Hari 7 - Gencatan Senjata

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"KAMU bener-bener pingin tau, ya?" Leda berkata sambil memiringkan tubuhnya, menghadap ke arah Benjamin dalam baringannya di sleeping bag.

"Ya," jawab Benjamin pasti.

"Kenapa?" tantang Leda.

"Karena ...." Benjamin memejamkan mata, mengumpulkan kata-kata. "Kamu membuat saya gemas."

"Aku lucu?" Leda tak mengerti.

"Sama sekali nggak! Dan—bukan, ini bukan gemas yang seperti itu. Saya itu gemas sama kamu yang udah ngebuang kesempatan untuk kuliah di universitas bagus, ngebuang kesempatan untuk hidup lebih baik," ucap Benjamin sedikit geram. 

"Saya paling nggak suka sama orang yang udah diberi kesempatan, kemudahan, tapi malah menyia-nyiakan. Menurut saya, orang-orang seperti itu—seperti kamu—adalah tipe manusia paling sombong dan angkuh."

"Kamu tau banyak tentang seluk-beluk kesombongan ya, Benjamin?" sindir Leda dengan suara rendah. Benjamin hanya membalas dengan decakan lidah.

"Tadi kamu bilang, aku ngebuang kesempatan. Tau apa kamu tentang itu? Memangnya hidup aku yang sekarang kenapa? Apakah jadi lulusan kampus luar negeri otomatis akan ngejamin hidup seseorang jadi lebih baik? Jadi bahagia??" Leda balik bertanya.

"So tell me, then," ucap Benjamin. "Beri tahu saya alasan kamu, kenapa bisa sampai begini? Saya sama sekali nggak ngerti, kenapa bisa-bisanya ada orang yang menyia-nyiakan kesempatan emas begitu."

Leda menghela napas. "Okay, well ... ini semua bermula dari ibuku. Dia nikah sama ayahku di usia yang terlalu muda, 16 tahun."

Gadis itu bisa menerka air muka Benjamin yang tertekuk setengah tak percaya.

"Orang jaman dulu memang biasa nikah di usia belasan tahun, Ben, apa lagi orang desa," papar Leda.

"Oke, continue." Benjamin meminta gadis itu untuk melanjutkan.

"Waktu itu, ayahku adalah satu-satunya orang yang kuliah di desa tempat asal mereka—desa ini. Ibuku, yang merupakan kembang desa, sengaja dinikahkan sama dia karena dirasa bisa menaikkan derajat keluarga. Nikah di usia labil begitu, otomatis jadi resep dari bencana. Ibuku ngelahirin aku waktu umur 18. Pas baru umur 19 tahun, dia harus kerja ke Bali untuk ngehidupin keluarga kecilnya, sebab ayah ternyata belum bisa bekerja, dia terlalu fokus sama kuliahnya."

"Semuanya jadi kacau sejak itu. Ibuku yang masih muda, bersemangat kerja, dan pengen banget eksplorasi dunia, menemukan kebahagiaannya di Bali. Dia jadi lupa sama keluarga kecilnya. Bertahun-tahun, dia nggak ada kabar. Ternyata, kami baru tau waktu aku masuk SD, kalau dia di sana sudah bahagia hidup bareng sama lelaki warga negara Amerika, yang jadi suaminya sampai sekarang."

Benjamin termenung mendengar penuturan itu. Dia memang pernah mendengar cerita-cerita semacam ini dari pamannya, Om Moel, yang berasal dari daerah Timur Jawa. Tapi, dia tidak pernah membayangkan jika akan bersinggungan langsung dengan seseorang yang lahir dari keluarga begitu—pernikahan yang prematur.

"Jadi, kamu nggak pernah ketemu sama ibu kamu? Sekalipun?" Benjamin bersuara.

Leda tersenyum sambil menggeleng. Bibirnya tertekuk, namun matanya sedih. "Sejak aku balita, aku udah nggak pernah lagi lihat wajah ibuku. I don't remember how she looks like, actually. Semuanya cuma jadi blur."

"Terus, apa hubungannya sama kamu yang drop out dari Princeton?" ucap Benjamin.

"Masa kamu nggak bisa nebak?" Leda balik bertanya.

Benjamin yang merasa tertantang, lantas memutar otaknya. "Oke, ini ada hubungannya sama ibu kamu itu, kan? Dan ... Amerika? Oh, kamu kuliah di Princeton itu untuk ketemu lagi sama ibu kamu, ya?" tebak Benjamin dengan akurat.

Leda mengangguk. "Benar. Aku sudah ketemu sama dia, keluarganya, dan jujur aja, waktu itu ayahku ngedukung mati-matian buat aku nyelesein kuliah jurusan Astrophysics di Princeton. Cuma, yah ...."

"Kamu nggak betah tinggal sama ibu kamu?" Benjamin melanjutkan kalimat Leda.

Lagi-lagi, gadis itu menangguk. "Ngga cuma itu aja. Masalah hidup sama Ibu—yang jujur aja, berasa kayak numpang di rumah orang asing—kayaknya ngebawa kutukan buat aku. Selama tinggal di sana, di New Jersey, aku ngerasa kayak ngejalanin hidup orang lain, Ben. Itu bukan aku. Bukan kemauanku hidup di negara yang asing begitu, jauh dari orang-orang yang aku sayangi, bener-bener sendiri."

Gadis itu menarik napas, sebelum kembali melanjutkan. "Ada pun satu orang, yang aku cinta, yang dekat sama aku, yang aku kira bisa dipercaya, dan tempat aku ngebagi ini semua, dia ... yah, ternyata nggak sepenuhnya ada di pihakku. Dia berkhianat."

"Pacar?" tanya Benjamin.

"Iya," jawab Leda. Gadis itu lantas terdiam beberapa saat, mungkin mereminisi sejenak cintanya yang pernah pupus.

Anehnya, Benjamin pun terdiam. Dia tau persis apa yang Leda rasakan, ketika orang-orang tersayang yang dia percaya ternyata tidak sebaik di permukaan. Sialan, malah jadi inget Petra dan Saras lagi.

"Kamu kepikiran siapa?" ucap Leda tiba-tiba. Benjamin sontak menolek.

"E-eh, apa? Nggak, itu ...."

"Kamu pasti mikirin seseorang. Kelihatan banget."

Benjamin menghela napas, menyerah. Dia pikir, tak ada gunanya juga mengelak dari Leda. Gadis itu pasti akan terus menuntutnya.

Maka, keluarlah cerita dari mulut Benjamin, beban pikiran yang sudah seminggu ini dia tekan, kata demi kata, tentang pengkhianatan yang baru saja dialaminya sebelum berangkat ke Pandalungan. Tentang Saras dan Petra.

Mata Leda membulat. "Jadi, mereka nggak tau kalau kamu tau?" tanya gadis itu.

"Belum." Benjamin menggeleng.

"Kamu ada rencana mau ngungkit itu ke mereka? Negur mereka? Terus, kerjaan teman kamu itu, Petra, gimana? Dia bakal kamu pecat dari grup?"

Semburan pertanyaan dari Leda itu hanya dibalas dengan bahu Benjamin yang terangkat.

"Saya belum tau," ucapnya, seakan dengan satu kelimat itu, semua pertanyaan Leda terjawab serentak.

"Enough about me, ini tadi kan ngomongin tentang kamu, kok malah jadi bahas saya, sih?" protes Benjamin sejurus kemudian.

Leda berkedip kaku. "Eh, iya ya?" Gadis itu tertawa ringan.

Desahan napas membawa mereka kembali menatap langit, mengkurasi isi kepala masing-masing atas informasi yang baru saja mereka dapatkan dari satu sama lain.

Satu komet melejit lagi, di langit. Benjamin dan Leda menangkap pandang komet tersebut dengan mata mereka.

"Aku berharap, kamu, Saras, Petra, dan semua masalah yang mengerubungi kalian cepat selesai," gumam Leda, sengaja agar Benjamin mendengarnya.

"Saya berharap pagi nanti bisa sarapan garlic bread," pungkas Benjamin sejurus kemudian.

"Hahaha! Serius, dong!" Seringai Leda tak dapat tertahan lagi. Benjamin pun ikut tertawa. Tak disangka celetukan barusan berhasil mencairkan suasana.

Setelah derai tawa mereka reda, baik Benjamin maupun Leda bisa merasakan atmosfer di antara mereka mencair, tak lagi berat.

"Jadi, itu aja alasan kamu nggak ngelanjutin kuliah? Beneran karena nggak betah hidup di sana?" Benjamin tiba-tiba bertanya.

Terdengar desahan napas yang ditarik oleh Leda.

"Kamu pernah denger nggak, Ben, kalau setiap tujuh tahun sekali, seluruh sel di tubuh manusia itu beregenerasi?" Leda berkata seakan tak mendengarkan pertanyaan Benjamin.

"Kok malah banting setir?" protes lelaki itu.

"Denger dulu!" pinta Leda. "Jadi, dari teori regenerasi tujuh tahun itu, aku percaya bahwa kita sebagai manusia itu pasti berubah. Bedanya, secara biologis, kalau udah tujuh tahun tuh perubahannya total. Kita yang sekarang sama kita tujuh tahun lalu itu udah beda entitas."

Benjamin menghela napas. "Terus hubungannya sama drop out kamu itu apa?" tanya lelaki itu tak sabar.

"Aku ... nggak bahagia, Ben, sama versi diriku pas di Amerika dulu. Aku kayak jadi manusia yang mati nurani. I hate it—I hate myself back then."

Mendengar nada bicara Leda yang begitu serius, Benjamin jadi bungkam. Lelaki itu memperhatikan.

"Aku memutuskan untuk kembali, membenahi diri dengan cara stay di Desa Pandalungan sama Mbah-ku, jauh dari hiruk-pikuk peradaban kota yang menurutku penuh toksin. Rencananya, aku mau tetap di sini selama tujuh tahun, sebelum nanti aku siap untuk kembali. Aku menyebutnya 'metamorfosis septennial', jadi kepompong selama tujuh tahun."

Benjamin mengernyitkan kening.

"Tujuh tahun? Itu lama banget," komentar Benjamin yang tak bisa membohongi diri kalau jalan pikiran Leda menurutnya sangat irasional. 

Membuang waktu bertahun-tahun hanya karena masalah sentimentil? Tidak masuk akal.

"Setiap orang punya waktu yang beda-beda untuk berubah, Ben. Ada yang cepet, ada juga yang lama. Kalau di kamu, mungkin cuma dua minggu. Sementara aku, aku butuh tujuh tahun." Leda menjabarkan seakan waktu yang dia sebut barusan tergolong seimbang, apple to apple.

"Oke," Benjamin menyerah. Paling mudah memang meng-iya-kan saja Leda dengan segala pikirannya.

"Jadi sudah berapa lama kamu di sini, sejak kamu meninggalkan kehidupanmu yang dulu?" tanya Benjamin kemudian.

"Hmmmh, let me see." Leda tampak mengingat-ingat. "Lima tahun, kayaknya. Yap, lima tahun. Dari 2013. Jadi, aku masih harus stay di sini dua tahun lagi."

"Lima tahun? Terus, selama mengasingkan diri, kamu putus kontak dari teman-teman di Amerika? Ibumu juga?"

Leda mengangguk pasti. "Iya, aku steril dari kontak dengan mereka, se-mu-a-nya. Langsung buang nomor US dan pakai nomor dalam negeri, semua sosmed aku tutup sampai ganti alamat e-mail juga, hehe." Tampaknya tak ada penyesalan dari kalimat gadis itu.

Benjamin hanya menghela napas, lagi. Sepertinya dia bisa mengerti bagaimana rasanya menjadi Leda, yang buru-buru ingin bersembunyi ke ujung dunia setelah dihantam realita yang menyebalkan. In fact, Benjamin sedang melakukannya saat ini.

"Okey~ sudah cukup bicara berat-beratnya!" Leda berkata memecah udara dini hari. Bersamaan dengan itu, satu lagi komet jatuh di langit Timur.

"Oh, oh! Aku berharap, besok bisa makan ayam bakar! Hahahah," tawa Leda terdengar renyah di telinga.

Benjamin terdiam sesaat, tersenyum memandangi gadis itu.

"Saya berharap, kamu bisa 'sembuh' dan lekas kembali ke peradaban," lirih lelaki itu membuat Leda menoleh seketika.

"Apa? Kok jadi serius gitu sih, permintaannya??" Alis Leda terpaut, namun tak ayal sebenarnya gadis itu tersanjung juga.

Benjamin hanya tertawa pelan. "Terima kasih sudah mau sharing ini sama saya, Lee," ucapnya sungguh-sungguh.

Leda terdiam seketika mendengarnya. Tak disangka seorang Benjamin Cokro bisa mengucapkan kalimat terima kasih dengan nada begitu tulus.

"A ... emmm, aku ... aku harus minta maaf sama kamu, Ben ...," gagap Leda tiba-tiba.

"Maaf? Untuk?" Alis Benjamin berkerut.

"Karena ... kemarin sudah bilang kata-kata yang nggak enak, ke kamu. You know, pas aku bilang kamu ini egois, arogan, angkuh, sombong, dan lain-lain." Suara Leda semakin lama semakin lirih, tenggelam dalam kerongkongannya sendiri.

Udara di atas bukit ini dingin menggigit, namun pipi gadis itu terasa hangat sampai ke kepala.

"Oh, hahaha." Benjamin malah tertawa. "Nggak apa-apa. Saya hargai keberanian kamu. Saya yakin, banyak orang yang berpikiran sama kayak kamu, cuma mereka beraninya ngomongin saya di belakang. Thanks sudah jujur."

Leda sudah menyiapkan hatinya jika saja Tuan Benjamin akan menyemburnya sepagi ini, di bukit antah berantah ini. Tapi nyatanya, respons Benjamin jauh dari yang dipersiapkannya. Jauh sekali. Jauh lebih baik.

"Makasih sudah nggak marah," gumam Leda lepas.

Malam itu, layaknya gencatan senjata, tak banyak keluar kalimat pedas dari mulut Benjamin, dan senyum Leda pun tampak jauh lebih jujur dan terang dari biasanya. 

Hujan meteor di langit Lyrid menjadi saksi dua manusia yang berbaring berdampingan, menatap balik dari ranjang rerumputan, menikmati udara jernih dengan hati dan pikiran yang sedikit lebih ringan.

🌟


Benjamin terbangun karena sinar matahari yang memancar langsung menembus kelopak matanya. Saat mata itu terbuka, langit biru cerah menyambut kesadarannya—bukan plafon berjamur menyedihkan di kamar seperti biasa.

Ah, iya. Camping.

"Good morning, Princess," sapa satu suara yang mulai familiar di telinga Benjamin. Saat menoleh ke kanan, didapatinya Leda duduk di atas rerumputan, baru saja selesai mengepak barang bawaannya.

"Jam berapa sekarang?" Waktu adalah hal pertama yang Benjamin tanyakan.

"7.40, kita harus pulang sebentar lagi. Barusan aku ditelepon Bi' Khos, katanya kita ada tamu," jawab Leda.

"Tamu?" ulang Benjamin.

"Yap. Dari Jakarta."

🌟

Selama Leda dan Benjamin pergi keluar, ternyata ada Bi' Khos yang berjaga di Rumah Atas, menemani Mbah Tum. Bahkan, saat kemarin dua sejoli itu pergi seharian ke Pandalungan Kota, rupanya nenek buyut Leda dititipkan di rumah paman-bibi gadis itu. Ah, masyarakat desa dengan segala pluralitasnya.

"Hadu, Dek, 'mak gik buru deteng (kenapa baru datang) kamu? Itu tamunya nunggu dari tadi!" sambut Bi' Khos yang sedang menyuapi sarapan Mbah Tum di teras Rumah Atas.

Leda hanya bisa tersenyum menjawabnya.

"Maaf, Bi', saya baru bangun jam segini, jadi kesiangan." Benjamin angkat bicara.

Bukannya merespons dengan semburan seperti biasa pada Leda, Bi' Khos malah tersenyum maklum ke arah lelaki itu.

"Oooo iya, Cong, 'dak papa. Sana masuk dulu," ucapnya ramah.

Mendengar itu, Leda hanya mencibir singkat. Terdengar gumaman singkat dari bawah napas gadis itu, "dasar pilih kasih!" 

Dua sejoli itu pun masuk. Betapa terkejutnya Benjamin ketika kakinya memijak ruang tamu, matanya menangkap sosok yang familier.

"Petra?!" pekiknya.

"Hai, Benjo." 

Lelaki dengan kemeja biru muda dan jas tertanggal di bahu kursi itu tersenyum. Petra bangkit. Kacamata berbingkai tebal yang tersangga di hidung Petra memantulkan pemandangan ganjil—Benjamin yang berdiri terpaku.

Petra mengulurkan tangan ke arah Benjamin, yang masih memandang kaku tanpa bergerak sedikitpun.

"O-oh, hai!" Leda maju selangkah dan menjabat tangan Petra yang terjulur.

"Kamu pasti Petra yang itu!" sapa Leda dengan senyum ramah.

"Petra yang mana, ya?" balas lelaki berkacamata itu sambil memandangi Leda dengan mata bertanya.

Leda berdeham pelan. "Oh, ehm, itu, yang Project Manager teladan di kantornya Ben, ya kan? Sekaligus sahabatnya Ben dari lama, tangan kanan yang teramat sangat amanah. Ya, 'kan? Bener, kan? Petra yang itu? Hehehe." Tawa canggung keluar dari bibir mungil Leda.

"Yap, benar. Dan lo pasti ... Leda, keponakannya Pak Kepala Desa, ya kan? Yang temennya Lisa itu?" tebak Petra dengan tepat.

"Iya, betul! Salam kenal, ya!" Nada riang Leda masih terpasang. Benjamin mencibir sekilas mendengarnya.

"Ada urusan apa lo dateng ke sini?" Benjamin Cokro akhirnya membuka suara, menyudahi ramah-tamah perkenalan Leda dan Petra.

"Oh, itu ...." Petra mengeluarkan sebuah smartphone tipis dari saku celananya, dan menyodorkan benda tersebut. Ponsel Benjamin. 

"Gue dapet notifikasi withdrawal dari rekening lo kemarin siang. Gue takutnya ini lo habis dijambret atau kenapa-napa, dan since gue nggak ada cara untuk ngontak lo, jadi ... gue dateng langsung deh, ke sini."

Benjamin menurunkan pandangannya pada layar gawai. Di sana terdapat surel dari bank yang menunjukkan notifikasi persis seperti yang dibilang Petra.

"Oh," ucap Benjamin. "Tenang aja, itu gue. Gue butuh duit untuk mulai proyek suruhan Eyang itu."

"Syukurlah." Petra menghela napas, tampak benar-benar lega. "Gue udah sampe bekuin rekening lo padahal, baguslah kalau ternyata—"

"Hah?? Lo blokir rekening gue?!" Benjamin memotong kalimat Petra.

"Sementara aja, Ben. Ini cuma aksi preventif gue, takut kalau-kalau lo kejambret beneran. Nanti begitu balik ke Jakarta, gue janji langsung gue urus." Petra menjabarkan dengan sabar.

"Ya tapi gue butuh duit itu, Tra! Buat proyek yang disuruh Eyang Kakung!" erang Benjamin penuh amarah. Entah kenapa emosinya mudah sekali tersulut di hadapan Petra.

"Oke, oke, tenang dulu. Gini, gue juga ada rencana masalah itu. Nih ...." Petra menyerahkan lembaran print out yang sedari tadi tergeletak di atas meja, ternyata isinya adalah kontrak proposal. "Gue bisa bantu masalah pembiayaan proyek lo di sini."

"Pake nama Cokro Group?" Alis Benjamin terpaut membaca judul kontrak tersebut.

"Memangnya salah?" bingung Petra.

"Engga, itu, ehm ...." Benjamin menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Bisa nggak sih, proyek ini statusnya jadi sponsorship dari grup, instead of kontrak formal begini?"

Petra memandangi Benjamin dengan pandangan miring. "Bisa diatur, sih," jawabnya tanpa bertanya lebih lanjut. Dia sudah terlampau paham untuk tidak beradu pendapat dengan Benjamin, terutama masalah pekerjaan.

"Oke, itu aja 'kan, tujuan lo dateng ke sini?" putus Benjamin tanpa basa-basi. Dia sudah tidak sabar ingin mengusir Petra dari tempat ini.

"Tunggu, ini gue ngontak buat follow up-nya gimana?" tanya Petra sambil mengarahkan pandangan pada Leda.

"Oh, itu, ke aku aja!" Leda dengan tanggap membaca kode tersebut. Gadis itu lantas menyodorkan ponselnya. "Minta kontaknya Mas Petra," ucapnya manis.

Petra menyambut ponsel Leda dengan senyum tak kalah manis. Sobat Benjamin tersebut dengan sigap memasukkan nomornya ke dalam buku kontak Leda.

"Sudah," ujar Petra sambil mengembalikan gawai gadis itu.

"Alright, udah kelar semua urusan, 'kan? Lo pasti banyak kerjaan di Jakarta." Suara Benjamin membuat Petra menoleh, senyumnya sirna.

"Ehm, iya sih ...."

Tepat saat itu, pintu depan terbuka. 

"Loh, sudah mau pulang? 'Dak sarapan dulu kalian?" tanya Bi' Khos yang baru saja memasuki rumah, menuntun Mbah Tum dengan telaten.

"Ngga usah, Bi'. Petra bisa cari sarapan sendiri. Lagipula, saya sama Leda mau istirahat. Semalam kami kurang tidur," pungkas Benjamin dengan nada tegas.

Petra menyuguhkan senyum maklum dan mengangguk. "Nggak papa, flight saya dua jam lagi, kok. Saya pamit dulu, semuanya."

Saat mengiringi Petra keluar, Benjamin bisa merasakan Leda mencubit pinggangnya sebelum lepas dari ruang tamu.

"Tega banget sih kamu sama temen sendiri! Dia kan baru sampai, perjalanan jauh, masa langsung diusir gitu?!" desisan itu terdengar dari balik telinga kanan Benjamin. Leda berbisik dengan penuh emosi, sampai panas napasnya terasa di tengkuk lelaki itu.

"Ssshhhtt!" desis Benjamin sebelum melepaskan diri dari Leda.

Dua lelaki itu lepas menuju teras rumah. Saat Petra baru saja melangkah memasuki halaman, Benjamin bersuara.

"Petra," panggilnya.

Sobat Benjamin itu menoleh. "Ya?"

"Gue tau ... tentang lo dan Saras." Suara Benjamin membahana tanpa jawaban, menguap ke tengah udara pagi di halaman lepas Rumah Atas.

Petra membeku di tempatnya berdiri.

"Kalo emang lo beneran cinta dia, ambil aja." Benjamin lantas membalikkan badan, berjalan memasuki Rumah Atas tanpa menoleh ke belakang lagi.

Sementara itu, Leda yang sedari tadi mengintip dari balik jendela dan menyaksikan itu semua, menunjukkan raut wajah paling berbelasungkawa ketika Benjamin melangkah masuk ke ruang tamu.

"You okay?" tanya gadis itu dengan nada suara lembut.

Untuk pertama kalinya, Benjamin menghela napas. Sedih, murka, sekaligus ... lega. Entah kenapa rasanya beban di dada sedikit terangkat.

"I'm good," jawab Benjamin. Satu senyum yang dipaksakan menyembul dari bibirnya.

Leda bangkit, berjalan mendekati lelaki itu. 

"Kamu ngga cocok pura-pura kuat begitu. Sini ...." Leda merentangkan tangan, "... hug it out," lanjutnya.

Tanpa ragu, Benjamin berjalan lurus menuju pelukan tubuh mungil gadis itu. Rasanya tubuh Benjamin meluluh, emosinya runtuh. Beberapa detik dalam dekapan, lelaki itu merasa—untuk pertama kalinya—bahwa dia benar-benar tenang.

🌟

[2704 Words]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro