Delphinus

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Jangan tanya pesta macam apa yang tengah dihadirinya. Karena dia benar-benar belum pernah menginjakkan kaki di perhelatan semewah ini.

Stella bengong. Seumur-umur baru sekarang dia menghadiri acara semegah ini. Minusnya lagi, dia datang bukan sebagai tamu undangan. Fakta yang membuatnya meringis sedih.

Bahkan statusnya sebagai mantan pemilik kafe depan kampus tak lantas membuatnya punya pengalaman menghadapi kerumunan mentereng ini. Stella tipe orang yang menghargai zona nyaman. Sesekali keluar zona aman masih oke, tapi keluar zona hijau dan masuk ke zona merah itu lain persoalan.

Dirapikannya gaun hitam selutut yang dia kenakan. Rambutnya yang kali ini berwarna cokelat tersanggul rapi dalam model french twist sederhana. Setelah memastikan rias wajahnya sempurna tak bercela, Stella baru melangkahkan kaki dari ruang ganti khusus di rumah mewah itu.

"Lynx, cepat ke sini!"

Stella mengerjap bingung, sedikit disorientasi. Namun, secepat kilat dia berhasil menyesuaikan diri. Telinganya masih merasa asing dengan nama barunya. Indra penglihatannya bersirobok pandang dengan seorang pria paruh baya berkumis lebat dan bertubuh tinggi besar. Perawakan kekar pria itu membuat hati Stella tak nyaman. Bergegas dia menghampiri sang pria yang malam ini menjadi supervisornya.

"Ya, Mr. Watts?" Stella mengangguk sopan.

"Ada pergantian posisi." Pria yang dipanggil Mr. Watts mengacungkan papan tabletnya. Dia mengedikkan kepala pada Stella.

"Lyra Lynx, malam ini kau bertugas di depan. Scarlet mengalami kecelakaan jadi dia tak mungkin bisa jadi pramusaji. Kau menggantikannya malam ini."

Stella terbelalak kaget. Mulutnya ternganga lebar. Mendadak kepanikan menyerang Stella.

"Mr. Watts, aku... aku tak mungkin jadi pramusaji," elak Stella gelisah.

Alis Mr. Watts terangkat naik. "Kenapa tak mungkin?"

"Anda memintaku jadi staf dapur, bukan pramusaji," jelas Stella gugup.

Mr. Watts memicingkan mata, "Kau mau dibayar atau tidak?"

"Tapi, Mr. Watts ...."

"Tak ada tapi-tapian," potong pria itu tak mau tahu. "Kita kekurangan pramusaji dan penampilanmu oke untuk jadi pengganti."

"Masih ada Emanuel," tawar Stella, merujuk pada staf dapur yang sering jadi anak bawang.

"Kau mau menjatuhkan kredibilitas perusahaanku dengan menempatkan laki-laki jerawatan itu di depan?" bentak Mr. Watts. "Ini pilihan terakhir, Lynx. Jika kau ingin dapat uangmu, kau harus mau ganti posisi."

Wajah Stella memucat. Itu benar-benar bukan pilihan yang bagus. Namun, dia butuh uangnya. Tabungannya nyaris kosong dan dia harus mengisinya dengan cepat sebelum awal bulan depan.

Jika saja aku cukup kaya dan tak sedang butuh uang, tak sudi aku menuruti perintah supervisor arogan seperti dirimu!

Stella sibuk mengomel dalam hati. Namun, mimik wajahnya sedatsr tembok. "Baiklah, Mr. Watts." Stella pasrah.

Disambarnya tas kertas yang diulurkan pria tinggi besar itu. Tanpa banyak kata menambahkan apron putih dan manset senada di gaun hitamnya. Pramusaji depan membutuhkan sepatu berhak tinggi, sayangnya karena tugas awalnya di dapur Stella hanya mengenakan sepasang kets yang nyaman.

"Ini oke?" tanyanya sambil menuding ke bawah.

Mr. Watts menggerutu pelan. Anggukan kepalanya menyatakan persetujuan. Gaun dan sepatu kets mungkin sedang jadi gaya trendi tapi tak cukup bagus untuk tugas malam ini. Dia tak bisa menyuruh pegawai barunya ganti sepatu. Tidak di saat suasana benar-benar genting dan mereka kekurangan personil.

Mr. Watts melambaikan tangan menyuruh pergi. Stella berjalan sambil menggerutu panjang-pendek. "Astaga, kenapa sial sekali aku hari ini?"

Dia melongok kanan-kiri, memastikan tak ada siapapun yang mengenalnya. Dengan jantung berdentum-dentum kencang, langkahnya berusaha mantap berjalan ke area saji. Tempat di mana ratusan gelas cocktail diisi oleh bartender profesional dan siap diantarkan ke para tamu.

"Pegawai baru, eh?" seseorang menyapanya.

Stella menarik satu nampan dan menata beberapa gelas cocktail. Dia bersiap mengangkatnya saat sebuah tangan kekar menahannya diam di tempat.

"Ada apa?" jawab Stella ketus.

"Kau belum menjawab pertanyaanku." Laki-laki itu tersenyum manis.

Stella mengamatinya lekat-lekat. Meski klimis dan necis dengan seragam pelayan—sama sepertinya, tapi aura cowok nakal kental terasa dari sosok yang berdiri di hadapannya.

"Namaku Edward Smith. Kau bisa memanggilku Ed." Laki-laki beranting perak kecil itu memamerkan senyum manisnya.

"Permisi Ed, aku harus lewat." Stella tak menggubris perkenalan ramah Ed.

"Wowowo ... tunggu dulu, Nona Cantik. Kau belum memberikan namamu."

Ed menahan pergelangan tangan Stella. Gadis itu menatap tajam Ed. Anting perak di telinga kirinya menarik perhatian Stella, tapi dia buru-buru mengalihkan perhatian.

"Lyra Lynx," jawab Stella ketus.

Alis Ed terangkat naik, "Nama yang unik. Boleh tahu artinya apa?"

"Tidak!"

"Pulang kerja mau ke bar?"

"Tidak!"

Secepat kilat Stella keluar ruang saji dan segera memasuki kerumunan besar tamu undangan. Meninggalkan Ed begitu saja yang masih terus tersenyum manis melihat kepergian gadis itu.

Mendadak langkah Stella terhenti. Mulutnya terbuka lebar. Pandangannya takjub memutari seluruh penjuru ruangan. Matanya dimanjakan dengan pemandangan aneka gaun luar biasa indah yang melekat sempurna di tubuh-tubuh langsing bak model. Bahkan setelan tuksedo yang dikenakan para kaum adamnya juga membuat Stella terpesona.

"Baru pertama kali ke acara seperti ini?" Ed menyenggol pelan lengannya.

Stella, tanpa mengalihkan pandangan, menganggukkan kepala, "Aku pernah datang ke pesta-pesta mahasiswa. Sama meriahnya, tapi berbeda skala glamornya."

Ed tertawa kecil, "Nikmati selagi bisa. Pesta Rossier punya standar menyamai Met Gala. Belum tentu tahun depan kau bisa datang ke sini lagi."

Stella hendak beranjak saat Ed mencekal tangannya.

"Ada apa lagi?" Stella ketus.

Sayangnya Ed tak terpengaruh kegalakan gadis berambut cokelat itu.

"Pulang kerja aku akan mengantarmu."

"Aku naik kereta."

"Aku naik motor."

Stella berdecak kesal. Ed menyeringai. Dan begitulah percakapan mereka berhenti. Terinterupsi oleh tanggung jawab menyukseskan salah satu pesta terbaik di New York.

~~oOo~~

"Ini menyebalkan!"

Carrina terkikik geli. Tangan gemulainya dengan anggun membelai gelas sampanye. Minuman manis itu—ditambah wajah kesal kakaknya yang sering muncul di tiap pesta keluarga—sangat mencerahkan malamnya.

"Harusnya kau berterima kasih. Papa dan Mama sengaja mengadakan pesta ini untukmu." Stella melirik Leo.

Yang dilirik mengumpat keras. "Pesta perjodohan sialan."

"Kali ini kubiarkan kau berkata kasar, tapi tidak lain kali," tegur Carrina. "Lagipula ini pesta yang indah. Mama sangat cemerlang merancang perjodohan berkedok acara super eksklusif."

"Ini seleksi awal calon menantunya," dengkus Leo.

Carrina tertawa, "Kau betul. Siapapun yang diundang malam ini sudah bisa dipastikan bibit, bobot, dan bebetnya."

Mereka berdua mengamati kerumunan di lantai bawah. Tempat mereka malam itu cukup strategis. Tersembunyi di salah satu ceruk di lantai dua, dengan penerangan temaram dan akses tak terbatas pada seluruh tamu undangan di lantai bawah, menjadikan tempat itu sudut favorit mereka tiap kali harus rehat sejenak dari keriuhan pesta.

"Sama sekali tak ada yang menarik hatimu, ya?" Carrina penasaran.

Wajar saja karena pesta malam ini khusus dibuat untuk Leo. Meskipun berkamuflase sebagai pesta makan malam megah untuk mempererat keakraban antar kolega bisnis, faktanya pesta tahunan ini merupakan misi pencarian jodoh terselubung untuk Leo. Bahkan si sulung Rossier sudah menyadari hal itu sejak lama meskipun kedua orang tuanya mati-matian mengelak modus tersebut.

Mata elang Leo memindai cermat seisi ruangan. Tercatat selusin lebih gadis potensial berhasil terjangkau radarnya. Mayoritas mereka punya kesamaan. Fisik sempurna dengan tubuh sekurus burung bangau dan wajah tanpa cela hasil perawatan mahal di klinik kecantikan kelas atas. Garis keturunan mereka pun sangat bagus untuk dimasukkan dalam portofolio kehidupan. Sayangnya hati Leo sulit ditaklukan oleh kesempurnaan deretan gadis potensial itu.

"Tak ada," tandas Leo.

"Tak ada?" Alis Carrina terangkat sebelah. Bakat alami yang diperolehnya dari sang papa dan sering membuat Leo kesal karena efek gerakan itu yang dipersepsikannya sebagai tindakan pencemoohan.

"Meredith?" Selidik Carrina, menyebut satu nama yang belakangan ini santer digosipkan dekat dengan kakaknya.

"Dia temporer," elak Leo.

Suara tawa Carrina kembali terdengar. Tangannya gemulai memutar gelas sampanye. Diliriknya kakak satu-satunya yang tengah memasang wajah muram. Gadis itu berpikir sejenak, mencoba berjudi dengan jawaban Leo.

"Stella?"

Carrina mengamati seksama wajah tampan kakaknya. Leo Rossier dikenal sebagai player berhati dingin. Wajahnya setampan malaikat, perilakunya seromantis Don Juan, tapi hatinya sedingin es Kutub Utara. Sampai detik ini belum pernah seorang wanita berhasil memikat hati kakaknya meskipun laki-laki itu tercatat beberapa kali berganti pasangan kencan.

Kali ini pun wajah Leo sama. Datar dan tenang. Tak ada ekspresi selain kemurungan yang kental di sana. Membuat Carrina sedikit frustasi.

"Di mana dia sekarang?" Leo balik bertanya.

"Hei, kau belum menjawab pertanyaanku," protes Carrina.

"Kau bertanya apa?"

"Astaga, Leo?" pekik Carrina kesal.

"Kau hanya menyebut namanya saja. Yang ngomong-ngomong ...." Leo menatap tajam adiknya, "... membuatku sangat penasaran dengan keberadaannya sekarang."

"Sudah kubilang dia pulang kampung."

"Aku sudah menyisir seluruh Prancis tapi tak berhasil menemukannya," sungut Leo pelan.

Kali ini alis Carrina terangkat sangat tinggi. Ini menarik. Dia tahu sejarah hubungan Leo dan Stella yang bak kucing dan tikus. Tak pernah absen bertengkar dan saling menjahili dalam level sadis. Namun, mengetahui kakaknya sengaja mencari keberadaan Stella adalah hal baru yang ditemukan Carrina.

"Kenapa kau susah payah mencarinya?" tanya Carrina penuh kecurigaan.

"Dia obyek yang sempurna untuk kejahilanku," jawab Leo malas.

"Benarkah?" goda adiknya. "Hanya obyek belaka? Tak ada niat lain?"

"Apa yang sedang kau coba selidiki, Carry?" Leo menyipitkan mata tak suka.

"Tak ada." Carrina mengangkat bahu. Senyumnya terkembang lebar, "Hanya sedang menggodamu."

Mereka berdua tenggelam dalam keterdiaman. Tak ada yang berminat membuka obrolan. Carrina disibukkan dengan keasyikannya mengamati tamu-tamu yang datang ke pesta orang tuanya.

Tahun ini ada peningkatan kandidat calon menantu Rossier. Gadis itu telah menemukan sosok mantan ratu kecantikan sejagat tahun kemarin, beberapa model papan atas yang sedang naik daun, juga para pewaris kaya berjiwa sosial tinggi yang wajahnya sering terpampang di halaman majalah.

Pandangan Carrina kembali menyapu lantai bawah, tempat pesta eksklusif orang tuanya digelar. Tamu-tamu undangan mengobrol akrab dengan para kolega. Di salah satu sudut terlihat orang tuanya tengah dikepung oleh setengah lusin politisi. Sementara di sudut yang lain beberapa paman dan bibinya yang tergabung dalam Tim Sembilan Rossier juga tengah mengobrol akrab.

Perhatian gadis cantik itu beralih ke para pelayan yang berseliweran di antara para tamu. Untuk setiap acara yang diadakan oleh keluarganya, orang tuanya selalu menyewa jasa katering profesional.

Carrina tersenyum geli mengingat perdebatan papa dan mamanya. Sang mama bersikeras memasak sendiri makanan untuk para tamu—dibantu juru masak profesional tentu saja. Namun, papanya selalu menolak dengan alasan klise yang romantis. Pria itu tak ingin istrinya kelelahan.

Rayuan gombal yang sering direspon dengan ekspresi pura-pura muntah oleh kedua anaknya, tapi selalu dijadikan contoh oleh Carrina untuk memanjakan tunangannya.

Dia kembali menyapukan pandangan. Detik berikutnya gadis itu membeku. Refleks dia mencondongkan tubuh ke depan. Tak peduli jika aksinya akan membuat dirinya yang tengah bersembunyi terlihat jelas. Fokus Carrina tertuju lurus pada sosok mungil berseragam khas pelayan yang tengah membawa baki minuman.

"Astaga," Carrina mendesah keras.

"Ada apa?" Leo bertanya.

Carrina masih memelototi subyek yang dilihatnya. Lalu berpaling pada kakaknya. Ekspresinya campur-aduk.

"Kau tak akan percaya ini..."



Hallooooo.... Readers kesayanganku. Jumpa lagi dengan Stella dan Leo. Gimana... gimana... gimana..., masih suka kan dengan kisah mereka?

Eniwei maafkan daku karena publish seminggu sekali. Semoga secepatnya bisa publish cerita lebih sering lagi.

Seperti biasa, krisan kalian sangat daku harapkan yaaa... Plis vote dan meriahkan kolom komen di part ini. ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro