8. Perselisihan yang Terpendam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Kazuhiko sibuk membolak-balik catatan matematika yang tercecar di atas meja etalase, sementara Gadis yang Tidak ada Manis-manisnya mengawasi dari samping dengan tangan terlipat dan tampang segarang omelan Pak Misuki--guru matematika yang juga pembimbing karate. Ia--Maeko--jelas sedang mati-matian mengekang kekesalan dan kemarahan setelah usahanya untuk menjejalkan berbagai rumus ke dalam otak bebal Kazuhiko harus berakhir dengan kata gagal. Kegagalan total lebih tepatnya.

"Bukan! Bukan rumus yang itu!" untuk kesekian kalinya Maeko mengoreksi kesalahan Si Jakung.

"Yang mana? Penjelasanmu itu sulit sekali dicerna," Kazuhiko tidak ingin kalah. "Padahal kamu sudah tahu kalau aku tidak pintar!" Ia memprotes, agaknya matematika telah berhasil melunturkan akal sehat Kazuhiko hingga Si Jakung itu berani melemparkan peledak ke wajah Maeko.

Gadis yang Tidak Ada Manis-manisnya membalas dengan lirikan mematikan, lantas debrakan tertahan pada kaca-kaca meja etalase terdengar setelahnya. Aku terpaksa menghentikan gerak obeng-obeng dan pengamatan atas gerigi-gerigi jam mekanik guna memberi peringatan. "Hei! hati-hati, kalian harus mengganti jika retak dan pecah!" 

Jujur saja, awalnya aku senang dan menerima bantuan Maeko--dengan tangan terbuka--untuk mengajari Kazuhiko tapi kini tidak lagi. Gadis bertenaga ekstra itu semakin hari semakin agresif dan aku tidak akan terkejut jika satu dua retakan juga goresan menghiasi perabit-perabot kaca dalam kios selepas pelatihan.

"Aku menyerah!" Maeko mengaku kalah, ia mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi lantas berbalik dari Kazuhiko dan berjalan ke arahku. Kekesalan tercetak jelas di wajahnya, bercampur dengan kelegaan yang mungkin muncul setelah melepaskan diri dari kekangan kebodohan Si Jakung. "Anak itu tidak bisa diajari."

"Itu keterlaluan! Aku bisa mengikuti jika Ryu yang mengajari, kamu beralasan saja karena tidak semahir Ryu!" Lagi, Kazuhiko kehilangan akal sehat, sialnya kalimat yang baru saja mengudara dari bibir Kazuhiko berhasil menyulut bara dalam diri Maeko. Gadis itu menghentikan langkah, ia berganti arah dan kembali ke posisi semula--berdiri di samping kiri Kazuhiko.

"Dengar!" Maeko menekankan, tangan kirinya tersampir di pinggang dan ia membeberkan banyak sekali fakta mengenai kebodohan-kebodohan Kazuhiko.

Sebagai kawan--yang baik dan pengertian--aku seharusnya melerai, atau paling tidak menengahi pertengkaran di antara Maeko-Kazuhiko. Namun percekcokan ini terlalu seru dan menghibur untuk dihentikan pun dilewatkan. Jadi aku kembali berkutat dengan jam-jam rusak di balik meja reparasi--sambil mendengarkan adu mulut yang menggema di sudut-sudut kios.

Paling tidak sampai Kakek menggeser pintu pembatas dan menampilkan eksistensinya. "Bertengkar?" Aku cepat-cepat bangkit, meletakkan apa-apa yang tergenggam dan menatap Kakek penuh keterkejutan.

"Tenang kawan! Tenang!" sergahku tanpa banyak pertimbangan.

Anehnya Kakek tidak menegur Maeko atau Kazuhiko, ia justru bertanya sambil memangkas jarak. "Ryu, kamu memperbaiki jam itu?" Bilahnya yang lemah dan dihiasi kaca mata menelisik barang-barang di atas meja reparasi. Menegangkan suasana dan mematungkan Aku, Maeko, Kazuhiko serta umpatan-umpatan di ujung lidah keduanya. "Main saja dengan kawan-kawanmu, lagipula masih ada cukup banyak waktu sampai pemiliknya datang mengambil."

Keningku berkerut dan perasaan tidak senang menyeruak hingga ubun-ubun. "Maeko bilang akan mengajari Kazuhiko, jadi aku tidak ada pekerjaan dan karena sedikit bosan aku," kalimatku terhenti.

"Jangan lupa tutup rapat pintunya nanti," Kakek mengakhiri sambil meninggalkan kios. Entah karena ia menyadari hadirnya ketidaknyamanan dan keengganan yang berlarian dalam pikiranku, atau karena tidak ingin ikut campur lebih jauh dalam kekonyolan-kekonyolan anak muda.

Aku cukup cakap untuk memahami bahwa Kakek tidak ingin membebaniku dengan pekerjaan-pekerjaan perbaikan mesin-mesin sederhana. Apalagi saat kawan-kawanku datang berkunjung dan kios dipenuhi kemeriahan serta kegembiraan. Sayangnya aku juga cukup cakap untuk melihat kebohongan-kebohongan dan pemaksaan, seperti pemilik jam yang akan datang esok pagi serta kelelahan di wajah Kakek.

"Katamu jam itu akan diambil besok?" Maeko selalu tanpa ampun. Mungkin ia adalah manusia paling jujur dan berani yang pernah kutemui.

"Sepertinya aku salah membaca tanggal." Kilahku sebelum mengambil alih komando atas pelatihan matematika intensif Kazuhiko. "Kamu tidak ada pekerjaan rumah atau semacamnya ya, Maeko?" Kazuhiko menyerahkan buku catatannya padaku dan menatap penuh harap seperti anak anjing kelaparan.

"Tentu saja sudah kukerjakan!"

"Kamu tahu, sebenarnya Kazuhiko tidak bodoh, hanya saja metode belajarmu tidak cocok untuknya, itu juga bukan berarti kamu tidak bisa menjelaskan, pemahaman kalian memang berbeda." Jelasku tanpa berepot-repot mengalihkan wajah dari catatan-catatan.

Empat puluh lima menit kemudian dihabiskan dengan berbagai bangun dan persoalan trigonometri lanjutan--rumus kali, rumus jumlah, serta  bentuk a cos ditambah b sin dengan x yang sama. Perlahan-lahan materi-materi mematikan memasuki kening Kazuhiko dan--semoga saja--menetap permanen dalam otaknya.

"Kazuhiko, kenapa kamu tidak mengambil les saja?" Maeko yang kini terduduk di balik meja reparasi sambil memainkan ponsel mengajukan pertanyaan.

Kazuhiko menoleh, seperti menimbang-nimbang jawaban sambil membereskan buku-buku, sementara aku kembali membiarkan dua kawanku beradu mulut--dengan tenang mengamati dari kursi tinggi di samping kiri Kazuhiko. "Untuk apa? Buang-buang uang saja, lagipula aku tidak berniat mengejar tiket masuk universitas."

"Kamu membuang-buang waktu Ryu dengan berbagai macam persoalan matematika dasar." Teringat bahwa Kakek bisa saja muncul kembali jika perbincangan terlalu panas, aku berinisiatif meredakan.

"Aku sendiri yang membuat kesepakatan dengan Kazuhiko, aku juga ikut belajar hanya dengan mengajarinya." Jelasku sambil mengingat-ingat kejadian beberapa hari lalu, dua monster premium dalam permainan daring dan empat belas jam pelatihan matematika intensif.

"Omong-omong, Asami sedang dalam perjalanan menuju kemari." Gadis tangguh itu mengganti topik dengan tiba-tiba. Aku menanyakan mengapa, bagaimana, serta berusaha mengecek kebenaran dari omongan Maeko, meski rasanya tidak banyak berguna. Lantas Gadis yang Tidak ada Manis-manisnya itu menjelaskan isi dari pesan-pesan serta jawaban yang ia kirim dan dapat dari Asami.

"Ia sedang mengerjakan soal-soal fisika tapi karena sulit ia menanyakan cara pengerjaannya padaku, jadi kusuruh saja ia datang kemari." Kazuhiko menanggapi dengan keluhan serta pernyataan betapa bencinya ia dengan fisika.

"Ryu, apa kamu bisa mengajariku fisika, juga biologi dan sejarah jika tidak keberatan."

Maeko berdeham, ia melayangkan cibiran halus setelahnya. "Jangan serakah! Ryu juga butuh waktu untuk belajar sendiri, sebagai gantinya aku bisa mengajarimu dengan bayaran makan siang selama satu semester."

"Perhitungan sekali, padahal aku sedang kesusahan! Nilai tengah semesterku kemarin benar-benar jelek terutama matematika, fisika, biologi, dan--"

"Sebut saja semuanya," Maeko memotong.

Kazuhiko mengembus keras sebelum melanjutkan. "Aku sedang serius," ia berkacak pinggang dari tempat duduknya. "Entah bagaimana nilai itu bisa sampai ke tangan ibuku, lalu ia mengambil cuti untuk memastikan aku benar-benar belajar dan memperbaiki nilainya di ujian semester."

"Ibumu kembali ke Yanaka Ginza?" Tanyaku setengah percaya, mengingat Bibi Ito--Ibu Kazuhiko--mengabdikan diri sebagai dokter dan tim pengajar di rumah sakit Universitas Tokyo. Rutinitas harian yang padat membuat Bibi Ito bertolak dari Yanaka Ginza dan memilih tinggal di sekitar Bunkyou. Sepengetahuanku Wanita Hebat itu hanya pulang beberapa hari saat libur musim panas dan tahun baru.

"Iya, sudah seminggu ini."

"Kamu kan sudah beberapa kali bertemu denganya Ryu, seperti saat insiden terbakarnya ruang praktik dan kamu datang terlambat ke toko, atau beberapa hari setelahnya saat kita kehabisan wortel."

Aku mencoba mengais memori dari kejadian-kejadian yang Maeko sebut dan untungnya mereka masih tertata rapi dalam otak--wanita berpakaian putih necis. "Oh, pantas saja aku merasa tidak asing saat itu!"

Kazuhiko menggeleng seolah meremehkan kemampuanku mengidentidikasi wajah seseorang. "Kalian tahu kan kalau ibuku ingin aku mengikuti jalannya, menjadi dokter." Maeko mengangguk lantas tertawa setelahnya. "Iya, aku memang tidak pintar, jadi menjadi dokter sangat mustahil sekali."

"Itu contoh kalimat tidak efektif." Ejek Maeko sambil menutupi tawanya yang belum juga usai.

"Ini bukan pertama kalinya kamu mendapat nilai jelek, kenapa ibumu baru datang?" tanyaku selidik.

Kazuhiko mengedik lantas melanjutkan. "Kurasa karena nilaiku semakin jelek dan aku sengaja tidak memberi tahu hasil ujian tengah semester kemarin, atau mungkin karena aku sudah kelas sebelas?" Ia memberi jeda seolah menginginkan satu-dua patah kata simpati pun penyemangat dariku atau Maeko. "Ayolah bantu aku, entah apa yang akan dilakukan Ibu jika ujian semesterku tidak membaik."

"Omelan, omelan yang panjang, penarikan berbagai fasilitas dan pengurangan jam bermain, kamu akan disekap dalam kamar untuk belajar, belajar, belajar sampai lulus ujian masuk Universitas Tokyo," Maeko menakut-nakuti. "Yang mana itu tidak mungkin."

Wajah Kazuhiko memasam dan bertekuk-tekuk mendengar celotehan Maeko. "Aku ingin membantu, tapi rasanya aku sudah tidak punya cukup waktu, maksudku aku punya kerja sambilan, toko ini, dan seperti yang Maeko bilang, aku juga butuh belajar sendiri," aku menanggapi. Jujur saja, sekedar mempertahankan nilai sudah cukup sulit untukku di masa-masa seperti ini.

Kazuhiko menatapku tidak suka, seperti ada satu-dua hal dalam kepalanya yang tidak bisa ia utarakan. "Sebenarnya apa yang sedang kamu lakukan Ryu!" tanyanya sumbang. "Sulit ditemui, mengambil banyak kerja sambilan, kamu itu sedang apa?" ia mengulangi. "Aku hanya butuh satu dua poin, dasar-dasarnya saja sudah cukup, bagaimana?" Ia bangkit dari duduknya dan berdiri tepat di hadapanku.

Tanpa sadar aku menundukkan kepala. Pertanyaan Kazuhiko sederhana tapi sulit dijelaskan. "Meski kamu bilang begitu, aku tidak bisa menjanjikan apa-apa."

"Iya, iya! Kamu sudah pintar sejak awal, tidak akan mengerti sulitnya menaikkan nilai," Kazuhiko meledak. Ia mengacungkan jari ke wajahku setelahnya dengan bilah berapi-api. "Kamu tahu--"

"Hei, sudah, aku yang akan membantu," Maeko menengahi.

"Cih, kamu tidak bisa mengajar." Kejengkelan Kazuhiko semakin menjadi-jadi. "Orang yang tidak perlu banyak berusaha seperti kalian jelas tidak akan mengerti!"

Aku sudah sering berselisih paham hingga bertengkar dengan Kazuhiko, tapi kali ini ia sedikit keterlaluan. Kami berkawan dekat, dan seharusnya ia tahu satu-dua hal yang sudah aku alami. Tidak seharusnya ia mengataiku dengan "tidak perlu banyak berusaha."

"Pulanglah." Aku bicara setenang mungkin guna menghindari pertikaian berlebih dan untungnya Si Jakung menurut tanpa  bantahan.

Maeko memang kerap memegang teguh pemikirannya sendiri, seperti saat ini, ia cepat-cepat berlari dari ujung ruangan, berusaha mencegah Si Jakung meninggalkan toko. Namun, aku lebih cepat, sekali hentak aku menahan laju Maeko dan memintanya tetap diam, membiarkan pintu kios dibuka dan ditutup keras-keras.

Tiga-empat detik kemudian Asami menyembul dari kaca-kaca etalase. Wajahnya nampak kebingungan, ia masuk kemudian dan mengajukan pertanyaan klasik. "Kazuhiko pulang, apa aku terlambat? Padahal aku membawa banyak kue!"

"Tidak, masuk saja," aku mempersilakan.

Maeko menatapku tidak percaya, lantas mengutarakan niatnya. "Aku akan mengejar si bodoh itu."

"Jangan, biarkan saja, toh ini bukan kali pertama aku bertengkar dengannya, besok ia akan kembali seperti tidak terjadi apa-apa," kilahku.

"Mana boleh begitu, paling tidak ia harus minta maaf!"











👺_____👺_____👺_____👺_____👺

Basa-basinya besok-besok aja ya



Pandu

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro