Hari 14 - Merkurius dan Purnama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

LANGIT Pandalungan tampak lebih cerah dari biasanya. Meskipun tak dihujani dengan lejitan komet malam ini, namun purnama bulan yang nyaris bulat sempurna membuat samudra angkasa itu membuat usaha Benjamin dan Leda yang nekat hiking malam-malam buta menjadi tak sia-sia. Sama sekali tidak sia-sia.

"Gila," desis Benjamin sambil membaringkan tubuh di atas sleeping bag-nya.

"Hm?" balas Leda sambil menoleh, sedikit menunduk, sebab posisi gadis itu masih duduk di atas sleeping bag miliknya.

"Langitnya kayak lebih bagus dari terakhir kali kita ke sini," jujur Benjamin.

"Kayaknya kelihatan begitu karena suasana hati kamu lebih baik aja. Beda kan, pas terakhir ke sini itu kamu masih ngebawa beban. Sekarang kan udah kelar semua."

Benar juga, batin Benjamin mengamini ucapan Leda. Tak disangkanya suasana hati bisa merubah cara mata memandang dunia.

"Saya akan kangen pemandangan begini. Di Jakarta langitnya abu-abu terus." Benjamin menghela napas.

"Kasian deh, kamu." Kali ini Leda membaringkan tubuhnya di samping Benjamin. Sleeping bag mereka yang bersisian di atas tanah membuat gadis itu bisa menghirup aroma rumput segar. Tak terbayang bagaimana riuhnya Jakarta akan jadi menyebalkan dibanding ketenangan di sini.

"So ...." Leda menoleh pada sang bhekal. "Apa yang bakal kamu lakuin begitu balik ke Jakarta?"

"Hmmmm." Benjamin tampak menerawang. "Jadi CEO?"

"Hahahaha! Seriusan kamu masih pengen jadi CEO?" Leda terdengar tak percaya.

"Kenapa nggak?" balas Benjamin. "Saya anggap ini bakti saya sama keluarga, sama ayah saya, dan juga ... hmmmm, obrolan sama Alif kemarin siang bikin saya mikir."

"Mikir apa?" pancing Leda.

"Saya jadi paham maksud Eyang Kakung ngirim saya ke sini itu apa. Kalau saya nggak ngelaluin ini semua di desa ini, saya nggak akan punya tujuan besar yang harus dipahami sama calon pemimpin sebuah kapital yang besar. Kalau saya masih jadi Ben yang dulu, kayaknya ...." Benjamin bergidik sendiri.

"Kamu bakal tetep jadi bos yang nyebelin, ya?" sambung Leda.

"Hehehe, iya."

Kali ini Benjamin memiringkan tubuh, berhadapan langsung dengan Leda. Gadis itu langsung bisa merasakan wajahnya membara, kontras dengan cuaca dini hari di bukit ini.

"Kamu sendiri, setelah saya pergi, bakal ngapain?" Benjamin menatap Leda lurus-lurus.

Gadis itu langsung mengedikkan bahunya. "Nggak ngapa-ngapain. Bakalan agak bosen, sih, jadi single dan nggak punya bhekal lagi ...."

Mendengar itu, Benjamin menurunkan ritsleting sleeping bag-nya dan mendekatkan posisi kantong tidur mereka, berdempetan dengan milik Leda.

"Sini," ucap Benjamin sambil membuka salah satu lengannya.

"Hmh?" Leda mengerutkan alis, tak mengerti.

"Selama tunangan kita belum pernah pelukan. Sini, buru." Benjamin mengatakan itu dengan nada begitu yakin, menutup debaran jantungnya yang berbanding terbalik.

Tanpa pikir panjang, Leda menjatuhkan diri dalam dada Benjamin. Satu lengan lelaki itu melingkari kepalanya yang berambut pendek itu.

"Kamu tunangan terbaik yang pernah aku punya," gumam Leda dalam tenggelam wajahnya.

"Oya?" Benjamin tertawa. "Kamu juga, Lee. Saya senang jadi tunangan kamu, walaupun cuma bohong-bohongan."

Leda mengangkat wajah, lurus menatap Benjamin. Ternyata sebersit air sudah menggenang di sudut matanya.

"Nggak bisa jadi beneran, ya?" rengek Leda.

Benjamin tersenyum seketika. Wajah gadis itu tampak sangat manis, entah kenapa.

"Bisa, kok," jawab Benjamin dengan nada serius.

Leda seketika membelalakkan mata. "Oke, oke, becandanya lucu banget. Hehehehe."

"Loh, saya nggak bercanda. Emangnya kenapa, coba? Kamu partner yang oke, kok."

Leda mencibir. "Tapi kan kamu nggak cinta."

"Kata siapa?" tantang Benjamin.

Leda refleks memukul dada Benjamin. "Oke, stop, udah nggak lucu."

"HAHAHAHAA." Benjamin tertawa lepas.

Bersamaan dengan itu, Leda menekuk wajahnya.

"Kamu jahat banget deh, Benjo! Masa bercandanya main-main sama perasaan orang!" Gadis itu sontak melepaskan diri dari pelukan Benjamin, namun lelaki itu buru-buru mengeratkan rangkulannya. Leda terkunci seketika.

"Saya nggak main-main, Lee. Kamu aja yang dari tadi ngasumsiin kalau saya bercanda." Suara Benjamin terdengar dekat dan menggema, sebab lelaki itu berucap lirih tepat di pucuk kepala Leda.

Menggeliat perlahan, Leda berhasil mengendurkan diri dari pelukan Benjamin. Ditatapnya lurus-lurus lelaki itu.

"Kamu nggak becanda lagi, nih?" lirih Leda.

Benjamin tersenyum, lalu menggeleng.

"Lee, kamu nggak ada cita-cita mau tinggal di Jakarta lagi apa?" ujar lelaki itu tiba-tiba.

Leda menganga sedetik, lalu berdeham menenangkan diri.

"Aku, ehmmm ... yah, aku tau eventually aku akan tinggal di Jakarta juga, sama ayah aku. Cuma kamu tau kan, aku masih harus jadi kepompong di sini sampai dua tahun lagi. Itu prinsipku, Ben, dan aku akan pegang terus."

Tatapan Leda yang sungguh-sungguh membuat Benjamin terpekur seketika. Gadis itu tampaknya serius dengan perkataannya. Tak ada yang bisa membuat Maleda Magnolia angkat kaki dari desa ini, sampai 'transformasi tujuh tahun'-nya selesai.

Benjamin berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Oke. Kalau begitu, kayaknya Pakde Manu harus jadi CEO sampai dua tahun lagi."

"Maksudnya?" Leda mengerutkan dahi.

"Saya mau extend, ah. Tiba-tiba rasanya nggak mau pisah dari kamu." Benjamin mengeratkan pelukannya, kembali menenggelamkan Leda dalam ceruk lehernya.

"Kamu serius?!" pekik Leda sambil berusaha melepaskan diri.

"Iya," jawab Benjamin.

"Tapi, uaghhh ...." Leda berhasil melepaskan diri. "Kamu beneran ini? Barusan ngomong itu? Eh, jadi ... apa, gimana? Kita tunangan beneran?"

"Kamu nggak mau?" balas Benjamin.

Leda terdiam membatu. Dipandanginya Benjamin lamat-lamat.

Wajah lelaki itu menunjukkan keseriusan, sebuah gurat yang tak asing dilihat oleh mata Leda. Namun entah kenapa, sekarang rasanya beda. Jika dulu pandangan mata itu mengintimidasi, kali ini, keseriusan Benjamin yang tertuju padanya terasa begitu ... melegakan.

Leda tersenyum dan menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Berkata 'tidak' pada Benjamin Cokro akan menjadi sebuah kebohongan.

"Ayo extend, Ben. Ngomong sama Lek-ku, Bi' Khos, sama Ayah juga kalau nanti balik ke sini. Mereka pasti bakal nerima kamu lagi."

Wajah Benjamin menampakkan gurat kelegaan yang kentara. Kali ini lelaki itu menenggelamkan wajahnya pada sisi leher Leda.

"I'm so glad that I met you, Lee," gumam Benjamin setelah beberapa saat, untuk kemudian mengangkat wajah, kembali menatap gadis itu lurus-lurus dan membelai wajah bentuk hatinya.

Leda mengangkat tangannya, dan menggenggam jemari Benjamin yang menempel di wajahnya. "Me too," lirihnya.

Mereka bertatapan selama beberapa detik, dengan senyum yang cair, dan suara jangkrik yang mengerik.

"Ini kamu nggak mau cium saya nih, ceritanya?" celetuk Leda tiba-tiba.

"Oh, boleh?" tanya Benjamin. Senyum jenakan mengembang di wajahnya.

Leda membuka mulut untuk melontarkan jawabannya, namun terlambat—Benjamin telah maju dengan cepat dan mengecup sudut bibir gadis itu.

Cup.

Ciuman itu singkat, kilat, dan begitu polos. Tak ada hasrat menggebu di dalamnya. Tak ada perencanaan, pikiran panjang, atau keragu-raguan. Impulsif.

"B-Benjo!" Leda ternganga. "Tadi itu aku cuma bercanda, tauk! Kenapa malah nyosor beneran?!" omel gadis itu.

Benjamin Cokro melepaskan tawa yang membahana, menggema.

"HAHAHAHA, suruh siapa kamu main-main sama perasaan orang!"

Leda mencubit pipi Benjamin dengan gemas. Lelaki itu mengaduh seketika. Tak berapa lama, tawa mereka lepas bersama-sama. Malam yang dingin itu benar-benar menjadi hangat dengan tawa.

"Tapi, Ben, makasih ya ...," ucap Leda setelah reda tawanya.

"Makasih karena?" Benjamin menyingkirkan anak rambut dari pelipis Leda.

"Karena kamu, aku jadi punya tunangan kaya raya dan baik hati. Walaupun sedikit keras kepala, tapi aku sayang, kok." Leda mendaratkan satu kecupan ringan di pipi Benjamin. Usaha balas dendam dengan mencuri ciuman.

"Sama-sama," ujar pemuda itu sambil merapikan poni Leda.

Malam itu, Benjamin ingin merekam wajah gadis itu di dalam memorinya. Leda yang tersenyum bahagia, tak lagi pura-pura. Leda yang cantik sekali.

🌟

Mentari timbul sepertiga di langit Timur, bersamaan dengan titik terang yang ditunjuk Leda merupakan Merkurius.

Udara pagi bercampur embun menyegarkan rongga hidung dua sejoli itu, yang kini sedang melipat sleeping bag mereka. Benjamin dan Leda terjaga semalaman, namun senyum dan tawa yang sering tersisip di sela obrolan mereka menandakan bahwa dua manusia itu sama sekali tak merasa lelah.

Benjamin dan Leda menuruni bukit bersama, menempuh perjalanan sepuluh menit mencapai Rumah Atas. Mereka berpegangan tangan selama perjalanan.

Sesampainya di halaman Rumah Atas, tawa dari bibir Benjamin dan Leda hilang sepenuhnya, sebab di teras rumah, mereka mendapati sesosok perempuan sedang berdiri menunggu. Kaki jenjang perempuan itu disangga sepatu berhak tinggi yang sedikit berlumpur.

"Saras?" ucap Benjamin. Genggaman tangannya dengan Leda lepas seketika. Gadis itu sengaja menghempaskan tautan mereka, membuat Benjamin terkejut untuk kali kedua. 

Saras berdiri beku. Matanya sekilas melirik ke arah Leda, membuat gadis yang sudah pucat wajahnya itu membuang muka.

Bagaikan rusa yang disoroti lampu depan mobil, beku sebab tau dia hendak tertabrak, Benjamin diam tak bergeming di posisinya berdiri. Dia sama sekali tidak menyangka Saras akan tiba di sini, di Pandalungan, pada hari terakhirnya dari jatah dua minggu yang diberikan Eyang Kakung. 

Belum sempat Benjamin mencerna semuanya, Leda sudah melangkah dengan cepat terlebih dahulu, menyeberangi teras dan membuka pintu. Tubuh gadis itu hilang ke dalam Rumah Atas.

"Lee ...," panggil Benjamin dengan putus asa. Suaranya lirih, hanya sampai ke telinganya sendiri. Langkah kaki lelaki itu tergerak hendak menyusul sang bhekal, namun lengannya ditahan oleh Saras—tepat saat mereka berpapasan.

"Ben—"

"Lepas." Benjamin menggumam dengan dingin, membuat Saras melonggarkan cengkeramannya. Benjamin langsung berlalu tanpa sempat bertukar kata pada perempuan itu.

Sambil melangkah cepat-cepat, pikiran Benjamin langsung memburu. Dia tak mau, tak rela, jika apa yang baru saja dia lalui bersama Leda harus hilang begitu saja. Ini terlalu indah dan nyata. Tidak adil kalau semua harus berhenti sebegini tiba-tiba.

Saat Benjamin akhirnya mendapati Leda, lelaki itu sadar ketakutannya sudah terlanjur menjelma, menjadi nyata. Gadis itu sedang membuka-buka laci dan lemari di kamar yang ditempatinya, mengeluarkan pakaian Benjamin dan meletakkannya di atas ranjang—bersama dengan barang-barang bawaan lelaki itu.

"Lee, kamu ngapain?" Benjamin bertanya retorik, yang dijawab dengan bisunya kata dari Leda.

Gadis itu menoleh menghadapnya. Matanya semerah saga. Pandangan itu juga tak kalah nyata. Maleda Magnolia sedang terluka.

🌟

[1307 Words]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro