Kembali ke Kota

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

JAKARTA, akhir April 2018.

Benjamin Cokro marah. Dia kecewa, lelah, dan tak terima.

Dia tidak mempermasalahkan Saras yang lancang menjemputnya ke Desa Pandalungan tepat pada momen terakhir dari jadwal 14 hari perintah Eyang Kakung. Dia bisa meminta Saras pergi dengan mudah.

Tapi ini tentang Leda.

Begitu melihat kehadiran Saras pagi terakhir di Pandalungan, jemari Leda yang tergenggam di tangannya langsung berkeringat, licin, dan menggeliat lepas tanpa sempat dia gapai. Lelaki itu sendiri juga berubah menjadi batu. Hanya bisa berdiri pasif di halaman Rumah Atas. Kaku.

Benjamin kecewa atas apa yang Leda katakan hari itu.

"Kamu pergi aja, Ben. Ini kenyataannya, ini realita kamu—relita kita. Tujuan kamu masih berarti. Keinginan kamu, papa kamu, Eyang kamu, semuanya itu masih valid. Pergi, Ben. Aku nggak apa-apa."

Lelaki itu ingat sekali, Leda menyuarakan suruhan yang merupakan kontradiksi sempurna dari apa yang mereka bahas semalam, sembari mengepak barang-barang di kamar Benjamin ke dalam tas besar.

Mana itu mau jadi tunangan beneran?

Apakah Leda menganggap ucapan Benjamin sebuah bercandaan?

Ataukah gadis itu sengaja mengambil keputusan pahit di tengah badai emosi?

Cemburu kah dia melihat Saras?

Atau memang Leda tidak berniat sungguh-sungguh untuk bisa bersama Benjamin?

Pertanyaan-pertanyaan itu bagaikan kata-kata yang di-print out dari dalam otak Benjamin, lalu berputar nyata mengelilingi kepalanya, memenuhi pikirannya.

Sebelum lelaki itu sadar berapa jam waktu yang sudah berlalu, tau-tau pesawat yang ditumpanginya bersama Saras sudah landing di bandara Soekarno-Hatta saja.

Sulit. Pikiran Benjamin masih tertinggal di Desa Pandalungan.

"Makasih sudah repot-repot antar-jemput, Ras," gumam Benjamin ketika mereka tiba di depan pintu unit apartemennya.

Pandangan mata lelaki itu terpaku pada kenop pintu, tak berselera memandang wajah titisan dewi yang berdiri di sampingnya.

"Ben ... ada apa, sih? Kamu diem terus dari tadi. Di pesawat juga nggak ngomong sama aku sama sekali." Saras menyentuh lengan Benjamin, yang dengan refleks langsung ditepis oleh lelaki itu.

"Kita ngobrol nanti aja, Ras. Aku capek, mau istirahat," elak Benjamin.

"Nggak!" Saras menahan pintu unit apartemen dengan bahunya.

"Kamu sendiri yang bilang, komunikasi itu hal paling penting dalam hubungan. Aku nggak mau nunda-nunda dan bikin masalah jadi berlarut-larut, Ben. Ayo bicara sekarang."

Nada tegas perempuan itu membuat Benjamin menghela napas. Setengah pasrah, dibiarkannya Saras melangkah masuk ke dalam apartemennya.

🌟

Atmosfer di ruang tengah apartemen Benjamin begitu padat, hampir terasa membeku.

Sudah lebih dari dua belas jam Benjamin duduk bersebelahan dengan perempuan itu, Saras, di mobil, di pesawat, dan saat ini di sofa ruang tengahnya sendiri.

"Saras, aku ...." Benjamin memulai penuntasannya malam itu. Dia lelah sekali. Fisik dan juga hati.

"Ya?" Saras menungu.

"Aku harus jujur sama kamu." Benjamin memperbaiki posisi duduknya. Lelaki itu menegakkan punggung.

Benjamin bisa melihat wajah Saras melebur kaku, pucat pasi. Hal itu membuat Benjamin sedikit tak tega, sempat terbersit di pikirannya untuk menunda hal ini saja, namun sekelebat tawa Leda yang entah bagaimana menggema di telinganya membuat Benjamin menghela napas, merangkum nyali.

"Sebelumnya, maaf, aku—"

"Stop, Ben. Aku tau apa yang mau kamu katakan." Saras memotong tepat ketika kata-kata hampir keluar dari mulut Benjamin.

"...." Lelaki itu membatu.

"Perempuan punya antena, namanya intuisi. Dan aku udah nangkep itu semua pas jemput kamu di Pandalungan kemarin. Aku lihat sendiri, cara kamu—cara dia, memandang satu sama lain."

"Saras ...."

"Dia 'kan, orangnya? Perempuan yang serumah sama kamu itu ... yang 'dijodohin' sama kamu itu?" Pandangan Saras menelusuri gurat wajah Benjamin.

Perlahan, sangat pelan, lelaki itu mengangguk.

Saras tertawa pahit. "I knew it."

Benjamin menunggu, menyaksikan tawa miris Saras berubah menjadi tangis. Hatinya ngilu. Memang, Saras melakukan kesalahan dengan bermain api di belakangnya. Tapi Benjamin tak jauh beda. Baru detik itu Benjamin merasakan, bahwa mematahkan hati seorang perempuan itu rasanya benar-benar tidak enak.

"Saras," panggil Benjamin. "Aku nggak mau bohong sama kamu. Aku juga tau, di sini yang salah nggak cuma aku. Kamu sendiri juga ..."

Tangis Saras seketika mereda. "Apa?"

Benjamin membeku. "Kamu ... dan Petra."

"Kamu tau?" Saras berkata lirih, sementara Benjamin mengangguk pelan.

"Kita impas, Ras. Kita sama-sama buat kesalahan. Jujur, aku sudah ngerelain kamu begitu Petra nyusul aku ke Pandalungan waktu itu. Aku tau dia lelaki baik. Aku kenal dia dari kecil."

Saras menundukkan kepala. Dia salah. Dia kalah. "Lalu ... kamu mau gimana selanjutnya?"

Benjamin menarik napas. Dia tahu ini akan jadi obrolan terakhir mereka dengan jarak sebegini dekat.

"Ayo kita jujur sama hati masing-masing, Ras. Kita tau sama tau harus milih siapa."

Saras balas menatap lelaki itu. Sebersit penyesalan menyayat hatinya. Pada saat-saat terakhir ini lah Saras bisa benar-benar melihat, bahwa Benjamin masih memiliki nurani.

"Aku ..." Saras membuka suara. Parau. Tak ada kalimat yang berhasil dirangkainya.

Pada akhirnya, Saras hanya bisa tersedu sambil melemparkan diri ke dalam pelukan Benjamin. Lelaki itu tak punya pilihan lain selain merangkul tubuh jenjang Saras. Ini yang terakhir.

"Maafin aku, Ben. Aku baru sadar ternyata kamu lelaki luar biasa ... aku salah. Sumpah, aku salah banget." Saraswati tersedu dalam tangisnya.

Benjamin hanya bisa meloloskan tangannya mengelus punggung perempuan itu. Mendengar Saras mengisakkan maaf terasa begitu pilu. Perlahan, rasa bersalah juga mulai menyeruak di dada Benjamin, merambat ke atas, mencekat tenggorokannya.

"Ternyata kamu perempuan yang luar biasa juga, Saras ...."

🌟

Satu hal yang Benjamin rindukan dari kehidupan lamanya, adalah bekerja.

Pijakan sepatu pantofel di lantai marmer yang menggemakan suara langkahnya, hiruk-pikuk di lobi HQ Cokro Group, dan juga pandangan mata beberapa karyawan yang takut-takut-penasaran mengantar Benjamin Cokro kembali ke habitat asalnya.

Pintu ruangan berlabelkan jabatan akrilik 'COO' itu terbuka, dan meja kerja itu juga masih menyandang nama Benjamin sebagai orang yang menjabat posisi itu, namun seorang perempuan muda duduk di kursi kejayaannya.

"Mas Ben," sambut Brigita dengan senyum terpasang.

"Gita," balas Benjamin sembari duduk di kursi hadapan sepupunya itu. "Betah kamu jadi COO?" tanyanya kemudian.

"Nggak tau, ya. Gitu-gitu aja." Gita menutup sebuah map yang sedang dibacanya. Mata perempuan itu kini lurus memperhatikan kakak sepupunya.

"Kamu tambah dekil aja, Benjo," komentar Gita kemudian.

Benjamin hanya mengembuskan tawa kesal. Bocah ini masih saja tak ber-manner pada yang lebih tua.

"Kamu itu yang tambah gila, main akuisisi perusahaan orang seenaknya." Benjamin mengendurkan dasi di kerahnya. Bisa terlihat senyum Gita semakin lebar.

"Jaya Nusa Karya, maksudnya?" tanya gadis itu.

Benjamin hanya mengangkat dua bahu, menandakan dia tidak terlalu perduli. Saat di Pandalungan, antek-antek Gita yang bernama Mbak Vivi dan Pak Dayat sudah cukup membuktikan kemampuan sepupunya itu. Gita lebih dari mampu.

"So ...." Benjamin mencondongkan badan ke arah Gita. "Catch me up, Sister. Ada apa aja selama gue nggak di sini?"

Gita merapikan map yang sedari tadi dipegangnya, dan memberikan lembaran tersebut pada Benjamin.

"Nih, baca sendiri. Itu ada brief singkat tentang apa aja yang udah aku kerjain di sini. On behalf of you, atas nama kamu." Gita bangkit dari kursinya—kursi Benjamin—sementara lelaki itu menerima uluran map dengan tangan terbuka.

"Seriusan, sampai bikin laporan segala?" Benjamin berdecak kagum.

"Yap. Versi lengkapnya ada di komputermu ini. Buka aja, password-nya masih sama kok. Aku mau cabut dulu."

Gita meraih tas tangan berlogokan LV di atas meja. Benjamin menaikkan alisnya.

"Mau ke mana?"

"Makan siang sama calon kakak ipar," ucap Gita ringan.

Mendengar itu, dada Benjamin mendadak terasa kaku. Jangan bilang, itu 'dia'?

"S-siapa, Git?" tanya Benjamin seketika.

"Itu loh, calon istrinya Mas Tian. Dan ah, duluan." Gita melangkahkan kaki berbalut stiletto tingginya keluar dari ruangan Benjamin.

Lelaki itu menghela napas. Sebersit ingatannya akan gadis desa yang cerdas dan unik luar biasa sempat membuatnya lupa mengisi paru-parunya.

Berusaha mengalihkan pikirannya dari bayang-bayang Leda, Benjamin buru-buru bangkit dan duduk di kursinya yang lama, berhadapan dengan layar komputer yang menyala, mencari-cari file laporan yang dimaksud Gita. Benjamin benar-benar butuh pengalihan.

Sepuluh, lima belas menit memainkan tombol scroll di tetikus dalam genggamannya. Benjamin sama sekali tak bisa mencerna kalimat yang tertulis dalam monitor hadapannya.

Sama sekali bukan karena laporan itu sulit dibaca, tapi karena kepalanya yang terasa kosong isinya. Pikiran lelaki itu terbang ribuan kilometer ke arah Timur, menaungi langit Desa Pandalungan bagaikan awan hujan.

Benjamin tidak bisa begini terus. Dia harus melakukan sesuatu.

Seketika itu juga, Benjamin membuka tab baru pada browser di komputernya. Google search dengan kata kunci 'Maleda Magnolia' memenuhi layar monitor pada detik berikutnya.

Nihil. Tak ada kontak gadis itu.

Yang ada hanya beberapa data eks-mahasiswa di Princeton University dan beberapa tag dari akun Facebook yang sudah mati. Sosial media bukan teman Benjamin saat ini.

Ya jelas lah dia nggak mainan sosmed. Dia sendiri yang bilang waktu itu, nutup semua kontak dari dunia luar. Benjamin merutuk dalam hati.

Satu-satunya cara dia tau bisa meraih Leda adalah melalui WhatsApp. Mungkin juga email, tapi, ah ... Benjamin sadar cara jika dia ingin mendapatkan kontak Leda itu tidak sepenuhnya menyenangkan.

Satu nama yang berkaitan adalah Petra. Benjamin tau, mantan sobatnya itu pasti menyimpan kontak Leda setelah kunjungannya waktu itu.

Yang jadi kendala adalah, Benjamin sama sekali belum berkomunikasi lagi dengan Petra setelah kunjungannya terakhir kali di Desa Pandalungan.

Lelaki itu menimbang-nimbang sejenak, mana yang lebih berat, apakah gengsi atau rindunya?

"Ck. Sialan," umpat Benjamin sedetik sebelum meraih ponsel dari saku celananya.

Beberapa tap pada gawai tersebut membawa Benjamin menahan napas sebelum ragu-ragu menekan tombol hijau di kontak bernama Petra.

[Outgoing call: Petra ....]

🌟

[Hai, Lee. Ini saya, Ben. Maaf kemarin kita berpisahnya tiba-tiba sekali. Bisa kita bicara?]

Pesan WhatsApp itu terkirim beberapa menit lalu. Centang dua abu itu tak kunjung berubah biru. Satu hal yang masih membuat Benjamin tak memadamkan harapannya, adalah display picture dari nomor Leda masih menampakkan foto selfie mereka berdua.

"Serius amat mantengin hape nya. Pacar?"

Suara Gita membuyarkan lamunan Benjamin.

"Oh. Ng ... nggak tau." Lelaki itu buru-buru menelungkupkan ponsel.

Mereka sedang berada di salah satu restoran KBBQ dalam mal di tengah pusat Jakarta. Benjamin memutuskan untuk menyusul Gita karena tadi dia mendadak merasa terjebak di kantornya sendiri. Di pikirannya sendiri.

"Itu Mas Tian sama Mbak Eva, Ben!" Gita menepuk lengan Benjamin dua kali, menandakan kehadiran abang semata wayang Gita yang bernama Bastian Cokro—Mas Tian, yang sedang melambai ke arah mereka dan berjalan bersisian dengan seorang perempuan.

"Hai. Wah, si Benjo 'dah balik nih. Tumben mau ngumpul bareng kita-kita," komentar Mas Tian begitu tiba di meja mereka.

Benjamin hanya membalas dengan senyuman rikuh. Kalau boleh jujur, sepertinya usaha Benjamin kali ini gagal. Dia tidak berhasil mengalihkan pikiran dan perhatian dari layar ponselnya. Berharap centang itu, pesan itu, sampai dengan selamat ke tujuan, dan berbalas secepatnya.

🌟

Malam akhirnya tiba. Senja di ibu kota datang lebih lambat, dan juga lebih kelam. Langit abu-abu Jakarta membuat Benjamin malas mendongakkan kepala.

Pintu unit apartemen yang menyambut terbuka tak membuat Benjamin merasa lega sama sekali. Memang, in apartemennya, tapi entah kenapa lelaki itu tidak merasa pulang ke rumah.

Rasanya terlalu sepi.

Segera Benjamin mengeluarkan ponsel yang sudah lowbat dari sakunya, dan men-charge benda itu di atas nakas sisi ranjangnya. Benjamin lantas memutuskan untuk pergi mandi.

Sepuluh menit kemudian, Benjamin yang berbalut handuk, merebahkan diri di atas ranjangnya.

Tangan lelaki itu langsung menggapai ponsel, membuka satu ikon hijau yang entah berapa puluh kali di-tap hari ini.

Betapa leganya Benjamin mendapati pesan yang terkirim tadi sudah bercentang biru. Leda telah membacanya!

Namun kelegaan itu surut seketika saat Benjamin menyadari foto profil Leda berubah menjadi abu-abu. Dengan mengumpulkan keberanian bercampur harapan, Benjamin mengetikkan satu pesan lagi.

[Malam, Lee. Kamu sudah baca chat saya?]

Benjamin menekan tombol kirim. Satu centang abu-abu menyambutnya. Lama. Tak kunjung berubah menjadi centang dua.

Pesan itu tak terkirim.

Maleda Magnolia telah memblokirnya.

🌟

[1823 Words]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro