meski kini tidak lagi terasa hangat, mungkin hambar dan bodoh di saat yang bersamaan. Padahal aku sudah bersabar, demi kasih sayang yang Ibu berikan, menolak ajakan Ayah mentah-mentah, bahkan melakukan banyak kerja sambilan. Sayang wanita itu memang kejam dan sialnya aku tetap tidak bisa menaruh benci pada senyum-senyum  hangat di hadapan sana. Sial, sialan.

Beruntung, ponselku bergetar dan kesadaranku dipulihkan sepenuhnya. Sebuah pesan dari Si Jangkung menyelamatkanku dari kesedihan-kesedihan. Ia memintaku cepat datang ke kediamannya, untuk ronde ke sekian dari agenda belajar bersama.

Nama Maeko dan Asami pun dicatut di dalamnya dengan banyak penjelasan, seperti Maeko yang mulai kehilangan kesabaran sementara Asami tidak berhenti mengagungkan karya-karya CherryPossum.

Belum sempat aku mengirim balasan, pesan lain dari Kazuhiko kembali memaksa. Kini ia mengabarkan rencana besutan Asami untuk meringkus si penguntit dan peneror yang semakin menjadi-jadi.

Benar-benar, mungkin Kazuhiko terlalu banyak berinteraksi dengan Maeko hingga ia berubah menjadi dapat diandalkan. Tanpa sadar seulas senyum samar tercetak di wajah, lantas bersama banyak ketidakpedulian aku mulai membungkuk dan bicara. "Semoga lekas sembuh, sampai jumpa lagi."






📦_____📦_____📦_____📦_____📦

Schizophrenia punya nama sendiri di Jepang, integration disorder yang saya artikan seperti di atas. Semoga benar (menampar diri sendiri)

Bab ini banyak sampahnya, maksudku kebanyakan main-main kata, kalau diringkes paling jadi 600 kata doang :"


Pandu

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro