Benjamin Cokro

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

JIKA kamu terlahir dengan priviledge khusus, bagai anak emas putra mahkota di kerajaan kapitalis dunia modern ini, apa hidupmu akan bahagia?

Tumbuh di keluarga berkecukupan—berkelebihan—sekolah di sekolah internasional, dibimbing tenaga pengajar terlatih khusus dan teman sekelas yang sama-sama memiliki darah biru seperti dirimu—calon kolega dan koneksi pembuka peluang di masa depan. Lalu pendidikanmu akan berlanjut untuk kuliah di luar negeri, universitas terbaik, digembleng dengan efektifnya ilmu mahal yang tak akan pernah sanggup dijamah oleh rakyat jelata.

Setelah matang, kamu akan diterima dengan tangan terbuka pada perusahaan terkemuka ibu kota—yang tak lain adalah usaha milik keluarga besarmu, diwariskan turun-temurun sejak era orde baru.

Pasti enak, menginjakkan kaki di perusahaan gigantis yang mana ada dalam genggaman keluargamu itu. Pusat perputaran ekonomi dan kehidupan itu menjadi halaman bermainmu, memberimu kuasa untuk memahat nasib pegawai biasa layaknya bermain play-doh.

Sungguh mudah hidup begitu, ya?

Tanya saja Benjamin Cokro. Itu hidup dia, pangeran kasta tinggi hirarki kapital ibu kota. Di Cokro Group, dia bagaikan manusia setengah dewa. Demigod.

Tanyakan padanya, apa dia bahagia?

Kehilangan ibu kandung karena penyakit terminal—kanker serviks stadium akhir—pada usianya yang baru beranjak sekian belas tahun ... apa dia bahagia?

Punya ayah seorang diktator, yang memaksa hidupnya berorbit dan bertuju pada perusahaan keluarga semata, berambisi mereservasinya sebagai pemimpin masa depan Cokro Group, bermodalkan dalih "ini demi kebaikanmu sendiri, Ben" ... apa dia bahagia?

Tanyakan pada Saras, kekasihnya yang cantik jelita, bagaimana Benjamin menghidu, mencumbu, dan bercinta—kesepiankah dia, di antara rapatnya rapat, waktu yang dipaksa sempat, demi usaha menghangatkan bekunya hati, hanya untuk berujung kata "Aku harus pergi, kita bertemu lagi nanti, ya?" ... apa dia bahagia?

Tanyakan pada Petra, sobat sekaligus tangan kanannya, bagaimana Benjamin dengan angkuh menghardik bawahan mereka, mencerca karyawan yang tunduk padanya, bersenjatakan kata "Pokoknya saya nggak mau tau, ya! Itu 'kan pekerjaan kalian! Bisa becus kerja nggak sih?!" ... apa dia bahagia?

Tanyakan juga pada saudara-saudaranya, sepupu yang dibesarkan bersama;

Pada Mas Tian, yang tertua, yang paling diharapkan menjadi pemimpin, tapi ujung-ujungnya malah mangkir dan memutuskan untuk membangun imperiumnya sendiri—perusahaan startup mandiri, demi terlepas dari kungkungan ekspektasi dan mewujudkan visinya sendiri.

Pada Gita, yang setahun lebih muda, yang masih ingin bebas dan liar, menyempatkan diri berlari kesana-kemari di tengah tuntutan gelar akademis, dengan gembar-gemboran kata-kata "Kamu kapan lulus, Git? Ayo, mana tanggung jawabmu pada perusahaan?"

Pada Lisa, si bungsu yang paling cerdas, pun paling beruntung, dilepas bebaskan oleh Om Moel dan Tante Melda, orang tuanya, untuk menjadi apa yang dia mau, mengejar cinta dan passion yang dia tuju. Ah, Ben iri sekali dengan bocil bungsu ini. Ingin sekali dia bertukar posisi.

Tanyakanlah, pada mereka, apakah Benjamin Cokro bahagia?

Jadi, jika mungkin suatu hari kamu berpapasan dengan seorang Benjamin di tengah jalan, atau bahkan bertabrakan, aku bisa jamin kamu akan terpaku, membeku, tenggelam dalam garis wajahnya yang tampan dan dingin, mati kutu ditilik matanya yang tajam berhalang sepasang kaca, lalu dia akan menghardik, keras di depan wajahmu, "Bisa lihat jalan nggak sih?!"

Dan lantas begitu, Benjamin pun berlalu. Kamu, seperti puluhan manusia lain yang ditemuinya setiap hari, hanya akan dianggap layaknya setitik debu.

Pun jika kamu cukup beruntung, dirimu dirasa penting dan menguntungkan baginya—bagi Cokro Group, Petra-lah yang akan menghubungi. 

"Kamu udah ketemu sama Pak Ben 'kan, kapan hari itu?" Petra akan bertanya padamu, dengan nada ramah. Dan kamu pun akan mengangguk, rikuh, menjawab dalam hati, Iya, aku ditabrak dan dihardik sama lelaki angkuh tak punya hati itu.

Itu hanya andai saja, jika kamu bertemu dengannya.

Tapi, aku kira kemungkinan hal itu terjadi adalah tipis menuju mustahil. Sebab, Benjamin melambung tinggi di atmosfer teratas, sementara kamu, sama seperti aku, dan tujuh miliar manusia lainnya, setia menjejaki bumi. 

Demikian, tetap pertanyaan kita masih sama; apakah seorang Benjamin Cokro bahagia?

Di tengah kuasa memanjat tahta, di tengah hardikannya terhadap sesama, di tengah keangkuhannya menjejaki dunia.

Mari kita tanya pada semesta, pada langit, pada bumi, laut dan gunung;

Hei, Benjamin yang punya segala-galanya, yang dihormati setiap siapa yang kau temui, yang bisa membeli probabilitas dengan jentikkan jari, izinkan aku bertanya padamu:

Apakah kamu ... bahagia?

🌟

[670 Words]


.

.

.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro