Epilog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

DUA tahun kemudian ....

... Masih ada seakan yang belum terselesaikan
Cinta yang tengah jalan, begitu saja hilang ...

Suara hangat Julian Kaisar, vokalis dari Juicy Luicy, berkumandang dari dasbor HR-V berwarna metalik itu. Perempuan muda dengan rambut sebahu duduk dengan tenang di kursi belakang, tak terlalu mendengarkan musik yang mengalun dari pengeras suara, sementara suara ocehan dari kursi depan perlahan mengalihkan perhatiannya.

"Kamu yakin nggak mau ditemenin, Li? Yakin beneran bisa sendiri? Kartu busway sama KRL kamu masih ada isinya, kan? Eh, Ka, Ka, top-up-in lagi coba kartunya si Lili ...." Elizabeth Moelyadi menarik lengan baju lelaki yang sedang mengemudi di sebelahnya, Raka.

"Udah, Lis. Chill, Leda nggak bakal kenapa-napa, kok." Raka menoleh sekilas sebelum kembali menginjak pedal gas.

Lisa mengembuskan napas dan langsung menolehkan separuh badannya ke kursi belakang.

"Li?" panggilnya. "You okay?"

Leda melepaskan senyuman terlebar yang dia bisa.

"Tenang aja, Ca, aman kok. Ini aja udah cukup ngerepotin kalian. Makasih, ya, udah sempet-sempetin nganter aku ditengah sibuknya acara kalian," ujarnya.

"Sibuk apaan? Acara apaan? Orang ini cuma anniv-nya Pakde Manu, kok. Ahhh, mending aku nemenin kamu aja deh dari pada harus berangkat!" oceh Lisa.

"Lis, jangan gitu. Kita kan udah janji sama Pakde Manu dan Bude Bella. Nggak enak juga sama Mas Tian dan Gita ...." Raka mencoba menenangkan perempuannya.

"Aku tau," keluh Lisa. "Tapi ...."

"Ca, udahlah. Ini salahku juga, sih, milih momennya mendadak banget. Harusnya aku bisa nunggu besok-besok atau—"

"Nggak!" potong Lisa. "Kamu udah tega nggak ngabarin aku sama Raka kalau kamu ada di Jakarta, Li! Udah berapa minggu, coba?! Untung ya ini pas aku sama Raka lagi ke sini. Untung pas sama acara anniv-nya Pakde-Bude. Mau kamu tunda sampai kapan lagi, sih?!"

"Ca, napas, Ca." Leda menahan tawa.

"Ish! Kamu itu yang bikin aku gabisa napas, Li! Kamu nggak tau gimana ribetnya tiap lebaran dan kumpul keluarga ditanya-tanyain mulu sama si Benjo, 'Lis, temenmu itu mana? Apa kabarnya? Kenapa gue masih diblok? Bagi kontaknya, bla-bla-bla'." Elizabeth Moelyadi lagi-lagi membuang napas.

"Tega kamu itu, Li. Tega! Tega sama Benjo, tega sama aku juga ...."

"Udah, Lis. Kasian temen kamu jauh-jauh ke sini cuma buat dimarahin." Raka bantu menenangkan.

Leda hanya bisa menggigit bibir, bersalah. "Maaf ya, Ca," ucapnya.

"Jangan minta maaf ke aku. Kamu tau harus minta maaf ke siapa. Mutusin tali silaturahmi itu dosa, loh!" sanggah Lisa. Setelah menghela napas, gadis itu kembali melanjutkan. "Tapi ya aku minta maaf juga, deh, udah ngomel-ngomelin kamu selama perjalanan."

Leda tak bisa melakukan apa-apa selain menahan tawa. Amukan sahabat kecilnya itu sama sekali tidak terkesan mengintimidasi. Lucu, malah.

Namun tawa Leda buru-buru menguap saat dia sadar mereka sudah hampir sampai di tujuan. Mobil itu berkelok dengan mulus di depan sebuah gedung. HQ Cokro Group.

Begitu dia melangkah turun dan pintu mobil menutup, rasanya napas Leda menjadi sedikit berat.

"Goodluck, Li! Cepat selesaikan urusanmu sama si Benjo itu!"

Salam perpisahan dari Lisa yang disampaikan lewat jendela mobil yang terbuka itu tak memberikan Leda kesempatan untuk bertanya sebuah hal krusial.

Apakah Benjamin benar-benar masih menginginkannya? Terlebih lagi, apakah lelaki itu masih ... sendiri?

🌟

Lantai tertinggi gedung HQ Cokro Group menyediakan kafetaria outdoor di puncak bangunan, berseberangan dengan itu, terdapat ruang rapat dan pintu-pintu anggota direksi yang berperan penting, dan salah satu di antaranya adalah ruangan dengan pintu kayu jati yang dipesan istimewa oleh Eyang Direktur, tempat seorang Benjamin Cokro duduk di kantornya dengan label nama akrilik 'Chief Executive Officer' menyematkan jabatannya.

CEO yang berusia penghujung kepala dua itu sibuk membolak-balikkan map data pelamar kerja di atas mejanya. Belakangan ini kantor induk Cokro Group sedang mengadakan open recruitment karyawan baru.

Seharusnya pekerjaan itu dipegang penuh oleh divisi HR, namun kali ini sepertinya agak beda. CEO mereka, Benjamin, dengan sengaja melicinkan wewenangnya untuk ikut andil. Lelaki itu punya satu target yang membuat pikirannya mau tak mau terseret nostalgia.

"Sudah semua, Pak?" tanya Almira, pegawai anggota HR yang bertugas dalam perekrutan ini.

"Iya. Tunggu sebentar, Mir, saya cuma mau ngecek data satu pelamar ini saja ...." Benjamin memisahkan sebuah map.

"Kenalan Bapak?" tanya Almira.

"Bisa dibilang begitu. Sudah, Mir, ini sisanya kamu bawa lagi saja. Kalau boleh tau, interview sama yang ini—" Benjamin melambaikan map pilihannya itu. "—dimulai kapan, ya?"

Almira memungut sisa map data pelamar sambil mencuri pandang siapa target Benjamin Cokro, CEO yang merupakan bos dari bosnya itu.

Alifian Fathan, Teknik Industri, Universitas Damarwulan, eja Almira dalam hati.

"Semua pelamar akan di-interview Senin depan, Pak. Nanti saya suruh OB untuk menyediakan kursi ekstra buat Bapak," ujar Almira.

"Oke, thanks, Mir. Kamu boleh pergi."

Almira menurut. Diperhatikannya sisa map yang kini dibawanya, minus satu data yang 'disandera' oleh Benjamin.

Perempuan itu tak mengerti kenapa CEO-nya sangat penasaran dengan pelamar bernama Alifian tadi, namun toh semua data sudah diduplikat. Bukan jadi masalah.

Akhirnya Almira berlalu juga, meninggalkan Benjamin di ruangannya sendiri.

Almira terperangah saat tubuhnya hampir saja bertabrakan dengan seorang perempuan berambut panjang, tepat ketika dia baru saja keluar dari ruangan Benjamin.

"Eh, maaf, maaf," ucap si rambut panjang. Almira mengangguk sopan tatkala dia juga merasa salah.

"Nggak apa-apa, maaf juga saya nggak ngelihat ...." Kata-kata Almira terpangkas saat dia melihat siapa calon korban (atau tersangka?) tabrak lari barusan.

Perempuan itu mempunyai kulit putih yang terpampang halus pada baju tanpa lengan, dengan rok pensil belahan samping, tepat di sisi lutut, memamerkan kaki jenjang yang dibalut sepatu berhak tinggi dengan strap transparan. Perempuan itu sangat cantik, bagaikan titisan dewi.

"Benjamin-nya ada di dalam?" tanya perempuan itu tiba-tiba.

Almira tersentak dari lamunannya. "E-eh, iya, ada. Ada, kok."

"Oke, makasih, ya." Si rambut panjang tersenyum. Kecantikan wajahnya membuat Almira terperangah sedetik.

Sebelum pegawai HR itu sempat merespons apa-apa, perempuan berparas dewi itu sudah berlalu. Pintu ruangan Benjamin terbuka dan tertutup di belakangnya.

🌟

Sepasang elevator terpampang tak jauh dari belakang meja panjang resepsionis. Pegawai dengan ID card terkalung berlalu-lalang tak jauh dari sana, beberapa ada yang memasuki elevator dengan menggunakan ID card-nya.

Leda menghampiri meja resepsionis di lobi kantor yang supermegah itu.

Seorang pegawai lelaki bernama dada 'Diki' menyambut Leda dengan senyum.

"Siang, Bu, ada yang bisa saya bantu?" sapanya ramah. Nada bicaranya teratur, bagai sudah terlatih menyuguhkan keramahan itu bertahun-tahun.

"Emmm, saya ingin bertemu dengan ... Benjamin Cokro." Leda tak percaya dia bisa mengucapkan nama yang dua tahun belakangan ini hanya tersimpat di sudut pikirannya.

"Oke. Ibu sudah ada janji?" Diki si resepsionis bertanya.

Leda menimbang sendiri apa yang harus dijawabnya.

Janji? Bukankah dulu Benjamin yang berjanji akan 'tunangan beneran' dengannya? Tapi, apakah janji itu masih berlaku sampai sekarang?

"Nggak," putus Leda akhirnya. "Saya nggak ada janji, Mas. Tapi masih bisa ketemu, kan?"

Resepsionis itu mengerucutkan bibir, lantas mengecek sesuatu di layar komputernya.

Jika tidak tersenyum atau bertutur ramah seperti tadi, Leda dapat melihat ekspresi asli seorang Diki yang kesal, lelah, dan muak menghadapi orang-orang semacam Leda setiap hari; rakyat jelata yang tak berkepentingan.

"Maaf, Bu, jadwal Pak Benjamin itu padat sekali. Mungkin bisa ditemuinya setelah jam kerja selesai, itu pun kalau beliau berkenan. Kalau Ibu tidak berkeberatan menunggu, silakan duduk di sebelah sana ...." Diki menunjuk seperangkat sofa di sisi lain lobi.

Leda berpikir sejenak. "Oke," ucapnya kemudian, lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam dompetnya.

"Saya tunggu aja, Mas, tapi tolong titip serahkan ini ke Pak Benjamin, ya? Jaga-jaga kalau hari ini saya nggak berhasil bertemu beliau."

Leda menyodorkan sebuah kartu nama. Pegawai bernama Diki itu meraihnya tanpa sempat membaca, dan meletakkan benda itu di atas tumpukan paket dan dokumen lainnya.

"Baik," ucap Diki dengan nada ramah yang mulai Leda sadari bukanlah ramah yang otentik dari hati. Itu adalah ramah latihan.

"Makasih, Mas," gumam Leda sembari berbalik badan. Perasaannya campur aduk.

Memang benar kata ayahnya, Jakarta tak seramah daerah Timur Jawa.

🌟

Sudah dua jam lebih Leda menunggu. Sofa empuk yang dia duduki tak terasa nikmat lagi. Pemandangan lobi yang dikelilingi dinding kaca jadi tak menarik lagi. Ponselnya lowbat, begitu pula kesabaran dan energinya.

Sepuluh menit lagi, putus Leda sembari melemparkan pandangan ke luar jendela.

Langit Jakarta berwarna putih-keabuan, dengan semburat kemerahan di ujung Baratnya. Jam di ponsel Leda sudah menunjukkan pukul lima lewat. Sore segera menyambut.

Untuk menghabiskan waktu, Leda menyibukkan diri memperhatikan orang-orang di sekitarnya. Sudah ada belasan manusia yang datang dan singgah di ruang tunggu lobi itu, namun tak ada yang mengajak Leda bicara.

Mereka semua punya kesibukan masing-masing.

Seperti yang satu ini, wanita yang baru saja tiba di ruang yang sama, dengan buket bunga di tangan kiri, tas tangan menggantung di bahu, dan tangan kanannya sibuk menggenggam smartphone.

Rok pensil dengan belahan selututnya tampak serasi dengan sepatu ber-strap bening, ditambah lagi blus tanpa lengan yang berpadu rambut panjang tergerainya. Cantik.

Leda memperhatikan wanita berparas cantik itu duduk di seberang ruangan, tak jauh dari jarak pandangnya. Wajah perempuan itu terfokus pada gawai.

Tunggu, pikir Leda. Kayaknya aku pernah lihat wajah dia sebelumnya ....

Tepat saat itu, sosok yang diperhatikan Leda mengangkat wajah. Mata mereka bertemu.

"Kamu?!" ujar wanita itu. Matanya membulat, dan dia perlahan berdiri. Langkah kaki jenjang membawa tubuh itu mendekat ke arah Leda.

"H-hai ...," gumam Leda tak menentu.

Dia tau siapa wanita itu. Dia ingat wajahnya, parasnya, dan ekspresi pahitnya saat menjemput Benjamin pada hari terakhir di Desa Pandalungan.

Dialah Saras.

"Oh my God, kamu mantan tunangannya Benjamin yang dari desa itu, kan?" desis Saras tak tertahan.

Lengan panjangnya teracung pada Leda, menawarkan sebuah jabatan. Leda tersenyum tipis dan meraih jabatan tangan itu. Wajahnya pias.

"Iya, dan kamu ... pacar Benjamin, kan?" Pahit lidah Leda mengucapnya.

Tanpa diduga-duga, Saras tertawa lepas.

"Engg ... lagi ngapain, di sini?" Leda mengutarakan basa-basi untuk mencairkan suasana. Mencairkan rasa beku yang menjalari pergelangan tangannya. Ganjil. Harusnya Saras yang bertanya demikian, bukan Leda.

"Aku lagi nyamperin calon suamiku. Oh, kebetulan kamu di sini. Aku tau kita baru sekali ketemu, itu pun dulu banget, tapi ... ah, udahlah. Kamu itu spesial. Nih."

Saras merogoh sesuatu dari dalam tasnya, dan menyodorkan benda itu pada Leda. Sebuah undangan pernikahan.

"Acaranya lima hari lagi. Nggak terlalu mendadak, kan? Dateng, ya?" ucap Saras dengan satu kedipan mata.

🌟

Ding!

Pintu elevator mendenting terbuka. Benjamin melangkahkan kaki.

Hari ini padat sekali, dan dia tidak sabar untuk pulang ke apartemennya. Lelaki itu ingin mengistirahatkan diri sejenak. Malam nanti dia masih harus menghadiri pesta anniversary pakdenya, ayah-ibu Bastian dan Brigita.

"Woy, tunggu-tunggu, Benjo!" Suara lelaki yang familier di telinga membuat Benjamin buru-buru menekan tombol lift, menahan baja itu terbuka.

Derap langkah kaki Petra terdengar cepat. Lelaki itu masuk ke dalam elevator dengan napas terengah. Putus-putus, sobat Benjamin itu memulutkan terima kasih.

"Mentang-mentang deket hari H, jadi makin sering bengong lo gue liat-liat. Awas, kalo masalah kerjaan ada yang sampe lewat—"

"Iya, iya, Pak Bos. Ampun dah!" potong Petra dengan kekehan tawa di kalimatnya.

Benjamin ikut tertawa sambil menggelengkan kepala.

Beberapa detik elevator turun, hingga akhirnya berdenting terbuka, sukses membawa Benjamin dan Petra ke lobi lantai dasar gedung HQ Cokro Group.

Meja resepsionis menyambut mereka. Diki, resepsionis gedung kantor ini, tampak sedang bersiap-siap untuk berkemas pulang.

"Balik, Dik?" sapa Benjamin ringan.

"Iya, Mas," balas Diki.

Resepsionis itu memasukkan beberapa paket belanjaan online pesanannya. Benjamin sudah sering mengingatkan untuk tidak mengirim benda pribadi ke alamat kantor, namun sepertinya Diki lebih takut istri ketimbang CEO-nya sendiri.

Benjamin baru saja hendak berlalu diikuti Petra, ketika tiba-tiba suara Diki menahan langkahnya.

"Eh iya, Mas Ben, tunggu sebentar. Ini ada titipan ...." Diki menyerahkan sebuah kartu nama ke arah Benjamin.

"Dari sia—" Kata-kata Benjamin meluap saat membaca nama yang kini terselip di jemarinya. Nama yang selama ini tak pernah bisa digapai tangannya.

"D-Diki! Orangnya yang ngasih ini mana?! Masih ada??" ucap Benjamin sembari mengedarkan pandangan membabi buta.

"Siapa sih, Ben?" tanya Petra yang terheran-heran atas reaksi sobatnya. Setelah membaca nama itu, mata Petra ikut terbelalak.

"Wow. She's here?" gumam Petra.

🌟

Leda bisa merasakan tangannya bergetar ketika menerima undangan itu. Matanya seakan kabur saat membaca nama dan tanggal yang tertera di sana.

"Kaget, ya?" celetuk Saras, sukses membuat Leda mengangkat wajah.

"...." Leda tak sanggup berkata-kata.

Tepat saat itu, terdengar langkah kaki berderap menghampiri mereka.

"Nah, pas banget nih! Ini calon suami aku dateng," ucap Saras dengan senyum terpasang di wajah.

Leda membalikkan badan seketika. Benjamin berdiri di sana.

"Hai, Sayang," sapa Saras sambil melangkah pasti. Di belakang Benjamin, Petra datang menghampiri. Saras langsung menggandeng lengan Petra. "Akhirnya kamu turun juga."

Petra sibuk terperangah, sementara Saras mengambil alih porsinya untuk berbicara.

"Kita duluan deh ya, Ben, Leda. Kayaknya kalian berdua perlu ... waktu bersama," ucap Saras sambil kembali mengedipkan mata ke arah Leda, dengan anggung menarik Petra yang beberapa kali menoleh ke belakang.

Dalam hitungan detik, hanya tersisa Benjamin dan Leda yang berdiri berhadapan di ruang tunggu itu. Mendadak waktu serasa beku. Dua manusia itu saling tatap dengan mulut kelu. 

"Hai ...," sapa Benjamin lirih.

"Hai," balas Leda.

Mata mereka tak bisa lepas dari satu sama lain. Mereka begitu banyak berubah, namun juga tetap sama. Rasanya seperti kemarin mereka berpisah, sekaligus tak bertemu selama dua milenia. Ah, metamorfosis-tujuh-tahun sialan.

"Kamu ... jadi cantik, ya, sekarang ...," komentar Benjamin sambil memperhatikan sosok Leda.

Benjamin tak salah. Gadis itu memang sudah berwajah manis dari sananya.

Namun kali ini, pemandangan itu agak sedikit berbeda; tak ada lagi daster longgar dan kemeja kebesaran. Rambutnya pun sedikit lebih panjang. Leda yang memakai kaos katun dan celana jeans high-waist di hadapannya adalah perwujudan manusia ibu kota yang sangat wajar.

Kontradiktif. Rasanya aneh melihat Leda ada di Jakarta. Aneh yang baik.

Pun Leda memandangi Benjamin dengan dandanan yang berbeda; tak pernah sekalipun terbayang di benaknya, bahwa penampilan Benjamin Cokro yang berbalut jas dan sepatu pantofel akan terlihat semenarik ini. Rambut disugar rapi dan kacamata tipis itu. Ah, sungguh beda. Beda yang baik.

"Jadi, mereka ...." Leda menunjuk ke belakang Benjamin.

"Hm?" balas lelaki itu.

"Saras sama Petra ...?"

"Ya," jawab Benjamin.

"Dan kamu, nggak ...?"

"Nggak." Benjamin tertawa.

Leda menghela napas, lega.

"Ayo," ajak Benjamin tiba-tiba. Satu tangannya terulur, menunggu digenggam.

"Ke mana?" Leda tersenyum seraya berhati-hati meraih jemari itu. Tangan mereka bertaut. Rasanya ... tepat.

"Saya mau ajak kamu ke coffee shop dekat sini. Ada kopi susu yang kayaknya kamu bakal suka. Oh, iya, saya juga mau cerita banyak sama kamu. Eh, tapi, malam ini kamu ada acara, nggak? Udah ketemu Lisa? Oh! Coba tebak Senin nanti saya akan interview siapa!"

Leda tak bisa menahan tawanya tatkala Benjamin membanjiri sore itu dengan berjibun pertanyaan. Sangat-sangat berbeda dari Benjamin yang dulu dikenalnya. Benjamin yang sekarang ini terlihat ... rindu.

Demikian, Leda tidak keberatan. Mungkin saja, Benjamin telah menyimpan banyak sekali amunisi untuk dicurahkan padanya, hanya saja Leda tak pernah memberi kesempatan.

"Ben," ucap Leda di sela langkah mereka. "Pelan-pelan aja, aku nggak akan kemana-mana, kok."

Benjamin tersenyum. "Saya tau."

END

🌟

[2283 Wods]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro