Maleda Magnolia

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

And I remember all my childhood dreams
I find it hard to get them out of my mind

[ARY — Childhood Dreams]

♫ 



LIMA tahun lalu ....
Bandara Soekarno-Hatta. Desember, 2013.

Bapak-bapak di penghujung usia kepala empat dengan perawakan jangkung, rambut cepak, badan kurus dan berkacamata, sedang berjalan menyusuri lorong marbel. Sang bapak tampak bergegas mengikuti arahan panah yang menunjuk tulisan International Arrival—Kedatangan Internasional.

Bapak itu mengenakan jaket bomber berlogokan gurat garis biru-hijau yang mengilustrasikan langit dan laut, dengan sembulan awan putih ditengahnya, serta tulisan kapital tercetak di bawahnya: BMKG. 

Semerbak bau kopi hitam yang terlampau mahal untuk dompet sang bapak menguar, membuat lelaki paruh baya itu menghidu pasrah. Dia sakau kafein.

Tapi kopi bukan tujuan utamanya sekarang. Ada sesuatu—seseorang—yang lebih penting dan harus didahulukan. Orang yang paling dia cinta sedunia.

Kaki si bapak melangkah cepat ke arah pintu ganda kaca. Layar informasi di sana-sini telah mengedipkan barisan status Arrival yang On-Time, termasuk maskapai yang baru saja tiba dari langit Dubai—transit tunggal setelah lepas landas dari Bandara Internasional John F. Kennedy, New York. Penerbangan yang sedari tadi diperhatikan oleh si bapak.

Tidak lucu kalau pesawatnya tiba on time, tapi si bapak malah jemputnya ngaret time. Kebiasaan, orang Indonesia.

"Ayah!"

Gadis berambut hitam ombre merah delima memekik dari barisan penumpang yang bergulir keluar, menarik koper gigantis dengan raut mata lelah yang masih cerah. 28 jam perjalanan akan membuat wajah siapapun menjadi lecek. Siapapun, kecuali gadis itu.

Si rambut delima malah berlari dengan girang, melepaskan kopernya sembarangan di tengah jalan untuk merengkuh si bapak dalam pelukan tanpa ampun.

Gadis itu membuat sang bapak terhuyung dalam pelukan, lalu mereka berputar tiga kali, bak sedang berdansa.

"Ayah, Ayah, Ayah!" Jeritan itu terbungkam oleh wajah si anak gadis yang menenggelamkan muka di dada si bapak.

Setelah puas ndusel-ndusel di ruang publik, gadis dengan rambut nyentrik itu pasrah wajahnya direngkuh sang bapak. Pasrah juga ketika dua pipinya diciumi, keningnya dikecupi, dan poninya diacak-acak dengan sayang.

"Maleda Magnolia ... mantan calon Sarjana Astrofisika kesayangan Ayah," gumam sang bapak sambil mengagumi hasil bibitnya sendiri; wajah manis berbentuk hati, mata bulat, bibir mengerucut unyu. Dialah Leda, anak perempuannya semata wayang.

"Budi Prakarsa, ayahku yang sekarang sudah jadi PNS!" Leda dengan lantangnya mengabsen nama panjang sang ayah. Pak Budi terbahak sambil mencubit kedua pipi Leda, gemas.

Sembari tertawa, Pak Budi melangkah sigap mengambil koper Leda yang tergeletak sembarangan. Gadis itu rupanya masih slebor seperti dahulu kala, saat kecil, melempar segala harta benda secara reflektif ketika emosi meletup tiba-tiba.

"B-M-K-G ... is that official? A government agency?" tanya Leda sambil mengeja logo di jaket ayahnya. "Ayah kerja di situ? Sama pemerintah? Jadi apa?"

Cecaran pertanyaan itu hanya dijawab tawa ringan oleh Pak Budi.

"Iya, iya, dan ... iya. Lah kamu sendiri 'kan yang bilang tadi, Ayah jadi PNS." Pak Budi berucap santai sambil mulai menggeret koper Leda, diikuti anaknya yang mengekor dengan setia.

"Eh, Yah, aku kan cuma denger dari Om Moel kalau Ayah udah jadi PNS. PNS-nya di mana, jadi apa, kerjanya ngapain, itu aku belum tau!"

Leda mengimbangi langkah ayahnya dengan gesit. "What's it stands for, anyway? Be-em ...."

"Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika," jawab Pak Budi sigap. Senyum bangga terselip di wajahnya.

"Wow!" Leda membulatkan mulut. "Ayah kerja di mananya? Be-nya, em-nya, ka-nya, atau ge-nya?"

Pak Budi melirik si anak gadis singkat, sok misterius. "Coba tebak."

Leda memincingkan mata, menatap wajah ayahnya, lalu menengadah menantang langit, seolah meminta petunjuk. Saat itu mendung, namun Leda tau hujan tak akan turun.

"Ayah aku ... ada di ... ka-nya! Klimatologi! Ya kan?"

"Betul!" Pak Budi mengacungkan jempol dari tangan kiri yang bebas.

"Oya?! Wah, seriusan, Yah? YAYYY!" Leda memekik riang sambil berlari, berputar di lorong luas dekat drop zone utama, beberapa puluh meter dari parkiran mobil, tujuan mereka.

"Hear that, Jakarta? My dad is a climatologists!!" jerit Leda dengan puas ke parkiran lepas. Pak Budi semakin terbahak akan tingkah laku putrinya.

"Kamu ini girang sekali, Leda ... seperti tidak habis drop out dari program Astrophysics terbaik se-US saja."

Celetukan itu membuat Leda menghentikan gerakannya. Bibirnya mengerucut, gadis itu berkecak pinggang.

"Ayah! Kita kan lagi seneng ini ceritanya, selebrasi jabatan Ayah! Kok malah dibanting ke situ sih ...."

Pak Budi tertawa maklum sambil menyusul langkah anak gadisnya. Pria itu hafal betul, semakin lebar senyum yang dipamerkan Leda, maka semakin pedih luka yang berusaha dia tutupi. Selalu begitu, sedari dulu.

"Maaf-maaf. Kamu mau cerita? Sambil makan di luar yuk, Ayah pingin ngopi."

Mendengar kata 'kopi', mata bundar Leda berpijar kembali.

"Hayuk!"

Gadis itu mengaut lengan ayahnya yang bebas, menuntun Pak Budi memasuki parkiran mobil. 

Tak tampak dari gelagatnya bahwa seorang Leda, gadis 19 tahun dengan rambut nyentrik itu, yang baru menginjakkan kaki kembali di tanah air itu, baru saja melewati tahun tersulit dalam hidupnya.

🌟

Sedap aroma MSG, kecap, saos, dan telur ceplok mengudara dari atas sepiring mie instan goreng yang siap dilahap Leda. Gadis itu dan ayahnya sedang melipir di warung kopi pinggir jalan, mengobati rindu sekaligus mengisi perut.

"Terus, bagaimana kabar mereka? Sehat-sehat semua?" tanya Pak Budi sambil menghirup kopi hitamnya. Aliran kafein yang menyapa lidah pria itu membuat matanya semakin awas, hidup.

Leda mengangguk sambil menggulung mie, siap melahap. Ini adalah piringnya yang kedua.

"He-emh, sehat, bahagia, dan sejahtera." Leda melahap gulungan mie. "Suaminya kerja jadi dosen Antropologi, kayaknya emang selera dia cowok-cowok pintar macem Ayah gitu, deh, terus anaknya udah tiga. Yang paling besar baru masuk high school, terus yang tengah mau lulus elementary, dan yang paling kecil masih nyusu."

Pak Budi mengangguk-angguk. Diseruputnya lagi kopi hitamnya itu, coba melumaskan kepahitan yang berusaha dia telan.

"Keluarga mereka ideal banget. Berkecukupan, ortu komplit, semua ada. Tapi Yah, aku nggak betah di sana." Leda melanjutkan setelah menelan kunyahannya. Diteguknya botol air mineral, membiarkan ayahnya menunggu.

"Kenapa, memangnya?" tanya Pak Budi yang tak sabar ketika Leda menelan teguk ketiga.

Gadis itu menaruh botol air yang tinggal setengah isinya.

"Rasanya aku kayak nggak diterima aja, di sana. Kayak jadi alien," ucap Leda dengan ringan. Gadis itu kembali menggulung mie instan.

Pak Budi mendesah berat. "Yah bagaimanapun, dia kan ibu kandungmu sendiri, Leda ...."

Gerakan Leda terhenti. "Dia juga ibu kandung anak-anaknya di sana, Yah. Mereka lebih butuh ibu daripada aku. Aku kan punya Ayah, di sini."

Pak Budi tersenyum prihatin. Mereka sedang membicarakan wanita yang melahirkan Leda, layaknya ia seorang asing nun jauh di sana.

"Jadi itu, alasan kenapa kamu memilih drop out dan kembali ke Indonesia?" tanya Pak Budi akhirnya.

Dia tak tega melihat Leda yang terus  memalsukan senyum, melahap mie seakan tak terjadi apa-apa, padahal jelas dia tahu sang anak sedang merasa dipersalahkan sebagai pesakitan yang membuang keluar jendela kesempatan lulus dari divisi Astronomi pada departemen Astrophysics di Princeton University, salah satu kampus dengan jurusan Astronomi terbaik di dunia. 

Dia paham, kalau anak gadisnya sudah lumayan menderita.

"Aku ngerasa ... berubah, Yah. Selama di sana itu." Leda memulai sambil menelungkupkan garpunya. Napsu makan gadis itu menguap sudah. Entah karena kenyang, atau karena arah pembicaraan mereka.

"Selama di sana, aku ngerasa ... beda. Kayak, semua apa yang diajarin sama Ayah, Bibi, dan Mbah Tum itu nggak ada value-nya sama sekali. All thrown like a trash. Apa yang selama ini aku pegang teguh, aku imani, dan aku anggap benar, mendadak dibolak-balikkan sama kenyataan kultur di sana yang ... buas."

Pak Budi diam mendengarkan, manggut-manggut seraya mulai menyimpulkan bahwa sang anak gadis bisa saja mengalami culture shock.

"Mau makan harus hati-hati, bisa-bisa kalau sembrono aku nelen babi. Mau ngobrol juga ... kebanting. Aku jadi manusia paling bodo, paling katrok, dan paling primitif di sana. Dan ... ketika aku berpaling ke Ibu untuk bicara, berharap dia bisa ngerti, eh ... rasanya malah kayak ... ngomong sama orang lain. Aku nggak bisa jamah hati wanita yang aku panggil 'Ibu' itu."

Leda mendesah. Diteguknya lagi air mineral botolan. Setelah tandas, dia melirik kopi ayahnya. Disikatnya gelas itu, meneguk beberapa kali.

"Aku pikir, untuk apa sih aku pinter-pinter sekolah, mati-matian belajar, dapet gelar yang nantinya bakal kepake buat ngelamar pekerjaan yang malah bikin aku tertekan? Untuk apa sih, Yah? Kebanggaan? Pengakuan? Itu kah yang Ayah mau dari aku, sampai nyuruh aku kuliah ke Princeton dulu? Biar aku bisa dibanggakan?" Leda menatap ayahnya dengan pandangan sayu, membuat lelaki itu menggeleng kuat-kuat.

"Kamu tau bukan begitu kenyataannya, Leda. Ayah hanya ingin kamu ... bertemu kembali dengan ibu kandungmu, itu saja. Maaf kalau kenyataannya nggak sejalan dengan niat Ayah, kamu jadi terluka. Ayah hanya nggak ingin ... kamu tumbuh tanpa mengenal ibumu."

Kini giliran Leda yang menunduk dalam. Bibir gadis itu bergetar. Betapa dia rindu pada ayahnya yang super pintar tapi kadang konyol ini. 

Mana bisa dia ngenalin anak ke ibunya yang udah ninggalin si anak dari usia 4 tahun, untuk dipertemukan lagi pas anak itu udah lulus SMA? Ayah, Ayah. Kamu kok lucu.

"Leda nggak butuh ibu. Leda butuhnya Ayah," lirih gadis itu. 

Pak Budi terenyuh mendengarnya, buru-buru merangkul bahu Leda dan mengusap lengan anak gadis itu.

"Maafin Ayah karena mengirim kamu ke sana, ya?" bisik Pak Budi di telinga Leda. Gadis itu mengangguk.

"Maaf juga aku bodo dan nggak sepintar Lisa, Yah. Ditekan materi susah sedikit aja udah stress. Coba aja aku punya otak encer kayak dia, mungkin—"

"Hus!" potong Pak Budi seketika. Leda mulai membandingkan dirinya pada Lisa, anak Om Moel yang punya otak super encer. Pak Budi menggeleng tegas.

"Pintar itu nggak cuma dinilai dari sini." Sang ayah menunjuk kening Leda, membuat gadis itu menengadah. "Tapi juga, dari sini." Kali ini Pak Budi menunjuk dada Leda, mengisyaratkan hati.

"Menurut Ayah, kembalinya kamu ke sini adalah sebuah keputusan pintar. Kamu bisa menempatkan diri, mendahulukan mana yang jadi prioritas, dan tidak mengkhianati ajaran moral keluargamu. Ayah bangga sama kamu, Leda. Ayah merasa berhasil mendidik kamu."

Pak Budi tersenyum tulus pada anak gadisnya, Leda juga membalas senyum. Gadis itu mengangguk, setuju.

"Ayah itu ayah terbaik nomor satu se-jagad raya, tau nggak?" ucap Leda sambil menenggelamkan diri dalam pelukan ayahnya. Pak Budi terbahak puas.

"Kamu juga anak paling baik se-jagad raya."

Leda ikut terbahak. Berdua, mereka berbagi tawa sambil lanjut menikmati mie dan kopi masing-masing.

Setelah reda derai mereka, kenyang juga perut Leda, serta ludes kopi ayahnya, Pak Budi mulai bertanya.

"Gimana sama Finn, Leda? Apa dia baik-baik saja ketika kamu tinggal?"

Finneas, adalah pacar Leda yang sering mengirim surel dan video call lewat Skype pada Pak Budi, mengabari sang ayah tentang kabar anak gadisnya ketika si rambut delima itu sok sibuk dengan kehidupan di sana. 

Cowok bule bermata hazel dan rambut serta janggut brunette itu—sependek pengetahuan Pak Budi—adalah support system mujarab bagi Leda.

Diluar dugaan, Leda malah mendengkus.

"Aku sudah putus sama Finneas, Ayah."

"Lho, lho, kenapa? Dia baik sekali kelihatannya," ujar Pak Budi tak terima.

"Yeah ... well, no. He knocked someone up," ucap Leda tanpa selera.

Pak Budi mengernyitkan dahi. "Knock ... apa? Dia nonjok orang? Berantem, maksud kamu?"

"Issshhh bukan!" Leda mendesis gemas. "Dia itu ngehamilin anak orang!"

Pak Budi menahan napas sedetik. "Yah ..." ucapnya. "Setidaknya dia nggak ngehamilin anak Ayah ...."

Leda langsung tersedak kopi yang diam-diam dicurinya. "Ohok-ohok! Ayah!"

"Hahahaha." Pak Budi terbahak. Rupanya, menertawakan derita bisa meringankan beban batin. 

Leda menggeleng sambil lanjut menandaskan kopi ayahnya. 

Setelah puas tertawa, Pak Budi kembali bertanya.

"Apa rencana kamu kedepannya, Leda? Kamu mau tinggal di sini, sama Ayah?"

Gadis yang ditanyai melayangkan pandang ke luar jendela yang terbuka. Ke arah jalanan yang padat dan macet, ke gedung-gedung tinggi yang berlomba-lomba mencumbu langit. Terakhir, pandangan Leda berhenti ke langit yang kelabu gelap tertutup polusi udara, menelan bintang-bintangnya menjadi tak kasat mata.

"Nggak mau," jawab Leda pendek. "Di sini sumpek, Ayah."

Pak Budi terkekeh. "Lantas maumu bagaimana, Anak?"

Leda mendongak, berusaha melihat bulan yang harusnya terang tiga perempat, tapi jadi kelabu juga ditutup polusi.

"Aku mau ke Pandalungan, Yah, nemenin Mbah Tum. Dia masih sendirian 'kan, di sana?"

🌟

[1925 Words]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro