9. Persembunyian Masing-masing

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Aku sudah lama berkawan dengan Kazuhiko, dan kami hampir selalu ditempatkan dalam satu kelas, satu kelompok, atau satu kesenangan yang sama. Ia memang sedikit kekanakan akibat posisinya sebagai putra tunggal, tapi bagaimanapun, Si Jakung Bodoh itu adalah teman yang baik dan pengertian.

Kadang ia tidak datang ke sekolah, karena sakit atau urusan keluarga, seperti mengunjungi ibunya di Bunkyou. Bagusnya, ia tidak pernah lupa memberi kabar--meski kadang terlalu mendadak, kecuali saat ia tersenggol kurir motor dan berita mengenai kondisinya baru terdengar selepas sekolah.

Jadi aku didera kebingungan tidak biasa saat keberadaan Kazuhiko  tidak kunjung ditemukan dalam kelas dan kawan-kawan mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan.

"Kazuhiko tidak datang? Ia sakit? Kalian bertetangga bukan?" Kalimat-kalimat serupa terus dilontarkan dengan membabi buta. Sementara aku yang masih dikuasai kebingungan memilih diam seribu bahasa sambil menyiksa Si Ketua Kelas, murid-murid sebelas C, serta penggemar-penggenar Kazuhiko--termasuk Asami--dengan keingintahuan lebih dalam.

Aku yakin Si Jakung baik-baik saja, paling tidak sampai tadi malam saat aku menengok rumahnya setelah mengantar Asami dan Maeko pulang. Lampu kamarnya yang berpendar terang serta lantunan musik pop dari sela-sela dinding, jelas menandakan bahwa si empunya ruangan dalam keadaan prima--baik-baik saja.

Ia juga tidak melakukan hal bodoh seperti bertelanjang dada di luar rumah atau menceburkan diri ke kanal-kanal--beberapa hari terakhir, jadi flu dan demam tidak bisa dijadikan alasan. Acara keluarga pun bukan jawaban yang tepat mengingat Bibi Ito--Ibu Kazuhiko--telah kembali ke Yanaka Ginza. Lantas apa? Apa ia tidak hati-hati saat menyeberang hingga tertabrak mobil seperti tiga tahun lalu? Atau sesuatu yang lebih krusial seperti ia tidak ingin bertemu denganku setelah pertengkaran semalam.

"Tidak mungkin karena penolakanku semalam bukan?" Aku bertanya-tanya.

"Mungkin Kazuhiko sakit?" Asami menebak-nebak sambil menghabiskan bekal makan siangnya.

Omong-omong setelah Asami mengakui bahwa ia pernah melakukan tindak perundungan saat SMP, beberapa penggemarnya berubah haluan dan membuat kelompok anti Asami. Meski mereka tidak berani mengganggu Asami sebab Maeko cepat-cepat menerbitkan ultimatum berisi nama Asami sebagai salah satu kawan dekatnya. Untungnya lagi, para anggota Klub Memasak memaklumi dan tidak banyak mempermasalahkan, toh Asami adalah jantung yang menopang keberlangsungan Klub Memasak.

Kini Asami lebih sering bergaul denganku--juga Maeko dan Kazuhiko. Mulai dari makan siang, mengerjakan tugas, dan kadang menghabiskan akhir pekan bersama--tanpaku karena aku punya pekerjaan sambilan di akhir pekan.

"Sakit apa, flu? Orang bodoh tidak mungkin terkena flu." Maeko mengakhiri dengan kikikan hingga bekalnya terguncang.

Aku yang tidak bernafsu mengikuti obrolan memilih diam sambil meresapi munculnya bibit-bibit rasa bersalah. Responku semalam bisa jadi terlalu berlebihan, padahal permintaan Kazuhiko tidak lebih dari  membantunya belajar. Aku jelas termakan kekesalan hingga tidak memikirkan kemungkinan lain dari tindakan Kazuhiko. Bagaimana jika ia mendapat perlakuan buruk dari orangtuanya atau dikucilkan saat acara keluarga--hanya karena bodoh. Ia putus asa dan berakhir meminta bantuanku, tapi aku yang kehabisan waktu melayangkan penolakan paling rasional.

"Tidak, Kazuhiko memang sedikit kekanakan, tapi tidak separah itu." Aku mengoceh sendiri. "Kamu benar Asami, ia mungkin sakit dan tidak bisa bangun dari tempat tidur untuk mengabariku, atau aku sudah berangkat lebih dulu sebelum ia sempat mengabari."

"Kamu lagi-lagi meninggalkan ponselmu ya?" Maeko mengajukan pertanyaan sambil mengarahkan garpunya tepat ke wajahku. Sepotong sosis tertancap di ujungnya dan jujur saja aku tidak suka--sosis.

"Aku lupa," kilahku sambil memamah roti isi--camilan siang. Namun seperti tidak ingin melewatkan kesempatan untuk menceramahiku, Maeko mulai mendaftar begitu banyak kegunaan dan hal-hal yang mendasari pentingnya keberadaan ponsel. Seperti jika ada satu-dua hal mendesak yang harus segera disampaikan, dilanjutkan, atau diberi perlakuan.

Pikiranku kembali terfokus pada ketiadaan Kazuhiko dalam kelas dan lingkungan sekolah--setelah omelan Maeko mereda. Aku sudah menyerah mengira-ira penyebab ketidakhadiran Kazuhiko. Jadi apapun itu, sebaiknya aku datang menjenguk nanti. Tentunya setelah melaksanakan tugas harian sebagai pekerja paruh waktu gadungan di toko Nakamura--seseorang harus membantu Paman Nakamura menutup tokonya dan aku butuh uang.

Mungkin aku harus mampir ke toko Asami terlebih dahulu untuk membeli beberapa kue atau roti--sebelum mengunjungi Kazuhiko. Aku rasa uangku masih cukup jika tidak dihambur-hamburkan, toh sebentar lagi awal bulan dan tidak sopan jika aku datang dengan tangan kosong--meski aku yakin Keluarga Ito tidak akan mempermasalahkan.

"Ryu, kamu sedang memikirkan apa? Serius sekali." Maeko berucap sambil menepuk pundakku pelan. Aku yang disadarkan dengan tiba-tiba tidak punya cukup waktu untuk berpikir dan berakhir mempertontonkan gelengan kikuk sebagai jawaban. 

Sejatinya aku hendak menawari Maeko dan Asami untuk turut serta menjenguk Kazuhiko, tapi panggilan alam mengetuk kemudian dan mau tidak mau aku harus bangkit dari dudukan-dudukan metal. "Mau ke mana?" Maeko kembali bertanya.

"Toilet," aku mengakhiri. Asami yang telah kembali bersemi melambaikan tangan sambil mempertontonkan senyum andalan, seolah ia sedang mengucap selamat jalan atau mengiringi kepergianku menuju ruang kecil di ujung lorong lantai satu--toilet.

Murid-murid perempuan yang agaknya menggilai Kazuhiko berbisik-bisik sepanjang lorong, dari kantin hingga kamar kecil dan di balik pintu-pintu kelas. Biar kutebak, mereka ingin menanyakan kabar Kazuhiko padaku, tapi takut dan ragu sebab aku berkawan baik dengan Maeko. Padahal baik aku maupun Maeko tidak pernah menyimpan niat buruk untuk menyerang atau mencelakai--mungkin, aku tidak tahu pasti apa saja yang berdiam dalam pikiran Maeko.

Salah satu yang cukup berani memanggil namaku dari sisi kanan--setelah aku selesai melaksanakan keperluan-keperluan. Ia telah berdiri dekat kamar kecil saat aku masuk dan kegigihannya patut diapresiasi. "Ya." Jadi aku menjawab panggilannya.

Gadis berambut panjang di hadapanku belum sempat angkat bicara, tapi kawan-kawannya sudah menyerbu dan menatap penuh harap dari balik punggung-punggung. "Ada apa?" lanjutku.

"Itu, apa Kazuhiko benar-benar tidak masuk hari ini?" tanyanya tanpa basa-basi. Aku mengangguk sebagai jawaban dan gerombolan murid perempuan melesu dengan tiba-tiba. "Apa ia sakit?"

"Kurasa tidak," jawabku ragu.

Gadis berambut panjang itu tersenyum sumringah diiringi kawan-kawannya lantas kembali berucap. "Kalau begitu, apa benar Kazuhiko tinggal di--"

"Jangan datang," potongku. "Bukan, maksudku, kalian harus dapat ijin  Kazuhiko terlebih dahulu jika ingin datang ke rumahnya, mungkin saja ia sedang sibuk atau apa, dan kedatangan kalian bisa jadi mengganggu." Sesuai dugaan, gerombolan di belakang si gadis berambut panjang kembali melesu. Mereka saling berbisik setelahnya dan satu per satu mulai membubarkan diri, menyisahkan si gadis yang nampaknya sedang berpikir.

"Sudah?" tanyaku.

"Apa mungkin Kazuhiko tidak datang karena ada pemotretan?" Ia menjeda. "Padahal Kazuhiko sudah berjanji akan mengajakku, aku juga ingin melihat hal-hal seperti itu secara langsung," omelnya.

"Pemotretan apa?" tanyaku selidik.

"Ya pemotretan, kamu berpose lalu seseorang memotretmu." Ia menjelaskan dengan berbagai gerakan.

"Bukan begitu, mak--."

"Aku sudah jelaskan barusan, kamu berpose lalu--," ia bicara semakin lamat sambil membuang muka.

"Bukan itu maksudku, pemotretan di mana, bagaimana, mengapa?" Si gadis nampak kebingungan, agaknya ia mengira aku yang notabene berkawan baik dengan Kazuhiko mengerti perihal pemotretan atau apapun itu.

"Aku tidak tahu, Kazuhiko bilang ia menjadi model untuk agensi Young, lalu mendapat tawaran dari beberapa mahasiswa tata busana." Ia masih enggan menatapku, seolah lantai-lantai putih lorong sekolah yang bercampur debu lebih mengasyikan dibanding ekspresiku. "Ia bilang akan mengajakku saat pemotretan," ia mengakhiri dengan keluhan.

Seperti kataku di awal, aku sudah berkawan lama dengan Kazuhiko dan mengetahui bahwa kawan bodohku itu menyimpan banyak sekali impian. Suatu hari ia ingin menjadi guru dan di lain kesempatan ia adalah pedagang kain tersohor. Kadang ia tertarik dengan dunia tarik suara, satu-dua kali berperan dalam teater ia akhirnya menaruh hati pada aktor-aktor. Astronot adalah mimpinya saat kanak-kanak dan tidak pernah sekalipun ia ingin bekerja sebagai dokter--ia pikir dokter sangat sibuk hingga tidak mendapat waktu untuk bermain.

Namun aku tidak pernah mendengar apa-apa lagi darinya, satu-dua usaha atau keteguhan pun tidak. Ia bahkan masih mengeluhkan keinginan terbesar Bibi Ito--ibunya--untuk menyeretnya menjadi dokter semalam. Lalu tiba-tiba seorang gadis entah siapa--sepertinya adik kelas--berdiri menghentak-hentak sambil mengabarkan bahwa kawanku yang jakung dan bodoh itu telah masuk agensi. Sebenarnya apa yang sedang ia lakukan?

"Terimakasih informasinya," ucapku sumbang.

Bel berbunyi lantang setelahnya dan si gadis berambut panjang membungkuk sebelum berbalik arah. Ia hendak meninggalkan lorong, aku, dan pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba bermunculan dalam kepalaku. Jadi aku menahannya, menarik tangan kanannya supaya ia lebih bertanggung jawab. Satu hal yang paling mengganjal pun kutanyakan. "Apa kamu tahu di mana agensinya?"

"Aku tidak tahu tepatnya." Ia menepis tanganku. "Tapi Kazuhiko bilang di dekat stasiun Ueno."

Aku kembali mengucapkan terima kasih sebelum benar-benar membiarkan si gadis berambut panjang meninggalkan lorong lantai satu. Sayang pemikiran-pemikiran buruk tidak turut hengkang dari otakku. Seperti Kazuhiko yang sengaja menutupi keberhasilannya beserta alasan-alasan tidak menyenangkan. Juga kemungkinan menjengkelkan mengenai hubungan-hubungan yang sejatinya tidak begitu erat.

Bodoh sekali, untuk apa memikirkan kecengengan-kecengengan seperti itu. Jika pernyataan si gadis adalah benar, maka aku sepatutnya bangga, kawan baikku--entah ia menganggapku sebagai kawannya atau tidak--telah direkrut oleh agensi dan mendapat tawaran membintangi beberapa pemotretan. Aku bisa menggunakan namanya untuk bersombong-sombong ria atau merebut satu-dua hak istimewah.

"Sedang apa? Kamu tidak masuk kelas? Pak Misuki sudah masuk ke kelasmu, kamu tidak takut?" Maeko muncul dengan tiba-tiba bersama rentetan pertanyaan.

Aku tersentak dan butuh beberapa detik untuk benar-benar kembali ke kenyataan. "Ah, aku terlambat, aku harus masuk," ucapku spontan. Lantas tanpa banyak berpikir aku melangkah meninggalkan Maeko, meski terhenti setelah empat hitungan. "Tunggu Maeko!" Sosok tengil yang sudah sedikit menjauh menatapku penuh tanya. "Kamu hendak membolos ya?" aku melanjutkan.

Gadis yang tidak ada manis-manisnya itu berkacak pinggang sambil mengembus kasar-kasar sebelum memberi jawaban. "Tidak, aku diminta mengambilkan buku tugas dan hasil ulangan di ruang guru, aku ini murid teladan!"







👺_____👺_____👺_____👺_____👺

Kalian tidak bisa makan siang sembarangan saat bersekolah di Jepang. Selain karena tidak ada "abang-abang batagor" atau pedagang kaki lima (padahal kakinya dua) lainnya, Jepang memiliki kebijakan makan siang yang kadang dimasukan dalam kurikulum sebagai shokuiku.

Kata asing tadi bisa diartikan sebagai pelajaran mengenai makanan dan nutrisi. Jadi di seluruh Jepang murid sekolah dasar sampai SMP tidak perlu membawa bekal atau membeli makanan di kantin, sebab sekolah menyediakan dengan menu yang lebih enak dari apa-apa yang dijual di kantin sekolah kalian (ehe~ bercanda). Kecuali karena satu-dua alasan sekolah bisa meniadakan.

Hebatnya, bukan guru atau petugas kantin yang membagikan makanan, tapi murid-muridnya sendiri. Setiap hari akan ada jadwal piket makan siang. Mulai dari mengambil, membagikan, hingga membereskan seluruhnya dilakukan oleh murid (dengan pengawasan wali kelas).

Kalau sudah SMA sih bebas mau makan atau enggak yaaa

Akhirnyaaaaa bisa cuap-cuap tidak jelas lagi di akhir bab ...


Pandu


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro