Prolog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Stella melongok jendela pesawat. Bangunan-bangunan kelabu dengan jalur yang rumit terpampang jelas serupa papan induk komputer. Gelenyar aneh muncul di perut Stella. Mirip dengan perasaan saat dia bertemu petugas kreditur bank. Antara tegang dengan kewajiban cicilan hutang, tapi juga senang karena mendapat suntikan dana segar.

Gadis itu merasakan pesawat menukik turun. Beberapa detik kemudian tubuhnya sedikit bergetar terkena goncangan roda pesawat yang bertemu aspal landasan. Senyum Stella merekah. Sebentar lagi pintu kebebasan akan terbuka lebar untuknya.

"Akhirnya kita tiba."

Penumpang di sampingnya yang telah membersamai penerbangan selama sembilan jam berkata riang. Stella tertular euforia wanita paruh baya itu. Perjalanannya jadi tak monoton karena teman berbincang yang atraktif.

"Akhirnya." Angguk Stella pada Adriana Lopez. Wanita yang baru saja menghabiskan dua minggu liburannya berkeliling Eropa dan memutuskan sudah waktunya kembali ke rumah. "Anda langsung pulang, Nyonya Lopez?"

Kepala berambut pirang itu menggeleng. "Aku ingin bertemu cucu-cucuku dulu. Oleh-oleh," ujarnya menunjuk bagian belakang pesawat.

Stella tertawa. "Kalau begitu, kita segera berpisah di sini."

"Ya, jangan lupa mengontakku, Stella. Aku sangat senang jika kau berkunjung ke tempatku. Brooklyn akan selalu menyambutmu."

Stella melepas sabuk pengaman setelah tanda di pesawat memperbolehkan. Para penumpang bersiap-siap keluar. Gadis itu pun turut serta.

"Tentu, Nyonya Lopez. Aku akan berkunjung setelah punya waktu luang."

Orang-orang mulai antre keluar. Stella yang hanya berbekal satu tas tanggung dan satu tas tenteng langsung turun pesawat. Tanpa koper untuk ditunggu, dia melenggang santai menuju tempat pemeriksaan paspor yang sudah dipenuhi deretan panjang orang. Mata Stella menyapu dua sisi terminal tujuh.

Bandara ini sangat besar, batin Stella. Matanya membaca plang iklan hijau mencolok yang membentang di atas kepala 'Rumah adalah di mana Hulu berada'.

Kesibukan khas libur musim panas terasa pekat. Pakaian warna cerah bertebaran di mana-mana. Koper warna-warni disorong banyak orang. Beberapa langkah di sebelah kanannya, serombongan gadis muda cekikikan sambil mengerumuni layar gawai. Di depannya wanita kulit hitam terdengar menelepon dengan suara riang.

Semangat musim panas. Stella ikut-ikutan gembira. Antrian semakin memendek dan dia masih menikmati keriuhan di sekitarnya. Hingga gilirannya tiba, pemeriksaan paspor berjalan dengan mulus.

Gadis itu d lantas berjalan santai membelah keramaian bandara. Asyik melihat-lihat sekeliling. Tak terburu waktu menuju hunian barunya di Woodside.

Stella hampir tenggelam dengan kebahagiaan cuci mata di toko-toko yang berderet saat pandangannya tertumbuk ke rombongan kecil yang berjalan berlawanan arah dengannya. Jantung gadis itu mencelus. Rona di wajahnya menyusut seketika.

"Sial!" Stella mengumpat tertahan.

Segera dia bergabung dengan sekelompok turis Cina yang tengah berjalan cepat keluar bandara. Stella beruntung tubuhnya tergolong mungil hingga tak kentara kala berbaur dengan turis-turis oriental itu. Dengan dada berdebar-debar kencang, Stella terus melangkah sembari berdoa agar dirinya bisa lolos keluar bandara.

Selangkah ... dua langkah .... Stella menghitung dalam hati. Tangannya mencengkeram tali tas hingga buku-buku jarinya memutih. Dia berusaha menyembunyikan wajah di samping pria tertinggi di kelompok oriental itu. Berharap agar tak ada yang bisa mengenalinya.

Delapan ... sembilan .... Hitungan Stella makin dekat dengan rombongan berjas kasual itu. Stella menggigit bibir kuat-kuat. Dia tersentak—tapi tak memedulikan—saat lidahnya mencecap rasa asin. Bibirnya berdarah. Langkahnya mulai goyah. Dia semakin dekat.

Dan akhirnya mereka berpapasan. Stella pucat pasi. Wajahnya terarah lurus ke depan, namun matanya melirik ke samping kanan. Seperti biasanya, pria itu selalu dikelilingi setengah lusin ajudan. Sialnya, para ajudan itu adalah orang-orang yang sudah mengenal Stella dengan baik.

Dan tiga meter kemudian, Stella bersorak dalam hati. Kehadirannya aman dari mata-mata yang tak dia inginkan. Dia sudah berada di ambang pintu dorong, saat otaknya mendadak mengirimkan perintah yang salah.

Stella berhenti dan menoleh. Hanya bertujuan untuk mengetahui sudah sejauh mana rombongan pria berjas kasual itu pergi. Namun, dia seketika membeku saat bersirobok pandang dengan mata sebiru langit musim panas.

"Haish, brengsek!" Untuk kesekian kalinya Stella mengumpat.

Bagai pegas yang dilontarkan sekuat tenaga, Stella langsung lari terbirit-birit. Dia sempat menabrak kelompok turis asal Cina sebelum berhasil keluar melalui pintu dorong. Kaki mungilnya menerjang semua halangan hingga tiba di pedestrian.

Stella melompat ke mobil pertama yang dilihatnya. Lambang Uber tercetak tebal di badan mobil. Napas Stella ngos-ngosan. Dia menyorongkan selembar 50 dollar ke sopir bertopi pet.

"Tolong, ke Woodside!" perintah Stella panik.

"Tapi Nona, Anda harus memesan lewat ...."

Stella menjejalkan selembar 20 dollar lagi. "Pesankan saja lewat aplikasi. Dan tolong, bisakah kau mengebut?"

~~oOo~~

Mobil hitam metalik itu berbelok ke kanan memasuki Bergen Road dan terus melaju hingga keluar menuju jalan I-678 N. Kendaraan itu terus bergerak sejauh empat mil lalu masuk ke lajur kiri mengambil jalan keluar 10 dan berhenti karena terjebak kemacetan.

"Apakah masih lama?" tanya Stella cemas.

"Macet, Nona." Sopir beraksen Amerika Utara itu menunjuk deretan panjang mobil di depannya.

Stella mendesah keras. Penyejuk udara dalam mobil memancarkan hawa dingin, tapi peluh bercucuran di tubuh Stella. Bukan hanya karena suhu musim panas, lebih dari itu, kekhawatiran yang merayapi hatinya secara otomatis mengacaukan ritme tubuh.

Saat itulah Bentley hitam mengurangi kecepatannya dan berhenti tepat di samping mobil yang ditumpangi Stella. Gadis itu menoleh, merasa familiar dengan bayangan yang samar-samar tercetak di jendela kacanya. Stella mengernyit.

Seharusnya mobil mewah berkaca sangat gelap, kan? Karena itulah guna mobil mewah, menyembunyikan apapun yang ada di dalamnya. Lalu, kenapa citra itu masih terlihat?

Stella bertanya-tanya dalam hati. Otaknya mengingat-ingat kapan dia pernah bertemu sosok tak asing itu. Dan matanya terbeliak lebar begitu memorinya memuntahkan ingatan beberapa menit lalu. Refleks Stella merunduk. Dia separuh berbaring di kursi belakang.

"Nona, ada apa?"

Stella menggeleng meski tahu sopir tak akan melihat gerakan kepalanya. "Tak apa-apa. Apa macetnya masih lama?"

"Kita sebentar lagi keluar."

Stella merasakan mobil bergerak pelan. Dirogohnya tas tenteng. Gadis itu menelepon nomor yang sudah hafal luar kepala.

"Mère, omong kosong apa ini? Kenapa dia mengikutiku hingga ke Amerika?"

~~oOo~~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro