10. Ketakutan dan Keberadaan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku memang berniat mengunjungi Kazuhiko, menengok apakah Si Jakung Tiang Listrik benar-benar dihabisi diare seperti celotehan Maeko, atau dikejutkan oleh flu yang konon tidak sudi mampir ke tubuh manusia bodoh. Namun tekadku yang tidak seberapa kuat disapu oleh kesombongan, keengganan, serta ketiadaan Paman Nakamura hingga habis tidak berbekas.

Laki-laki paruh baya beranak satu itu--Paman Nakamura--meninggalkan pesan di kotak masuk surat elektronik putrinya. Mengabarkan bahwa ia telah bertolak menuju Yokohama sekitar pukul satu atau dua, siang tadi untuk urusan bisnis. Lantas seperti biasa, kios dan berbagai macam tanggung jawab di dalamnya diambil alih oleh Kak Amane--anak tetangga yang berjualan daging--sampai pemilik generasi ke-5--Maeko--kembali dari rutinitas bersekolah. Jangan heran, remaja pemalas yang menolak melanjutkan sekolah itu--Kak Amane--memang menjabat sebagai penjaga toko darurat bagi sebagian besar penguni Yanaka Ginza.

Aku sempat bertanya pada Maeko mengenai urusan bisnis yang menyeret ayahnya hingga Yokohama. Lantas Gadis berambut pendek itu menjawab dengan penuh kejengkelan dan hentakan terhadap keputusan sepihak Paman Nakamura. Serapah pun terdengar satu kali sebelum ia--Maeko--membeberkan satu-dua musibah yang menimpa rekan bisnis toko Nakamura hingga bibit bayam dan sawi terlambat ditanam. Padahal musim gugur hampir berakhir dan bulan-bulan dingin adalah waktu terbaik untuk membesarkan sayuran hijau--sawi hijau, kubis, bayam.

Sejujurnya aku yakin Paman Nakamura telah mempertimbangkan berbagai hal seperti musim tanam, harga sayur, dan permintaan pelanggan sebelum bertandang ke Yokohama. Namun aku tidak punya cukup keberanian untuk memotong kekesalan Maeko dan mengungkap cara pikir rasional ayahnya--ia ditelan kemarahan dan aku tidak ingin menambah porsinya. Lagi pula aku senang Paman meninggalkan Yanaka Ginza. Sebab dengan begitu, aku yang ditelan kekesalah terhadap omongan Kazuhiko diberkahi alasan cuma-cuma untuk menunda-nunda kunjungan.

Rasanya sedikit geli membayangkan aku datang menemui Kazuhiko, berdiam dalam satu ruangan dengannya, lantas mengatakan sesuatu seperti "mari berdamai" atau "lupakan saja, aku tidak marah," "santai saja, lagipula kita ini teman," aneh sekali bukan! Pertikaian kecil seperti kemarin seharusnya dapat diabaikan, tidak perlu campur tangan ucapan-ucapan menjijikan.

Sayang kesenanganku tidak bertahan lama, ia dihabisi dengan brutal oleh perangai serta ucapan aneh Maeko.

Gadis itu merengek, ia tidak membiarkan pegawai paruh waktunya pulang meski waktu kerja telah berakhir satu setengah jam lalu. Lantas sebagai manusia normal yang memiliki banyak urusan dan ingin sedikit bermalas-malasan, aku memprotes dengan penjabaran panjang mengenai Kakek serta pekerjaan-pekerjaan rumah. Meski gagal dan Maeko berkilah dengan "aku bisa mati bosan jika ditinggal sendiri."

"Kakek harus menghabiskan makan malamnya sendiri, mesin-mesin sederhana itu juga harus ia urus sendiri, hei biarkan aku pulang!" protesku untuk kesekian kalinya. Sayang Maeko tidak merespon dan memilih menyibukkan diri dengan berlembar-lembar uang dalam mesin kasir. "Apa sekarang kamu takut dengan hantu?" Lanjutku sambil menggeser kursi tinggi mendekati meja kasir--dan Maeko.

Aku tidak mengira pertanyaan tadi mampu menarik perhatian gadis unik di hadapanku. Sampai tatapan tidak senang melayang melewati udara berbau sayur-mayur, lantas menerobos keberanian dan menundukkan pandanganku. Satu-dua tendangan dan injakan lewat kolong meja menyusul setelahnya, bersama ancaman tidak menyenangkan. "Aku akan memotong gajimu jika kamu berani meninggalkan toko!" Gadis yang tidak ada manis-manisnya itu semakin tidak manis saja.

"Ini pemerasan!" Aku bangkit dari hadapan Maeko, berjalan mengelilingi kios lantas mengambil ruang di bawah pintu-pintu gulung. Sempat kulirik gadis itu sekali dan keengganan untuk bercerita jelas terpatri di wajah segarnya.

Paman Nakamura sering meninggalkan toko, Yanaka Ginza, dan putrinya untuk berbagai macam urusan. Orang tua itu diberkahi dengan banyak kenalan serta kawan dan anak perempuannya sudah terbiasa tinggal sendiri. Sepanjang ingatanku, Maeko tidak pernah merengek, memaksa orang lain menemaninya, apalagi mengucap takut akan keberadaan makhluk tidak kasat mata. Ia mandiri, pemberani, dan kurasa hantu pun akan berpikir dua kali untuk mengerjainya, mengingat Maeko berhasil mempertahankan gelar juara karate se-Tokyo.

Jadi sesuatu yang tidak kuketahui mungkin tengah mengusik eksistensi tangguh Maeko. Kemungkinan lain ia sekedar ingin bermanja-manja atau sedang berusaha mengeluarkan sisi wanitanya--alias pubertas. Tunggu, bagaimana jika Maeko sedang menggodaku? Ia juga memaksa agar aku menemaninya pulang kemarin malam, ini cocok sekali!

"Haha," tanpa sadar aku tertawa. Omong kosong, bisa jadi gadis berambut Pendek itu sedang iseng mengerjaiku. Toh ia memang senang seenaknya sendiri.

"Ryu, kamu mulai tidak waras ya?" 

"Tidak, aku tiba-tiba teringat hal lucu," jawabku asal. Apapun itu sebaiknya aku berhenti menerka-nerka. "Kamu tidak lapar?" lanjutku mengubah arah pembicaraan.

"Benar juga," Maeko menanggapi sambil menerawang jauh melewati jalanan sepi Yanaka Ginza. "Aku akan memasak sesuatu, kamu tutup kiosnya." Aku mengangguk sebagai jawaban sebelum mengambil pengait dan menarik turun pintu gulung.

Maeko telah meninggalkan area toko saat aku berbalik, menyisahkan keranjang-keranjang dan tirai pembatas yang bergoyang-goyang, pemandangan yang sering terbentang saat aku masih kanak-kanak. Dulu aku rajin menghabiskan malam di kediaman Nakamura, menginap juga tidur bersama Maeko. Si Jakung Kazuhiko pun beberapa kali turut serta setelah dihasut habis-habisan hingga tidak ingin melewatkan keseruan. Aku tidak bisa mengingat dengan pasti, tapi saat itu rasanya mungkin sangat menyenangkan dan melegakan.

Aku menyusul Maeko lima menit kemudian, lantas mendudukan diri di hadapan meja persegi ruang tengah--tepat di balik tirai--ditemani suara peralatan masak saling adu. Sejujurnya aku yakin gadis itu sedang merebus air untuk menyeduh makanan instant--atau sesuatu sejenis--meski terdengar seperti sedang membuat hidangan besar.

Tidak ingin menyia-nyiakan waktu atau berpikiran buruk mengenai masakan Maeko, aku mengeluarkan catatan matematika dari dalam tas, berniat mengejar ketertinggalan dalam belajar. Bagaimanapun ujian semester sudah semakin dekat dan sialnya aku kehilangan banyak kesempatan memperdalam pemahaman. Maksudku kerja sambilan, membantu Kakek, perjanjianku dengan Kazuhiko, dan lain-lain hal yang tidak menyenangkan untuk disebut sangat serakah dalam mengambil perhatian. Aku memang tidak berniat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, tapi berhasil mempertahankan nilai dan peringkat itu sangat memuaskan.

Belum lama aku memulai prosesi sakral--belajar, telepon yang tergantung di samping tirai pembatas mengganggu dengan dering-dering panjangnya. "Maeko, apa aku harus mengangkatnya?" tanyaku setengah berteriak. Alih-alih mendapat satu-dua kata sebagai jawaban aku dikejutkan dengan keributan benda-benda jatuh--mungkin sendok atau supit. Maeko muncul dari dapur setelahnya, ia berjalan tergesa sebelum mengambil alih panggilan seperti pemilik rumah yang bertanggung jawab.

"Halo kediaman Nakamura," ucapnya ramah. Ia lantas mengatakan sesuatu seperti, "ya Ryu ada di sini" dan "tidak," "tidak," "ya."

"Siapa?" Tanyaku setelah Maeko mengakhiri panggilan.

"Kakekmu, ia menanyakan apa kamu ada di sini." Aku mengangguk, tipikal orangtua yang kawatir dengan keberadaan anaknya, meski jelas Kakek adalah kakek--orang tua bukan orangtua. "Ia juga menanyakan Kazuhiko," Lanjut Maeko.

"Kazuhiko kenapa?"

"Si bodoh itu belum pulang dan tidak bisa dihubungi," Maeko melipat tangan sebelum melanjutkan. "Cih, ia tidak diare." Kerutan tipis tergambar di dahinya bersama kenyataan bahwa ia tidak senang mendengar kawannya sehat.

"Mungkin ia pergi bermain dengan anak-anak lain, ia punya banyak teman dan penggemar," jawabku asal sambil tidak mempermasalahkan tingkah Maeko. 

Gadis yang tidak ada manis-manisnya itu mendekat, ia berjongkok di sampingku sebelum memberi tatapan selidik. "Bukan begitu, kakekmu bertanya apa Kazuhiko benar-benar tidak datang ke sekolah, sebab orangtuanya yakin Si Bodoh itu berangkat pagi ini."

"Ia pergi dari rumah?" tanyaku spontan. Maeko mengedik lantas meletakkan tangannya di dagu. "Lagipula darimana Kakek tahu Kazuhiko tidak datang ke sekolah?" Gadis di sampingku kembali mengedik sebelum menoleh ke kanan, mencari-cari jam dinding yang tergantung lemas.

"Sudah hampir pukul sepuluh." Aku sering bermain dengan Kazuhiko hingga malam, juga Maeko dan akhir-akhir ini Asami turut serta. Jadi rasanya tidak perlu terlalu mengkawatirkan Kazuhiko. Seperti kataku tadi, si Jakung itu pasti terlalu asik bermain hingga lupa waktu, baterai ponselnya habis dan ia sedang dalam perjalanan pulang. "Bagaimana kalau ia diculik atau tersesat?" Maeko mengungkap kemungkinan paling tidak sedap, meski angka kriminalitas di sekitar Yanaka Ginza terbilang sangat rendah.

"Yang benar saja, ia akan pulang sebentar lagi." Aku memupuk pemikiran-pemikiran baik sambil melepas fokus dari Maeko, memberikan seluruhnya kepada buku-buku catatan.

"Kamu tidak kawatir?" Aku menggeleng sebagai jawaban tanpa repot-repot menatap lawan bicara. "Sebaiknya kamu hubungi teman-teman satu kelasmu atau siapa pun yang mungkin pergi bermain dengan Kazuhiko."

"Kamu benar," aku menjeda. "Tapi seperti yang kamu lihat, aku tidak membawa ponsel."

"Sudah berapa kali aku menceramahimu tentang pentingnya benda itu!" Maeko menggeleng bersama kejengkelan-kejengkelan, tangan kanannya yang menyentuh dagu kini sibuk memukuli meja persegi ruang tengah. Padahal benda mati itu tidak punya salah pun andil dalam menumbuhkan keyakinan bahwa ponsel tidak begitu penting--bagi Takahashi Ryu. "Benar-benar!"

Aku sengaja menoleh ke sisi lain, meninggalkan wajah masam Maeko beserta omelannya. Kawanku ini harus banyak-banyak belajar bersikap tenang dan sabar. "Maeko." Panggilku beberapa detik kemudian. Sesuatu yang berbau aneh memenuhi ruang tengah dan aku menyadari apa-apa yang jelas-jelas kami lupakan. "Kamu sedang memasak bukan?"

Empat kata yang baru saja meluncur dari bibirku berhasil mengagetkan Maeko, membuatnya berlari tunggang-langgang menuju dapur dan berteriak-teriak jengkel. Kelontangan peralatan dapur pun kembali mengalun setelahnya. Keributan jelas sedang berlangsung dalam daput, tapi aku memilih diam. Sebab ketiadaan Kazuhiko datang mengusik dengan tiba-tiba, membuatku mempertanyakan bagian mana yang salah dari hidup dan hubungan kami.







📐_____📐_____📐_____📐_____📐

Kalian tahu tidak kalau di Jepang satu tahun ajaran terdiri dari tiga semester?

Kalau belum, sekarang jadi tahu hehe

Pandu

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro