Prolog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

SURABAYA, Februari 2001.

"Lili-Lili ini ayo! Itu itu itu! Pelangi! Ayo main hujan-hujanan!"

Gadis mungil berumur lima tahun menunjuk-nunjuk langit dengan mata bundar yang cemerlang. Alis dan rambut gadis itu lebat dan tebal, meneduhi sinar matanya yang haus akan keingintahuan. Tampak dari kejelasan bicara dan caranya merangkai kalimat, bahwa si mungil ini memiliki kecerdasan di atas rata-rata.

"Ica, Ica, tunnduin!"

Tertatih bocah seumuran mengejar gadis tadi. Rambut bocah ini pendek, berponi, dan wajahnya berbentuk hati, manis dan lucu. Lidahnya masih sedikit cadel dan belepotan saat berbicara, tapi dia tak kalah aktif saat berlarian berkejaran dengan temannya.

"Ni, ini Lili. Pegangin." Bocah yang dipanggil 'Ica' tadi menyerahkan kantung plastik ke dalam genggaman tangan 'Lili', lantas menanggalkan baju terusan yang dikenakannya, menyisakan celana dalam dan kaus singlet berwarna pink.

"Icaaa! Tunndduuu!" Si 'Lili' panik dan meletakkan kantung plastik tadi ke atas lantai, lantas buru-buru membuka bajunya sendiri. Berbeda dengan 'Ica', 'Lili' tidak mengenakan kaus dalam.

Saat si wajah hati 'Lili' masih sibuk berkutat dengan pakaiannya, 'Ica' kecil telah berlari menuju pintu depan rumah. Beberapa meter sebelum kaki polosnya menyentuh halaman basah, sesosok tubuh pria menghadang tepat di depannya.

"Hayooo! Lisa mau ke mana? Mau main hujan-hujanan yaa? Nanti kalau sakit nggak tak ajak nonton bintang lagi loh!" Pria itu menangkap 'Ica' kecil yang menggeliat sambil tertawa.

"Om Ayaaah! Gyahahaha!" pekiknya sambil berusaha memberontak dari gendongan Om Ayah.

"Ayah! Toyon!" panggil 'Lili' dari seberang ruangan, meminta pertolongan.

Ternyata baju kaus yang sedang ditanggalkan oleh bocah itu nyangkut di kepala. 'Lili' terjebak dalam posisi dua tangan ke udara, sementara separuh pipi gembulnya tersandera kerah kaus yang tak bisa digerakkan lagi.

"Astaga-naga, gadis-gadis ini ndak bisa ditinggal sebentar saja ya ...." Suara pria lain yang muncul dari belakang 'Lili' menyahut.

Pria itu berkumis tebal, mengenakan kaus oblong, dan sedang berusaha melepaskan 'Lili' dari perangkap pakaiannya sendiri.

"Timataci Om Papa," ucap 'Lili' kecil sambil memungut kantung plastik yang digeletakkannya di tanah.

"Sama-sama, Leda. Apa itu yang kamu bawa?" tanya Pak Moel, yang baru saja dipanggil 'Om Papa', sambil menunjuk kantung yang digenggam 'Lili'--alias Leda.

"Batu," jawab Leda kecil, polos.

"Isshhh Lili jangan kasi tau! Nanti Papa marah." Lisa kecil, alias si 'Ica' berlari menuju Leda. Direbutnya kantung itu, memeriksa apakah isinya masih aman.

"Papa nggak marah kok. Lha kamu kenapa kok wis mudo (sudah ngga pake baju) begini tho, Nduk?" Pak Moel bertanya pada putrinya yang masih fokus menghitung batu di dalam kantung.

"Mau main hujan-hujanan itu tadi, Pak," lapor Pak Budi, ayah Leda alias 'Om Ayah' dari ambang pintu.

"Lili juja mau, Yah!" sahut Leda kecil tanpa rasa bersalah pada ayahnya, seakan meminta persetujuan.

Lisa kini sudah berjongkok di lantai dan menuangkan isi kantungnya--tersebarlah berbagai kerikil dan bebatuan, mulai dari batu gajah, split stone, batu kali yang permukaannya mulus, hingga beberapa batu kerikil putih akuarium. Bocah itu mulai menghitung jumlah batu-batu tersebut.

"Astaga, Leda, kamu ngambil batu lagi di toko ikan Om Papa, iya?" Pak Budi bertanya pada Leda kecil yang langsung diam membeku.

"Bukan, Om Ayah! Itu Ica yang ambil!" bela Lisa sambil bergegas bangkit dan berdiri di hadapan Leda, siap melindunginya.

"Haish, sudah, sudah, ndak apa-apa. Kalian mau main hujan-hujanan toh? Sana, monggo (silakan), tapi pakai jas hujan ya? Jangan lupa kalau sudah selesai, harus langsung mandi. Minta Mama di belakang untuk masakkan air hangat. Oke?" Pak Moel menengahi seraya memberi instruksi.

"Oke Papa!" sahut Lisa.
"Oce Om Papa!" beo Leda.

Dua bocah itu pun berlarian ke belakang rumah, mencari mama Lisa untuk memita jas hujan dan air hangat.

Sambil berjongkok, Pak Moel memunguti batu kerikil yang ditinggalkan oleh dua bocah mungil tadi.

"Bakal jadi Ahli Geologi anakmu nanti kalau besar ini, Bud," ucap Pak Moel sambil terkekeh.

"Ha ha ha, amin-amin, Pak. Saya sebenarnya berharap dia nanti jadi Ilmuwan Planetary Science atau sekalian Antariksawan. Coba saja ya, Leda ini otaknya seencer Lisa." Pak Budi menanggapi sambil bantu memungut kerikil.

"Hus! Jangan membanding-bandingkan. Leda itu cerdas dengan caranya sendiri. Semua ndak harus diukur pakai IQ, tapi juga ada EQ. Karena selain otak, ada juga hati. Aku lihat Leda ini matang sekali secara emosional lho, Bud, dibanding anak seusianya. Empati juga tinggi, nalar juga jalan. Wis talah (sudahlah), pinter, pinter, anakmu itu."

Pak Budi terkekeh menanggapi pujian owner toko ikan tempatnya bekerja itu.

Keluarga Moelyadi telah menganggap keluarga Pak Budi sebagai kerabat angkat, merangkul nenek dari ayah Leda itu, Mbah Tum, layaknya nenek mereka sendiri. Pasalnya, ketika Pak Moel masih bayi, Mbah Tum-lah yang menjadi ibu susuan ayah Lisa tersebut.

Orang bilang, ASI adalah perpanjangan darah. Maka demikian, bukankah layak jika dibilang Lisa dan Leda adalah dua saudara sambung--walau tanpa hubungan darah?

Pak Moel tersenyum ramah, kumisnya bergoyang.

"Ngomong-ngomong ... gimana? Sudah ada kabar dari ibunya Leda?" tanya Pak Moel dengan nada hati-hati.

Sambil tersenyum kecut, Pak Budi menggeleng. "Mboten enten (tidak ada), Pak."

"Ahhh ...." desis Pak Moel lanjut memungut kerikil.

"Tapi ada kabar baik, Pak."

"Hm?" Pak Moel mengangkat wajah.

"Beasiswa S2 saya ke ITB di-acc. Saya bisa lanjut studi Magister di Bandung." Pak Budi tersenyum dengan raut wajah bangga. Sementara bos sekaligus kerabat baiknya yang sedang memperhatikan, seketika mengucap syukur.

"Alhamdulillah! Wih, suweneng (senang) banget aku dengere, Bud! Selamet yo!"

Pak Budi turut mengucap syukur dan mengangguk-angguk. Namun detik berikutnya, raut wajah Pak Moel berubah serius. Kumisnya bergerak statis.

"Tapi ... nek (jika) kamu di Bandung, Leda bagaimana, Bud?" tanya ayah Lisa tersebut. Pak Budi lantas terdiam, berpikir.

"Itu ...."

"Wis, ngene ae (sudah, begini saja), Leda biar di sini saja sampai lulus TK, piye (bagaimana)? Aku ndak tega kalau Lisa harus stres kehilangan sobat perangkonya. Ndak liat tah kamu, bocah dua itu wis nuempel (sudah melekat) seperti itu? Ndak terpisahkan itu, in-se-pe-ra-bel!"

Pak Budi terkekeh dan mengangguk setuju.

"Iya, Pak, mereka memang inseparable sekali. Mboten nopo-nopo (tidak apa-apa) kah Pak, jika saya titip Leda disini sampai dia selesai TK? Saya juga berpikir tidak baik untuk perkembangan Leda kalau mendadak harus beradaptasi di lingkungan baru pada usianya yang sekarang ini, kecuali kalau memang sangat-sangat perlu. Mungkin ... saya akan bawa dia ke Bandung nanti, saat dia masuk SD."

Mendengar itu, Pak Moel buru-buru menjawab, "aahh, ya ndak apa toh! Sudah, jangan sungkan. Aku sudah anggap Leda dan Lisa itu kayak anak kembar, selayaknya anak-anakku sendiri! HEHEHE."

Pak Budi tersenyum tulus. Betapa bersyukurnya dia telah mengenal Joko Moelyadi dalam hidupnya, pria rendah hati dan berbudi pekerti yang tak ada duanya.

"Matur nuwun nggih (terima kasih ya), Pak."

🌟

[1075 Words]

PS : Adakah di sini yang kenal sama Lisa dan Pak Moel? Hayooo cung 🖐🏻

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro