Camelopardalis

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Pencarian Leo berakhir buntu.

Sekali lagi dibacanya alamat yang tertera di lembaran dokumen dalam stopmap gading.

Downtown St. Louis 9th floor unit 401.

Nyatanya, alamat itu sama sekali tak menunjukkan nama orang yang tengah dicarinya. Lebih parahnya lagi, alamat itu adalah apartemen kosong yang masih belum berpenghuni.

"Sialan, Lanister!" maki Leo keras.

Beberapa orang melirik ke arahnya. Sementara resepsionis wanita di hadapannya memandang penuh damba. Pandangan yang selalu Leo dapatkan dari kaum hawa yang terpesona dengan kesempurnaan fisiknya.

Apa Lanister salah? Batin Leo. Keningnya berkerut dalam. Sepertinya itu tidak mungkin. Lanister adalah salah satu dari segelintir orang terbaik di bidangnya. Dia detektif profesional dan tak pernah mengecewakan klien.

Koreksi, belum pernah mengecewakan. Dan Leo yang akan jadi pembatal rekor itu karena jelas-jelas dia merasa kecewa sekarang. Mendesah frustasi, sekali lagi Leo bertanya pada resepsionis.

"Apakah anda yakin unit 401 benar-benar kosong?" tanya Leo penuh harap.

Wanita cantik dengan name tag B. Markle itu mengangguk.

"Sangat yakin, Tuan. Ini gedung apartemen baru dan masih banyak unit yang kosong. Sejak selesai dibangun unit 401 masih belum berpenghuni."

Leo lemas. Semangatnya turun drastis. Seharusnya ini saat yang menggembirakan untuknya. Dia sudah merancang belasan ide jahil untuk dilakukan setelah menekan bel pintu apartemen 401. Nyatanya niat itu tak akan pernah tereksekusi karena orang yang dicarinya ternyata tak bertempat tinggal di apartemen mewah ini.

"Terima kasih atas waktunya." Leo mengangguk sambil melempar seulas senyum tipis. Meskipun kecewa dia tak boleh melupakan sopan-santun pada kaum hawa. Etiket para gentleman harus terus ditegakkan bagaimanapun suasana hatinya.

B. Markle merona mendapat hadiah senyum tipis Leo. Dia sudah tahu siapa lelaki muda di hadapannya ini. Tak lain tak bukan adalah Leo Rossier, salah satu dari keturunan klan terkaya di dunia yang pesonanya sudah tersohor ke mana-mana. Wajah tampannya berulang kali menghiasi halaman majalah dan koran dalam berbagai jenis pemberitaan. Mulai dari prestasi hingga gosip dengan sederet wanita cantik. Tak Markle sangka jika pagi ini dia bisa melihat secara langsung sosok sang taipan muda yang penuh daya pikat.

Langkah Leo gontai keluar dari gedung apartemen. Matanya langsung bertemu dengan pemandangan indah Sungai Mississippi. Downtown St. Louis memang hunian yang terletak tepat di samping sungai terpanjang kedua di Amerika Serikat. Menilik pemandangan menawan dan fasilitas premium yang disediakan pengelola membuat gedung apartemen ini melejit nilainya dan termasuk dalam deretan tempat tinggal eksklusif nan mewah.

Sepanjang jalan menuju parkiran mobil, Leo berusaha menelepon Lanister. Butuh berkali-kali panggilan sebelum sang pemilik nomor mengangkat gawainya. Suara serak pertanda bangun tidur tak membuat Leo sungkan.

"Datamu tidak valid." Leo langsung ke inti pembicaraan.

"Maafkan aku, Tuan. Aku tak mengerti apa yang kau bicarakan." Suara serak Lanister terdengar.

"Stella tak tinggal di Downtown St. Louis," gerundel Leo.

"Maaf?"

"Bangun, Lanister!" bentak Leo. Suaranya tak sabar.

"Astaga, Tuan, di sini masih dini hari jika kau perlu tahu," sungut Lanister.

"Kau secepat kilat berlibur?" Leo tak percaya.

"Tugasku sudah selesai." Lanister membela diri.

"Belum," tukas Leo dingin. "Tugasmu baru selesai jika gadis itu benar-benar sudah ditemukan."

Mendadak terdengar suara berdebum dari sambungan gawai. Leo yakin jika saat ini nyawa Lanister sudah kembali seutuhnya. Suara serak khas bangun tidur telah berganti dengan nada formal dalam mode profesionalitas kerja.

"Beri aku waktu, Mr. Rossier," ujar Lanister cepat.

Leo menyeringai masam, "Kuharap waktumu tak sampai lusa."

"Lusa?"

"Ada pesta di rumah orang tuaku. Kau tahu pesta apa yang aku maksud."

Leo yakin saat ini Lanister tengah menganggukkan kepala. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Leo mematikan sambungan telepon. Otaknya kembali kacau. Konsentrasinya terbelah. Dia menggerutu kesal saat pesan masuk dari asistennya menyatakan ada rapat dengan salah satu biro keamanan nasional satu jam lagi.

"Sialan!" Sekali lagi Leo merutuk sebelum menggeber mobil menuju kantor Safety Global Rossier. Seandainya dia tak punya jadwal sepadat setan ini, Leo akan mencari gadisnya hingga ke ujung dunia sekalipun!

~~oOo~~

"Mama, jangan pakai warna emas!"

Maia menelengkan kepala. Diangkatnya tangan kiri tempat tersampir sehelai brokat perak dengan detail bunga yang indah.

"Kalau begitu, perak?"

Di seberang meja, putri bungsunya yang tengah menikmati canape udang, mengamati seksama. Kening halusnya berkerut lembut.

"Perak dan ungu?" Alis indah Carrina melengkung naik.

"Sempurna!" Maia mengangguk puas.

Dia berbalik dan menginstruksikan sederet perintah pada asisten pribadinya. Sementara Carrina malas-malasan memandang sang mama dengan tangan sibuk menyomot kudapan.

"Berhenti ngemil, Carry," tegur Maia.

Carrina mengedikkan bahu. "Aku tak perlu diet mati-matian, Ma. Zora sudah menerimaku apa adanya."

Maia berdecak kesal, "Bukan itu yang Mama maksud. Kau harus jaga kesehatanmu, Sayang. Cuaca..."

"Ma, setelah ini akan kubakar kalori kudapan ini di gim," potong Carrina cepat.

Kombinasi jetlag dan ceramah mamanya tentang kesehatan bukan yang dibutuhkan jiwa Carrina sekarang. Tidak setelah dia menempuh perjalanan berjam-jam dengan pesawat komersil melintasi dua benua.

Maia menyeringai lebar. Trik ampuhnya memaksa anak-anaknya hidup sehat adalah dengan metode ceramah cerewet. Taktik ini selalu sukses diterapkan karena tak ada yang kebal dengan mulut mungilnya.

"Ma?"

"Ya, Sayang?"

"Apa Mama tak bosan tiap tahun mengadakan pesta seperti ini?" Jemari lentik Carrina mencomot roti lapis mini dengan isian daging.

"Tiap tahun?" Maia melirik putrinya penuh arti.

"Oke, tidak setiap tahun. Tapi lima tahun ini Mama dan Papa selalu mengadakan pesta makan malam mewah. Oh, jangan bilang itu hanya untuk meluaskan relasi bisnis Papa," cetus Carrina memergoki lirikan penuh arti sang mama.

"Kalau begitu, untuk apa menurutmu pesta ini, Sayang?" Maia mendekati putrinya.

Ditariknya kursi dan duduk di samping si bungsu. Kontradiktif dengan nasehatnya pada semua anaknya, wanita itu justru giat memasukkan segala jenis makanan ke dalam tubuhnya yang mungil.

"Perjodohan?" tebak Carrina.

Maia tersenyum, "Siapa yang harus kami jodohkan, Carry?"

"Berhubung aku sudah bertunangan dengan Zora, sudah pasti jawabannya Leo?"

Maia terkekeh geli. Butuh beberapa waktu baginya mengiyakan tebakan Carrina. Secara teknis pesta mewah tahunan yang rutin diadakannya memang dikhususkan untuk putra sulungnya. Namun, tak ada pemaksaan perjodohan di dalamnya. Maia dan David - suaminya - sepakat memberikan kebebasan pada anak-anaknya untuk melabuhkan hati mereka pada siapapun.

Namun, terkadang kasus khusus muncul dalam kehidupan percintaan anak-anaknya yang membuat Maia dan David harus turun tangan. Salah satunya saat julukan player mulai melekat di belakang nama Leo Rossier, sulung mereka yang berharga.

"Kakakmu tak perlu dijodohkan," elak Maia.

"Tapi dia perlu didorong," celetuk Carrina. "Ayolah, Mama. Aku tahu jika kalian khawatir dengan deretan wanita yang dikencani Leo."

Helaan napas Maia terdengar panjang. "Tak ada yang cukup baik untuk kakakmu, Carry."

"Idem." Carrina mengangguk cepat.

Maia melirik putri semata wayangnya. Gadis cantik yang mewarisi pesona klan Rossier itu tengah menatapnya malas-malasan.

"Aku benci gadis-gadis manja itu, Ma," kata Carrina jujur.

"Kenapa?" Maia berpura-pura tak tahu.

"Mereka tak tulus pada Leo. Panjat sosial, numpang tenar, bahkan terang-terangan mata duitan," imbuh Carrina.

Maia tertawa, "Wanita butuh itu semua untuk bertahan hidup."

Perhatian Carrina teralihkan. Mata birunya menatap lekat-lekat sosok cantik sang Mama. Ekspresinya penuh rasa ingin tahu.

"Apa itu juga yang Mama inginkan saat mendekati Papa?"

Tawa Maia pecah berderai. Wanita mungil itu tertawa hingga meneteskan air mata. "Sedikit banyak," jawabnya jujur.

Carrina terperangah, "Mama tak serius, kan?"

"Carry, Sayang." Maia mengelus kepala putrinya. "Wanita harus materialistis karena dia akan melahirkan anak-anak dari lelaki yang dicintainya. Dan seorang wanita harus memastikan bisa memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Kau tentunya paham segala hal yang berderajat terbaik pasti membutuhkan dana besar?"

Carrina menggerutu, "Astaga, kupikir sesuatu yang bisa jadi gosip. Materialis semacam itu memang kewajiban orang tua ke anaknya, Mama."

Maia mengangkat alis. Senyumnya penuh isyarat licik. "Jadi kau ingin gosip? Bagaimana jika Mama beri tahu sesuatu?"

"Apa itu?" Carrina spontan mencondongkan tubuh mendekati mamanya.

"Bukan Mama yang mengejar papamu, tapi sebaliknya. Papa yang mati-matian mengejar Mama."

Maia mengedipkan sebelah mata sebelum berlalu meninggalkan putrinya. Sementara Carrina tersenyum lebar mendengar ucapan mamanya.

Di depan dirinya dan Leo, kisah cinta kedua orang tuanya sudah sangat legendaris dan menginspirasi. Dia dan Leo bisa melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kedua orang tuanya saling mencintai. Papa memuja Mama dan begitu pun sebaliknya.

Merekalah panutan bagi Carrina dalam membina hubungan dengan Aozora—tunangannya. Di dunia ini, Carrina yang paling tahu bahwa Leo juga sependapat dengannya. Kakak satu-satunya itu juga tengah mencari cinta sejati meskipun cara yang dipilih Leo sangat dibenci Carrina.

Gadis berambut panjang itu mencomot sepotong kudapan lagi sebelum berlalu meninggalkan kamar orang tuanya. Siulan riang terdengar nyaring membahana sepanjang lorong. Waktu bergosip telah usai. Kini saatnya memastikan persiapan pesta telah berjalan paripurna.

~~oOo~~ 

Kira-kira Leo mau atau tidak, nih, dijodohkan? Secara hatinya kan, sudah tertambat ke seseorang?

Ooops.... Spoiler alert!!!

Ngomong-ngomong readers-ku sayang, sekarang cuaca sedang tak menentu. Banyak penyakit bermunculan. Readers-ku jaga kesehatan selalu yaaa.... Biar bisa turut menemani Leo mencari kekasih hatinya yang hilang. Hehe...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro