Kembali ke Desa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


PANDALUNGAN, awal Mei 2018.

Saat masih kecil, Leda ingat sekali, dia kelaparan pagi-pagi dan terlewat antusias saat ayahnya, Pak Budi, hendak menuangkan sepiring nasi goreng bawang putih yang beraroma gurih ke atas piring.

Leda dengan tidak sabaran meraupkan tangannya ke depan, dan sedetik kemudian menangis jejeritan karena tangannya tersengat panas wajan.

Hari itu, Leda kecil ingat sekali pelajaran yang dikatakan oleh ayahnya, bahwa sesuatu yang panas itu tak boleh dipegang. Harus ditunggu dulu.

Sampai dewasa ini, Leda masih benci makanan yang terlalu panas. Gadis itu kerap mencampur air dingin pada kopinya yang dituang sepertiga gelas air mendidih.

Tampaknya kebiasaan itu tidak hanya mempengaruhi ritual makan Leda, tapi juga hal lain dalam hidupnya. Leda tidak suka berkecimpung dalam 'kepanasan'.

Agaknya pelajaran itu berjalan paralel dengan teori chef Raka dan juga Lisa; bahwa eating habit mempengaruhi seluruh aspek kehidupan.

[Block +628121222 ...? Blocked contacts will no longer be able to call you or send you messages.]

Satu helaan napas memperkuat niatan Leda untuk menekan tombol 'OK'. Leda melakukannya. Dia meniup panas itu jauh-jauh.

Kini, beberapa hari telah berlalu, dan rasanya sangat ... sepi. Dingin, tawar, dan semuanya terasa berjalan lambat.

Ditambah kenyataan bahwa kelompok KKN Universitas Damarwulan, yang mendadak bertransformasi menjadi support system dadakan bagi Leda selepas kepergian Benjamin, harus mengucapkan selamat tinggal karena masa tugas mereka sudah selesai.

Ah, kenapa semua hal baik harus berakhir?

Leda melenguhkan napas sembari melepaskan pelukannya pada Rida. Ami mengusap punggungnya dari belakang, dan Tatah mengusap air matanya yang berkaca-kaca.

"Kalian jangan lupain aku, ya, kalau balik ke kampus nanti. Kuliah yang bener. Lulus yang cepet. Jangan ikut-ikutan aku DO, ya?" Leda berpesan seraya menyuguhkan senyuman terkuat yang dia bisa.

"Mbak Leda beneran nggak bakal kenapa-napa?" tanya Rida sambil mengusap ekor matanya sendiri.

"Beb, maafin kita yah, udah jahat banget ninggalin Yu pas lagi broken heart begini ... aaargh, hiks—srott!" Tatah meremas tisu di hidungnya.

"Tenang aja. Aku nggak apa-apa," dusta Leda. Sejujurnya, dia merasa hampa.

"Mbak Leda bisa kontak kami kapanpun Mbak butuh. Grup chat kita jangan dibubarin, ya?" Kali ini Alif angkat bicara. Perkataan ketua koordinator desa itu disambut anggukan semua anggota kelompoknya.

"Makasih, ya, semuanya ...." Isak Leda hampir tak terbendung.

"Kita yang makasih, Mbak!" Rida kembali menenggelamkan diri dalam pelukan Leda.

Berat. Perpisahan memang berat.

Untungnya sayonara kali ini terasa lumayan hangat, sehingga Leda tak perlu mengambil jarak aman.

Leda diam-diam menguatkan diri. Hari-hari ke depan akan terasa luar biasa kosong.

🌟

"Assalamualaikum, Dek!" Suara Bi' Khos membahana di pintu depan Rumah Atas. Wanita paruh baya itu membawa rantang berisi makanan hangat. Nasi dan sayur tahu.

"MASUK, BI'!" Terdengar balasan dari dalam rumah, teriakan yang terbungkam jarak.

Bi' Khos membuka pintu tanpa ragu. Langkah kakinya yang cepat membuat wanita itu segera menemukan Leda yang duduk di kursi meja makan sembari membuka laptopnya.

Penampakan keponakannya yang acak-acakan, dengan poni tersibak kacau dan kantung mata menggelantung jelas itu, sukses membuat Bi' Khos berdecak.

"Kamu dak tidur lagi, Dek?!"

Sang bibi meletakkan rantang di atas meja makan dan buru-buru merapikan rambut Leda. Digenggamnya wajah keponakan yang berbentuk hati itu, dan dengan sigap disapukannya ibu jari pada sekitar mata Leda, jaga-jaga mengusir belek yang ada—atau bekas air mata.

"Kamu tuh mak cek niserah (kasihan sekali) Dek, Dek ... dak makan, dak tidur. Jen koros (semakin kurus) kamu tu nanti!" omel Bi' Khos.

Wanita paruh baya itu lantas menata isi rantang di atas meja makan, meraih piring dan mulai menyerokkan nasi hangat untuk Leda yang hanya bisa tersenyum pasrah.

Leda sadar, beginilah cara Bi' Khos menunjukkan cintanya. Tidak dengan pelukan atau air mata, tapi dengan omelan dan perlakuan nyata.

"Makan, Dek! Terus mandi kamu, siap-siap. Itu nganu apa kamu mak dek (kok di) depan komputer teros?"

Bi' Khos melirik sekilas pada layar laptop Leda. Di sana, terdapat barisan ketikan dan kursor yang berkedip. Wanita paruh baya itu tak ambil pusing untuk membaca privasi Leda.

"Biasa, Bi', buang sampah ...." Leda memandang lapar laptopnya sekilas. "Oh iya, siap-siap apa, Bi'? Memangnya mau ke mana?" tanya Leda kemudian.

"Jemput ayah kamu di terminal Pandalungan, Dek. Dia suda selesai dinas di Sidoarjo, nanti tidur sini dulu berapa hari. Nemani kamu."

"Hah??? Ayah mau ke sini?!" Leda membelalakkan matanya, jelas kerjap senang terpancar di sana.

Bi' Khos hanya memberikan senyum samar, dan menyuguhkan piring sarapan ke hadapan Leda.

"Makan, mandi, terus berangkat. Ayo. Dak bole melas (sedih) lama-lama," ucap Bi' Khos dengan tegas, jelas menandakan cintanya.

Leda tersenyum penuh arti. "Oke, Bi', aku selesaikan ini dulu sebentar ya ...."

Gadis itu lantas kembali memusatkan perhatian pada laptopnya. Tulisan panjang itu telah rampung diketik, hanya perlu dikirim dengan satu tekanan tombol send. Leda hanya butuh mengumpulkan keberanian, untuk mengirimkan serpihan perasaan yang sedari subuh tadi berusaha dia curahkan.

Sebuah closure.

To: Elizabeth Moelyadi ([email protected])

From: Leda M. ([email protected])

Subject: Bukan Emergency.

[Hai Ica. Apa kabar? Aku masih bingung, kenapa hari gini kita masih kontekan via email, ya? Kayaknya kebawa habit pas aku di US deh. But that's okay, menurutku begini lebih efektif, jadi kita nggak chat sepotong-sepotong kayak manusia jaman sekarang lainnya. Hehe.

O iya Ca, aku ng-email kamu ini karena emang udah mentok banget dan nggak tau harus gimana lagi. I hope you don't mind. Aku cuma butuh closure.

Ini soal sepupu kamu, Ben ...

Ca, kamu sahabatku dari kecil, dan walaupun kita jarang ketemu, kamu kenal banget sama aku, begitu juga kamu kenal sama sepupumu sendiri. Oke, aku mau nanya to the point aja nih, Ca. Menurut kamu, aku sama Ben ini compatible gasih? Maksudku, sebagai pasangan ... kita ini masuk akal, nggak? Aku dan Ben?

Ah, kedengarannya emang gila!

Kamu sendiri udah ngewanti-wanti aku kalau si Ben ini udah punya pacar di Jakarta. Kamu juga bilang kalau bakal nitipin dia sebagai sahabat, saudara ... aduh, maaf ya, Ca. Aku jadi ngerasa bersalah banget. Kayaknya aku nyelakain amanat yang kamu percayakan sama aku.

I'm so confused, aku harap kamu ngerti, Ca.

Aku di sini berusaha ngelakuin apa yang menurut aku benar. Aku berusaha ngerelain dia.

Apapun balasanmu nanti, Ca, aku harap kamu ngerti, bahwa kalau kamu bilang kamu ngedukung aku sama Ben pun, dan bahwa aku harus berubah pikiran, dan kalau aku seharusnya nurut sama kata hati aku ... I'm not gonna budge, Ca.

Aku akan tetap di sini sampai waktunya tepat.

BTW makasih ya, Ca, kamu mau baca sampah pikiran aku ini sampai akhir, hehe. Aku cuma mau bilang itu aja, kok. Ngeluarin uneg-uneg ini dari dalem kepalaku.

See you when I see u, Ica. Salam sama Yayang Chef-nya.

xx, Leda.]

Satu tarikan napas, Leda mengarahkan kursor menuju tombol itu. Klik. Pesan terkirim.

Detik itu juga, hati Leda terasa lega. Panas itu perlahan reda. Leda tau pasti, bahwa dia akan baik-baik saja. Dia punya cara sendiri untuk menyembuhkan luka.

🌟

[1103 Words]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro