Andromeda

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Sebaiknya kau punya alasan yang bagus untuk kecerobohanmu kali ini, Leo."

Leo meringis. Kesalahannya bukan kesalahan fatal sebenarnya. Namun, di mata David Rossier, kesalahan sekecil apapun sangat tidak bisa dianulir. Apalagi jika kesalahan itu terjadi saat pertemuan penting yang melibatkan setengah lusin kepala keamanan beberapa negara.

"Tak akan kuulangi lagi, Papa," desah Leo.

"Kuharap itu bukan hanya janji manis saja." David menatap tajam putra sulungnya.

Leo mengangguk takzim. Dia juga tak ingin mempermalukan diri lagi di hadapan klien-klien pentingnya. Masih segar di ingatan Leo saat seharusnya dia menampilkan slide presentasi skema pengamanan namun justru memamerkan salah satu koleksi fotografinya di Afrika Selatan.

Tetap saja hari ini dia telah teledor. Kecerobohan pertama yang dilakukannya sepanjang kariernya di perusahaan sang papa. Meskipun telah berjanji tak akan mengulangi lagi, tapi Leo tak terlalu yakin bisa menepatinya.

Tidak jika sumber masalahnya masih terus berseliweran dalam otak.

Tanpa sadar Leo menghela napas. Pandangannya menerawang, tak menghiraukan kehadiran sang CEO yang notabene duduk tepat di hadapannya.

"Kau melamun lagi," tuduh David.

Leo tersentak kaget. Benarkah dia melamun? Lagi? Dalam jeda waktu kurang dari dua jam? Bibir tipis Leo terkembang indah. Senyum penuh pesona yang sudah dilatihnya ribuan kali untuk menaklukkan hati setiap orang, khususnya para klien potensial yang tak segan menghamburkan banyak uang untuk menyewa jasa mereka.

Sayangnya senyum penuh pesona itu tak mempan sama sekali pada David. Karena pria itu juga punya senyum identik yang sama, bahkan pesonanya lebih baik ketimbang milik sang putra.

"Jangan memberiku tatapan itu, Leo," tegur David.

"Tatapan apa, Papa?" Leo bertanya dengan nada polos.

"Tatapan penuh bujukan untuk mengalihkan perhatianku."

Leo nyengir lebar, "Jangan bilang Papa terintimidasi olehku."

"Memang tidak. Kau hanya sedang mencoba mengalihkan fokusku pada masalahmu." David berkata santai, "Ngomong-ngomong adikmu akan datang dari Prancis."

David mengamati bagaimana ucapannya memengaruhi Leo. Putranya sedikit tersentak, gerakan sangat samar yang berhasil ditutupi dengan mulus. Namun, bagi mata terlatih David, perubahan suasana hati anaknya tertangkap jelas.

Dalam hati dia tersenyum. Prancis sepertinya punya kenangan khusus pada putranya. Leo baru kali ini tampak kehilangan kendali. Itu bagus mengingat anak muda itu terlalu memegang kontrol dalam hidupnya. Dia tak akan mengorek informasi apapun dari kedua anaknya tapi David punya cara kerja sendiri yang sangat sistematis.

Tiba-tiba Leo beranjak dari kursi. David memandangnya bingung.

"Mau ke mana?"

"Makan siang, Pa," jawab Leo.

"Tidak dengan Papa?"

"Tidak! Aku ingin makan siang dengan salah satu kenalanku," tolak Leo.

"Meredith Foster?" David menebak akurat kencan terakhir putranya.

Rahang Leo mengeras. Hanya sedetik. Sebelum dia kembali memamerkan senyum manisnya.

"Jika aku cukup beruntung, sebentar lagi Papa akan memanggilnya calon menantu."

"Leo!"

Leo terbahak. Tak mempedulikan kekesalan papanya. Cepat dia turun ke lantai bawah. Mengabaikan pandangan kagum setengah lusin wanita yang bergabung dengannya di dalam lift. Dia sudah sangat sering ditatap penuh pemujaan macam itu hingga membuatnya mulai tak nyaman.

Leo sang pewaris Rossier.

Julukan yang membuatnya jengah. Dia tak suka orang melihatnya karena nama besar keluarga. Diam-diam Leo merasakan beban besar tersandang di pundak hanya karena gelar Rossier di belakang namanya.

Leo mulai rindu dilihat sebagai seorang Leo, bukan sebagai salah satu keturunan Rossier. Apa ini juga dirasakan oleh adiknya, Carrina?

Ford Fiesta hitam metalik yang dikendarainya melaju mulus membelah keramaian Manhattan di jam makan siang. Tak seperti disebutkannya pada sang papa, siang ini Leo makan sendirian. Tanpa didampingi Meredith Foster, model cantik yang belakangan dirumorkan sebagai kekasihnya.

Itu hanya rumor, renung Leo. Mereka memang pergi keluar beberapa kali, tapi bukan kencan. Hanya menghadiri acara bersama tanpa romansa apapun. Leo pilih mengabaikan ketertarikan Meredith padanya yang ditunjukkan blak-blakan. Gadis itu hanya teman mengobrol yang menyenangkan. Tak lebih.

Usai makan siang Leo tak kembali ke kantor. Dia menyambangi apartemennya yang terletak tak jauh dari Rossier Tower, kediaman keluarga Rossier. Hunian lajangnya yang nyaman dan eksklusif tempat dia bisa memiliki privasi penuh. Bahkan Carrina pun tak bisa masuk ke unit apartemen pribadinya yang membuat Leo merasa bebas sejenak dari intimidasi adiknya yang cerewet.

Suasana hening menyambut kehadiran Leo. Dilemparnya kunci ke mangkok kaca di meja. Tanpa menghentikan langkah, Leo terus berjalan ke arah sebuah pintu yang tersembunyi artistik di antara deretan rak-rak buku setinggi dinding. Tangannya membuka pintu dan cahaya lembut segera menyiram ruangan di baliknya. Area khusus yang hanya diperuntukkannya untuk satu hal.

Kegemarannya mengabadikan keindahan alam dari balik lensa kamera telah dipelajari otodidak sejak berumur belasan tahun. Belakangan obyek favoritnya bergeser ke arah satu sosok yang terus mengusik kedamaian hati.

Mata birunya menyapu dinding berukuran 20 meter persegi. Deretan pose seorang gadis terbingkai rapi dalam kertas foto berbagai ukuran. Senyum, rawa, cemberut, murung, sedih tertangkap sempurna oleh bidikan kameranya.

Dan semuanya adalah ekspresi milik gadis yang sama. Gadis yang hampir dua tahun ini menempati ruang khusus di hati laki-laki itu. Jemari Leo terulur menyentuh selembar foto. Wajah tersenyum si gadis mengusik jiwanya. Jemarinya membelai lembut, seolah Leo tengah membayangkan membelai wajah gadis itu secara nyata.

Tentu saja itu hanya imajinasi semata. Faktanya, Leo terlalu takut mendekati gadis itu secara pribadi. Dia hanya mampu mengagumi dari jauh. Tak berani melakukan pendekatan apapun. Selain memancing kemarahan gadis itu.

"Di mana kau sekarang, Sayang?"

Leo bertanya masygul. Gadis itu tak pernah luput dari pengamatannya. Namun, beberapa minggu ini berbeda. Gadis itu menghilang seolah lenyap ditelan bumi.

"Aku merindukanmu ...."

Leo mendesah lirih. Memejamkan mata dan mengingat suara ketus yang dikeluarkan gadis itu tiap mereka bertemu. Tubuh Leo menggigil. Hanya dirinya dan Tuhan yang tahu betapa dia merindukan gadis itu.

Leo menarik kursi dan duduk di sana. Terus memandangi koleksi pose sang gadis tak jemu-jemu. Hingga gawai canggihnya berdering menuntutnya kembali ke dunia nyata. Leo mendesah panjang sebelum beranjak keluar ruangan. Tanpa melihat identitas si penelepon, dia bertanya cepat.

"Kau sudah menemukannya?"

Halooooo.... Welcome back to our story. Masih proses warming up semoga readers semua suka ya... Eniwei sudah ketemu benang merahnya belum, nih? Hehe...

Tunggu part selanjutnya ya... Seperti biasa, vote dan krisan readers semua sangat author tunggu. Author nggak bakal ngambek kalo dikrisan jelek kok. Karena bersama readers semua, kisah Leo akan dikawal dengan indah. ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro