Bootes

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Jangan lupa pukul dua siang kita ada janji temu dengan perwakilan Google."

Leo mengangguk. Jasmine, sepupu tak sedarahnya sibuk membereskan berkas. Perempuan berpenampilan elegan itu menyibakkan rambut sambil meneliti raut muka Leo.

"Ada apa?" tanya Jasmine.

"Aku jenuh dengan jadwal monsterku," gerutu Leo.

Jasmine tertawa. Dia tahu perasaan sepupunya. Beberapa tahun ini perusahaan tengah berada di puncak popularitas dan berimbas pada jadwal kerja gila-gilaan. Perempuan itu bahkan sudah lupa kapan terakhir kali dia memiliki kehidupan sosial.

Berbeda dengan Leo yang memiliki cap flamboyan penebar pesona, Jasmine berkebalikan total dengan sepupunya. Jangankan berganti-ganti pasangan kencan, ada lelaki yang cukup berani mendekatinya saja sudah syukur. Julukan Putri Es yang tersemat di belakang namanya sudah cukup jadi penghalang para kaum adam mendekat.

Jasmine Ortega lebih cocok jadi putri Rossier alih-alih Leo dan Carrina. Sifat dingin mereka sangat identik. Kelakar yang sering disinggung Leo dan adiknya tiap kali mereka berkumpul bersama.

"Nikmatilah selagi ada kesempatan." Jasmine mengunci tasnya. Kakinya yang berbalut sepatu Jimmy Choo melangkah cepat menghampiri Leo. Dia mendaratkan ciuman di kedua pipi sepupunya.

"Kuharap kau bisa segera menyelesaikan masalahmu, Leo," kata Jasmine.

"Hah, memangnya aku punya masalah?" dengkus lelaki itu ketus.

Jasmine tertawa kecil, "Aku mengenalmu seumur hidup, Tuan. Aku bahkan tahu seberapa banyak kerutmu yang muncul saat marah atau senang. Dan, sekarang kau punya masalah yang jauh dari konteks pekerjaan."

"Aku punya jumlah kerut yang berbeda saat marah atau senang?" Leo membeo penasaran.

"Tentu saja. Saat marah kau punya dua kerutan kecil di ujung mata, tapi saat senang jumlahnya naik dua kali lipat. Nah, selamat siang. Jangan lupa dapatkan kontrak dengan Google itu, Leo."

"Cih, pekerjaan lagi," keluh Leo.

"Jangan kekanak-kanakan. Urusan dapur ribuan pegawai kita bergantung pada kemampuan negosiasimu."

Kantor kembali hening sepeninggal Jasmine. Leo merenung. Diputarnya kursi dan memandang keriuhan Manhattan dari dinding kaca. Musim panas Big Apple seolah menumpahkan seluruh orang ke jalanan. Pedestrian disesaki warga lokal dan turis asing. Semua berjalan cepat seolah tengah melakukan perlombaan menghindari sengatan panas matahari yang membakar bumi. Bistro dan kafe disesaki pengunjung di jam makan siang.

Seharusnya Leo juga turut bergabung dengan keramaian orang-orang itu. Ini sudah masuk jam istirahat kantor dan dia punya jadwal padat yang membutuhkan banyak asupan kalori. Sayang, nafsu makan Leo menguap sejak berhari-hari lalu. Daripada makanan, lelaki itu lebih suka menggelontor perutnya dengan anggur berkualitas tinggi.

Ujung jemari Leo mengusap-usap bibir. Teringat kenangan dua tahun silam. Benaknya hampir berkelana ke masa lalu saat pintu kantor diketuk keras.

"Masuk!" Suara Leo dingin.

Seorang lelaki keturunan Australia-Inggris berusia 28 tahun melenggang masuk kantor. Tubuhnya tinggi dan ramping, berambut pirang tebal dengan sepasang mata biru pucat. Wajahnya tampan dan bersih tanpa hiasan cambang sedikitpun. Leo tahu bahwa lelaki sebaya dengannya ini adalah pecinta fashion kelas atas dan tak bisa menyalahkan sang detektif. Selera mahalnya bisa diakomodasi oleh penghasilan perbulannya yang tergolong di atas rata-rata.

"Mr. Rossier." Lelaki itu mengangguk singkat.

Leo memberi isyarat ke kursi depan mejanya, "Apa yang kau dapatkan, Lanister?"

Alex Lanister, seorang detektif purnawaktu yang disewa Leo, menyodorkan amplop besar. Lelaki itu menyukai pembawaan Lanister yang ringkas dan efisien, tak pernah berbasa-basi, dan bukan tipikal individu yang suka membuang waktu. Cocok dengan jam luangnya yang terbilang langka.

Secepat kilat diraihnya benda yang disodorkan Lanister. "Apa ini?"

"Kau tak akan percaya dengan fakta yang kutemukan." Lelaki itu berkata malas-malasan.

Leo membuka amplop dan tertegun. Di dalamnya terdapat salinan dokumen imigrasi, salinan rekening koran, dan salinan beberapa dokumen lain yang Leo yakin 100 persen diperoleh Lanister dari jalur ilegal.

Lebih dari itu, nama yang tertera di kertas-kertas itu membuat keningnya berkerut. Salinan dokumen imigrasi yang langsung menarik perhatian Leo.

Dia terguncang. Tubuhnya membeku. Matanya nanar memelototi huruf-huruf yang tercetak rapi di sana. Lanister tergelak melihat ekspresi Leo.

"Aku bertaruh pada diriku sendiri bahwa kau pasti tertarik dengan informasi ini," kata Lanister.

"Kau bercanda," desis Leo.

Lelaki itu menggeleng. "Aku susah-payah meretas pangkalan data imigrasi dan kau bilang bercanda? Astaga Tuan, lelucon seperti itu beresiko sangat tinggi membuatku masuk bui."

Leo masih membeku. Tak memedulikan ocehan lelaki di depannya. Jantungnya berdenyut kencang. Kepalanya terasa pening. Sensasi familiar mulai muncul di hati. Rasa yang identik dengan perayaan favoritnya sepanjang tahun. Natal.

"Aku ... aku tak percaya ini." Leo tergagap.

Lanister tersenyum, "Aku juga tidak. Tapi itulah kenyataannya."

Mata Leo terpejam. Napasnya terhembus pelan. Lanister menatapnya dengan pandangan geli yang tak ditutup-tutupi.

"Aku tak percaya jika aku tak melihatnya sendiri," kekeh lelaki itu.

"Apanya yang tak percaya?" tanya Leo.

"Kau dan obsesi gilamu pada gadis itu."

Leo tersenyum tipis. Ditimang-timangnya amplop pemberian sang detektif. Pandangannya murung.

"Kau benar. Aku juga tak tahu kenapa gadis itu sangat memengaruhiku. Padahal jelas-jelas dia membenciku."

"Membencimu?" Alis Lanister terangkat heran.

Leo tak sadar mengulas senyum datar, "Pertemuan pertama kami sangat buruk, tapi aku benar-benar tak tahan padanya. Dia sangat menggemaskan."

Ingatan Leo kembali ke peristiwa hampir dua tahun silam. Itu ciuman pertamanya yang sangat menggetarkan hati. Benar-benar ciuman pertama dalam arti yang sebenarnya. Leo sudah berkali-kali mencium wanita dan reputasinya sebagai pencium ulung sangat bisa dibanggakan.

Namun, kala mencium gadis itu, dunia Leo serasa runtuh. Dia terguncang. Bagai remaja belasan tahun yang tengah mencoba mencium cinta pertamanya, jantung Leo berdetak tak karuan. Itu sebenarnya sebuah gerakan yang spontan karena Leo tak tahan dengan bibir mungil merah jambu yang sendu menceritakan sekelumit kehidupannya. Namun, sedetik kemudian gerakan spontan itu berubah jadi kenangan yang indah dan penuh makna.

Tak terlupakan.

Bahkan hingga kini.

"Oke, kutinggalkan berkas itu untukmu. Jika butuh bantuan lagi, kau tahu di mana menghubungiku."

Lanister bangkit dan melenggang pergi. Namun, sebelum mencapai pintu suara Leo memanggilnya.

"Setelah ini kau mau ke mana?"

"Bahama mungkin," jawab Lanister, "Aku juga perlu berlibur, Tuan Muda."

"Kukirim bonusmu sekarang juga."

"Kuharap nominalnya cukup besar," bibir tipis lelaki itu menyeringai. "Aku butuh istirahat panjang setelah mengambil dokumen-dokumen itu."

"Mengambil, eh?" Alis Leo terangkat tinggi. "Bukan mencurinya?"

"Apapun sebutanmu, Tuan," senyum Lanister. Dia beranjak pergi meninggalkan kliennya dalam keheningan kantor.

Leo menimang berkas-berkas di tangannya. Gemuruh jantung itu datang kembali. Kali ini lebih cepat dan lebih menyakitkan. Fakta di dalam amplop itu terasa menggetarkan jiwa namun sekaligus menakutkan untuknya.

Nyaris dua tahun ....

Nyaris ....

Bibir Leo melengkung membentuk senyum simpul. Jemarinya mendadak gemetar saat mengusap lembut amplop di tangan. Sangat tak bisa dipercaya bagaimana superioritasnya mendadak tumpul hanya dengan menyebut nama gadis itu.

Sebentar lagi dia akan bertemu dengan gadisnya. Senyum Leo makin lebar. Hatinya sudah tak sabar menunggu waktu pertemuan mereka. Pandangan Leo menerawang ke langit biru cerah di luar jendela kantor.

"Kenapa kau menghilang dariku, Steel?"

Haloooo.... Kita bertemu lagi... Eniwei, sudahkah readers mendapatkan feel romansa antara David dan gadis yang dicarinya?

By the way, kalau author adakan giveaway ada yang mau ikutan nggak ya? Tulis jawaban kalian di kolom komentar yak. ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro