Adendum : Mawar Jingga Petra

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

PETRA ingat sekali. Pagi itu, ketika matahari belum terjaga dan langit masih gelap, dia sudah meluncur keluar meninggalkan bandara Notohadinegoro dengan mengendarai mobil sewaan.

GPS di ponselnya menunjukkan titik tujuan: Desa Pandalungan.

Petra menyetir dengan kecepatan sedang, menangkap matahari yang terbit bersamaan dengan ketibaannya di tempat tujuan. Mobilnya berhenti tepat di depan rumah dengan halaman paling luas.

"Cari siapa, Dek?" tanya perempuan dengan nada suara lantang.

"Saya cari Benjamin Cokro, Bu. Dia menetap di sini bersama—"

"Oh, sama Leda, ya? Kamu temannya Ben? Sini, sini, turun. Masuk dulu, Dek. Saya antar ke tempatnya!" Perempuan ramah itu memotong kalimat Petra.

"Terima kasih, Bu," ucap Petra sopan.

"Masama. Saya ini Bibi'-nya Leda. Panggil saja Bi' Khos, ya," ucap perempuan itu dengan senyum yang begitu lebar, sampai mengerutkan mata. Petra mengangguk paham.

Saat berjalan melewati rumah Bi' Khos, langkah kaki Petra sempat terhenti sesaat.

"Bu—eh, Bi', ini bunga apa, ya? Mawar 'kan, ini?" Petra mendekati segerombolan semak dengan cuatan bunga mekar di atasnya. Warna-warna mencolok terpampang dari kelopak bunga tersebut; merah gelap, pink neon, dan juga jingga.

"Iya, Dek Petra. Itu namanya mawar kampung. Kamu mau tah? Ambil saja suda, 'dak ada yang punya itu," ujar Bi' Khos dengan ringan.

"Terima kasih, Bi'. Kalau saya bawa ke Jakarta, nggak akan layu 'kan, ya?" tanya Petra.

"Endak, kalau kamu mau bawa sampai akar juga 'dak papa. Itu batangnya saja kalau ditancap ke tanah bisa tumbuh, Dek. Sudah seperti hama itu, kuat!" Bi' Khos menjelaskan.

"Mau buat pacarnya 'tah, Dek?" Bi' Khos tiba-tiba lanjut bertanya.

Petra tersipu dan mengangguk. "Iya, Bi'. Dia paling suka sama mawar."

"Abbeh, jen terro ruwah (aduh, makin cinta itu) pacar kamu, Dek! Ya sudah, nanti pulangnya ambil, ya? Sekarang kita ini ke tempatnya Ben sama Leda harus naik bukit ini dulu, ni, ke Rumah Atas," ucap Bi' Khos sambil menunjuk jalan menanjak di hadapan mereka.

Petra pun mengangguk lagi, menyusul jalan perempuan besuara lantang yang ternyata luar biasa ramah tersebut. Lelaki itu menoleh untuk terakhir kali, seakan mengucapkan selamat tinggal sementara pada gerombolan mawar kampung.

Waktu berselang, saat ini mentari hampir tenggelam. Segenggam mawar kampung berwarna jingga mengangguk pasrah dari dasbor mobil Petra, menandakan kunjungan lelaki itu ke Desa Pandalungan usai sudah.

Petra berbohong soal jadwal pesawatnya. Dia mendapatkan night flight, penerbangan malam. Tadinya, Petra berencana untuk menetap seharian di tempat Benjamin, beristirahat meluruskan kaki yang berjam-jam ditekuk kursi pesawat.

Namun kenyataannya, kini Petra harus rela kakinya tertekuk lagi, ditambah injakan pedal gas dan rem yang menuntut untuk terus dipijaki.

"Gue harus gimana, ya, War?" Petra mengajar bicara onggokan bunga mawar itu.

Botol air mineral yang disulap sementara menjadi pot berisi air menampung lawan bicara Petra tersebut. Sedari tadi, Petra hanya mengemudikan mobilnya berputar-putar di Pandalungan Kota. Sesekali dia menepi untuk mengisi perut dan tangki bensin.

Jujur saja, kepala Petra dipenuhi kemelut akan berbagai kemungkinan, tentang hubungannya dengan orang-orang di Jakarta; cintanya—Saras, dan juga pekerjaannya—Benjamin. Petra mendesah, lelah.

"Gue harus bilang ke Saras kayaknya, nih, War," oceh Petra saat berhenti di lampu merah.

Satu tangannya siap menarik ponsel dari dalam saku, namun Petra ragu. Gerakannya tiba-tiba terhenti.

"Apa nggak usah aja, ya, War?" ucapnya lagi.

Di tengah bimbangnya itu, tiba-tiba ponsel dalam genggaman Petra bergetar.

Layar menyala dengan satu kalimat keramat yang membuat jantung Petra terasa berhenti berdetak.

[Saras🌹 is calling ... ]

🌟

Selama Benjamin pergi retret ke Pandalungan, jujur saja, hidup Petra menjadi tenang. Sepi, sih, tanpa omelan dan perintahan si-calon-CEO-super-bossy itu, namun tak bisa Petra pungkiri, bahwa pikirannya jauh lebih damai. Fisik juga. Hati pula.

Masalah hati ini, jelas, karena dia jadi bebas bercengkerama dengan Saras. Kalau dihitung dalam minggu ini, hanya dua hari Saras pulang ke rumahnya sendiri. Sisanya, perempuan itu menginap di apartemen Petra.

Mereka hidup layaknya pengantin baru yang bahagia, tanpa ada satu beban pun di dunia.

"Flight-mu landing jam berapa, Tra?" Suara renyah Saras terdengar dari ponsel Petra. Benda pipih yang tertempel di sisi wajah lelaki itu sedang menyambungkan pembicaraan mereka.

"Dari Notohadinegoro nanti jam sembilan, Ras. Maybe sampainya tengah malam, I don't know ... nggak usah jemput aku, nggak papa. Aku naik taksi aja," ucap Petra sambil melonggarkan kancing kemeja di kerahnya.

Entah kenapa kali ini rasanya tenggorokan Petra seperti tercekat. Lidahnya terasa kaku menjawab suara Saras via telepon. Tak biasanya dia mendapat kelonggaran seperti ini. Baru terasa salahnya interaksi ini saat dia sudah tau faktanya bahwa Benjamin sebenarnya ... tau.

"Kok gitu, sih? Waktu kita bebas cuma seminggu lagi, loh. Nggak mau tau, ya, pokoknya aku yang jemput kamu nanti di Soetta. Oh, iya, Tra ... kenapa kita nggak sekalian staycation di hotel deket sana aja? Tadi aku lihat rekomendasi—"

"Nggak, nggak," potong Petra. Terdengar suara Saras yang hendak protes di seberang sana.

"Em, maksudnya ... lihat nanti, ya, Ras. Aku sekalian ... ada yang diomongin." Petra menelan ludah.

"Kamu kedengaran aneh. Did something happen, Petra? Kamu nggak apa-apa 'kan, di sana?" Nada suara Saras terdengar khawatir.

"Nggak papa. Nanti aja, aku pengen ketemu kamu langsung dulu. Aku ... kangen, sama kamu."

"Aww, I missed you too, Sayang."

"Aku tutup dulu ya, Sar—Sayang. See you soon."

Klik.

Petra buru-buru menekan tombol merah sebelum Saras bisa menjawab dengan kalimat manis lainnya.

Ah, dadanya sesak. Petra punya firasat, kebahagiaannya yang baru berusia seminggu ini akan padam secara prematur.

🌟

Selama penerbangan pulang, Petra kerap melamun. Berjam-jam waktu yang disediakan dalam ketinggian sekian puluh ribu kaki di pesawat membuat imajinasi Petra leluasa ikut terbang meninggalkan kursinya.

Kali ini Petra merenungkan hidupnya. Kebahagiaannya.

Dan kebahagiaan itu, erat hubungannya dengan saras. Biasanya, Petra dan Saras harus curi-curi waktu agar bisa bersama, menghindari Benjamin yang entah kenapa dikiranya tak tahu apa-apa—hingga pertemuannya hari itu, tentu saja. Semenjak Benjamin pergi, Petra dan Saras punya semua waktu di seluruh dunia. Hidup mereka tanpa Benjamin Cokro—walaupun sukar diakui, tapi sungguh—terasa bahagia.

Petra mengakui, dirinya bahagia.

Lantas, apakah Saras juga merasakan hal yang sama? Atau perempuan itu justru sebenarnya lebih bahagia bersama Benjamin?

Argh! Petra menggaruk kepala.

Tak bisakah Petra terus merasakan kebahagiaan itu?

Petra jika kalau harus mengakhiri semuanya dengan Saras. Petra masih ingin bahagia.

Tak terasa, kumandang suara pilot menyuarakan dia tiba di bandara Soekarno-Hatta. Akhirnya Petra landing dengan kepala yang masih pening.

"Mbak, Mbak ...." Petra memanggil seorang Pramugari yang hendak melewati kursinya.

"Iya, Pak? Ada yang bisa dibantu?" balas Pramugari berseragam biru gelap itu.

"Saya bisa minta tolong, Mbak? Carikan kertas atau plastik, atau apapun untuk menutupi ini ... biar kelihatan lebih bagus saja."

Petra menyodorkan buket mawar kampung beserta botol air mineral yang sedari tadi dibawanya, dengan air yang telah dikosongkan, tentu saja. 

Pramugari itu tampak terkejut, namun tak ayal pandangannya melunak juga ketika Petra memohon kembali, dengan nada lembut dan senyum tulus. Rasanya setiap wanita bisa luluh jika Petra sudah bersungguh-sungguh seperti ini.

"Sebentar, ya, Pak," ucap Pramugari itu sebelum beranjak pergi bersama dengan buket mawar Petra.

Peraturan di pesawat memperkenankan penumpang untuk membawa bunga atau tanaman hias ke dalam kabin pesawat, selama itu tidak berakar dan bertanah.

"Ini, Pak, silakan." Pramugari itu kembali beberapa menit kemudian dengan membawa buket mawar yang sudah dibungkus wrapping paper berlogo perusahaan maskapai penerbangan yang ditumpangi Petra.

"Makasih sekali, ya, Mbak. Maaf merepotkan." Mata Petra terfokus pada karangan bunga itu, seraya mengucapkan terima kasih yang sungguh-sungguh, berulang kali.

"Saras pasti suka sama kamu, War," bisik Petra ketika sang Pramugari telah meninggalkannya.

Berselang lima belas menit kemudian, dugaan Petra benar.

"Oh my God! Petra ... ini cantik banget!"

Saras membelalakkan mata saat Petra menyodorkan buket mawar kampung itu ke hadapan Saras.

"Aku nggak tau kalau maskapai penerbangan nyediain jasa florist juga," lanjut perempuan itu.

"Aku metik sendiri, kok, Ras. Itu dibungkus doang biar rapi, padahal isinya ...."

"Hahaha! Botol air!" Saras tergelak setelah memperhatikan buket bunga itu lebih dekat. Matanya kini beralih ke arah Petra.

"I love it very much, Sayang. Makasih ...," ucap Saras sungguh-sungguh.

Perempuan itu menghidu dan memejamkan mata, benar-benar menikmati mawar pemberian Petra. Bunga itu masih segar dan cerah, tegap seakan bangga kelopaknya bergesekan dengan hidung ranum Saras. Ternyata Bi' Khos benar, bunga ini lumayan tahan lama.

Melihat raut wajah sang titisan dewi yang kini berseri-seri, Petra tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.

"Ras ... apa kamu ... bahagia, sama aku?"

Pertanyaan Petra membuat Saras mengangkat wajah dari buketnya.

Dengan senyum terembus, perempuan itu menjawab, "Seminggu ini, hidup aku sama kamu jauh lebih bahagia dibandingkan setahun belakangan ini, dengan status aku yang ... ehm, bersama Ben."

Melihat kerutan di kening Petra, tanda ragu, Saras maju selangkah, mengikis jarak di antara dia dan lelaki itu.

Perempuan itu berkata, "Tra, kalau bisa mundurin waktu, aku pengen ngubah keputusanku dulu. Aku akan pilih kamu."

Netra Petra membulat di balik kacamatanya. "Itu kan seandainya, Ras. Aku ini sekarang bicara realita, kita sekarang—"

"Ya!" potong Saras. "Sekarang, aku bahagia sama kamu. Dan sekarang pun, kalau disuruh pilih, aku akan pilih kamu!" ucap Saras tegas.

Petra tersenyum lemah.

"Meskipun ... awal kita salah? Maksudku, saat ini. Kita memulai sesuatu dari ketidakjujuran, pengkhianatan, dan ... apa kamu nggak takut karma, Ras? Kamu nggak ada keinginan untuk ... berhenti?" tanya Petra dengan nada hati-hati.

Saras menggeleng. "Nggak, Petra. Nggak kalau aku tau aku bisa sebahagia ini sama kamu. Sekarang pun, aku nggak menyesal. Sama sekali nggak. I am happy with you."

Hati Petra terenyuh.

Ah, Saras ... apa yang harus kulakukan padamu? Pada kita? batin lelaki itu sambil mencondongkan tubuh ke depan, ke dalam dekapan Saras, dan dengan satu gerakan mulus, meloloskan bibirnya memaut bibir Saras yang sedikit terbuka akan keterkejutan—tak siap, namun tidak juga menolak.

Entah apa yang memasuki pikiran Petra saat itu. Tapi yang jelas, yang bisa dirasakannya, dikecupnya, dan dicecapnya, adalah perasaan cinta Saras dan kesungguhan perempuan itu dalam membalas ciumannya.

Maaf, Ras, batin Petra setelah tautan bibir mereka terlepas. Aku harus keep ini dari kamu. Kita berhak bahagia. Meskipun waktu kita hanya satu minggu lagi.

🌟

[1549 Words]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro