Hari 13 - Coup D'état

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"MINGGU, 29 April 2018. Hari ini dan besok adalah hari di mana elongasi Merkurius mencapai puncak, biasanya kelihatan di waktu subuh saat matahari terbit. Cuaca beberapa hari kemarin sempat sedikit gerimis, tapi prakiraan untuk hari ini dan besok bisa dipastikan akan cerah. Anyway, Ayah sudah pergi ke Sidoarjo untuk kontrol stasiun cuaca BMKG di sana ...

... Mbah Tum dalam keadaan sehat, kemarin dia sempat dapat kesempatan buat mijit orang lagi—Benjo—dan kelihatannya dia seneng banget. Oiya, ngomong-ngomong tentang Ben, dia sekarang lagi stres banget karena Alif, ketua kelompok KKN tahun ini yang kayaknya bakal ngungkapin identitas Ben yang asli. You know lah, bachelor asal ibu kota, anak tunggal pewaris harta dan tahta keluarga Cokro yang—"

"Harus banget kamu rekam masalahku ini di jurnalmu itu ya, Lee?" Benjamin memotong monolog Leda yang sedang merekam suara di smartphone-nya.

"Hehehe, maaf." Gadis itu mematikan gawai, lalu memperhatikan Benjamin yang duduk di sebelahnya, di kursi teras, dengan menyuguhkan secangkir kopi dari salah satu tangannya.

"Tumben ...," ucap Leda.

"Hm?" bingung Benjamin.

"Tumben kamu pagi-pagi udah bangun. Lebih tumben lagi, kamu bikinin aku kopi. Ada apa nih?" Leda berkata sembari menyeruput kopi suguhan Benjamin.

"Umur saya di sini kan nggak lama lagi," jawab Benjamin.

"Pfffttthh--uhuk!" Leda tersedak kopinya. "Jangan bilang gitu, dong! Kayak orang mau mati aja kamu 'tuh!" Gadis itu berdecak.

Respons Leda barusan membuat Benjamin tertawa lepas. Dia sedikit merasa tersanjung dan geli, bercampur sebersit haru karena tugasnya di desa ini selesai sudah. Diam-diam, Benjamin mempersiapkan hati akan perpisahan yang mulai dekat deadline-nya.

"Tapi ...." Benjamin terpikir akan sesuatu. Hal yang mengganggu kepalanya sedari kemarin malam. "Menurut kamu, Lee, ini situasi saya sama Alif harus gimana, ya, biar bisa selesai tanpa baku hantam?"

Leda tampak berpikir sebentar.

Pada momen itu, pagi hari di halaman Rumah Atas mendadak menjadi damai. Benjamin bisa leluasa memperhatikan Leda, yang wajahnya memandang jauh menembus perbukitan, tanpa sadar bahwa dirinya sedang dipandangi tanpa putus oleh sang bhekal.

Ni cewek kenapa makin hari makin beda aja ya, mukanya? pikir Benjamin. Dia jadi kelihatan can ....

"Kenapa nggak jujur aja?" celetuk Leda.

Benjamin berkedip dungu. Apa barusan gadis itu membaca pikirannya? Oh tidak.

"Gimana, gimana?" tanya Benjamin.

"Jujur aja sama Alif," balas Leda. "Kamu sama aku sama-sama pernah ngalamin 'nggak dijujurin' sama orang lain, kan? Gimana rasanya, nggak enak, kan? Lagian kebohongan itu cuma bikin masalah makin runyam. Jujurin aja, Ben. Ngobrol sama Alif."

Benjamin menghela napas. Apa yang dikatakan Leda memang tidak sepenuhnya salah, tapi ....

"Alif itu anaknya idealis banget, Lee, at the point dia jadi ngebatu sama pikirannya sendiri. Dia itu anak muda yang berbahaya. Siapa yang bisa jamin dia nggak akan marah besar karena sudah dibohongi sama orang macam saya? Bisa-bisa saya malah dikudeta."

"Orang macem kamu gimana maksudnya?" Leda menaikkan alis.

"Yah ... kamu tau lah, orang-orang yang dipikiran Alif itu ... kapitalis."

Leda menahan tawa sampai pipinya menggembung. Gadis itu buru-buru menggeleng.

"Kamu terlalu nethink sama Alif, Ben. Nggak separah itu lah! Pikiran kamu doang yang parno itu mah. Percaya sama aku deh, lebih baik jujur aja sekarang, dari pada kamu nggak bisa dapet laporan proyek kemarin, hayooo?"

Benjamin terpaku. Kali ini argumen Leda tepat mengenai sasaran.

Tanpa aba-aba, gadis itu berdiri dari kursinya.

"Eh, eh, kamu mau ke mana?" refleks Benjamin bertanya.

"Mau mandi. Habis ini aku temenin kamu ke posko KKN buat ngomong sama Alif, oke?"

🌟

Supra merah itu berhenti tepat di parkiran rumah posko KKN. Leda yang menyetir, tentu saja. Benjamin masih agak trauma.

"Assalamualaikum!" Leda menyuarakan salam begitu turun dari motor. Benjamin mengikuti tak jauh di belakangnya.

"Waalaikum sal ... em—Mas Ben?" Ami menjawab dan langsung terpaku seketika. Sepertinya sang wakil kordes itu sudah tau.

"Alif-nya ada, Mi?" tanya Leda langsung to the point.

Ami tampak bingung sejenak, namun akhirnya mahasiswi bertubuh sintal itu menganggukkan kepala juga. "Masuk, Mbak, Mas."

Leda dan Benjamin menuruti. Ini bukan kali pertama mereka duduk di ruang tamu posko KKN Universitas Damarwulan, bahkan bisa dibilang ini bisa jadi kali terakhir bagi mereka—bagi Benjamin. Namun rasa gugup yang menggumpal di ruang tamu itu begitu kentara, bersumber dari Benjamin semata, mengalahkan saat pertama kali lelaki itu berkunjung ke sini.

"Siapa, Mi ... oh, kalian."

Alif muncul dari ruang tengah tepat saat Ami hendak memanggilnya. Leda tersenyum ramah. Benjamin menelan ludah.

"Ada perlu apa?" tanya Alif tanpa duduk di kursi ruang tamu.

"Kami ke sini mau menjelaskan sesuatu, Lif." Leda membuka bicara.

Mata Alif langsung terpaku ke arah Benjamin. Leda mengikuti pandangannya.

Sang Cokro pun menghela napas.

"Alif, saya mau minta maaf ...."

🌟

Kalau kalian bertanya-tanya kenapa jujur itu begitu sulit, alasannya bisa jadi adalah karena kebohongan (baik sengaja maupun tidak) yang kalian ucapkan atau lakukan sudah terlanjur jauh, membuat realita jadi kabur akan benar-salahnya kata-kata, dan rumit luar biasa.

Sebenarnya, kejujuran adalah pelurus masalah paling jitu.

Tapi sialnya, jujur itu butuh nyali dan keberanian. Berani mengakui dan meng-undo kata-kata yang terucap. Berani mengakui bahwa kita telah salah bersikap. Dan berani menekan ego, merelakan diri jadi pihak yang 'salah' demi terkuaknya kebenaran.

Hari itu, Leda melihat manifestasi sebuah kejujuran yang duduk nyata di hadapannya: Benjamin.

Entah apa yang lebih membuat gadis itu kagum. Keberanian Benjamin untuk mengungkap semuanya di hadapan Alif dan teman-teman KKN-nya, atau cara lelaki itu menuturkan dirinya di hadapan mereka.

Benjamin tidak merendahkan lawan bicaranya, tidak denial dan merasa apa yang dilakukannya paling benar sedunia, dan tidak ragu-ragu untuk berkata ...

"Saya minta maaf sekali karena sudah tidak jujur pada kalian, Alif, Ami, Tatah, Rida, dan teman-teman semuanya."

Sulit dipercaya seorang Benjamin Cokro bisa mengatakan itu. Rasanya Leda ingin lompat dan memeluk Benjamin saat itu juga, namun gadis itu mati-matian menahan diri. Ini bukan momen yang pas.

"Jadi ... Mas Ben sama Mbak Leda nggak bener-bener bhekalan?" Perkataan Rida itu bersambut desahan dramatis oleh Tatah, yang selama ini tampak sekali pendukung setia kapal Ben-Leda.

"Nggak, Rid. Maaf," jawab Benjamin.

"Oh my gawddd, Beb, ciusan?! Jadi kamu selama ini cuma 'dipake' buat kepentingan Mas Ben ajah? YA AMPUN!" Tatah mulai merintih.

"Nggak gitu, lah, Tah. Aku nggak ngerasa dimanfaatin, kok. Seneng, malah, ada temen yang seru di Rumah Atas." Leda menjawab dengan senyum yang ditahan.

Melihat 'Beb' Leda yang sama sekali tak keberatan 'dimanfaatkan', kesedihan di wajah Tatah meluap sedikit demi sedikit. "Ya udah deh, Beb. Ai senang kalo Yu senang," ucap Tatah akhirnya.

Ringannya tensi antara Leda dan Tatah rupanya tak berlaku bagi Alif yang masih memandang sinis ke arah Benjamin. Setelah pengakuan dan permintaan maaf yang diucapkan lelaki itu sedari tadi, Alif belum mengatakan apa pun sama sekali.

"Lif?" panggil Benjamin. Lelaki itu merasa bahwa sang Kordes masih belum memaafkan secara tuntas.

Kini seisi ruangan menunggunya untuk memberikan respons. Alif berdeham.

"Saya hargai keberanian Mas Ben untuk datang kemari dan mengaku sama kita semua. Sejujurnya, dari kemarin saya dan Ami sudah ngelakuin background check tipis-tipis atas identitas Mas Ben yang sebenarnya." Alif melirik pada mahasiswi yang menjadi wakilnya itu. Ami tersenyum, kepalang basah.

"Googling sedikit langsung keluar semua, kok, Mas. Tinggal masukin keyword yang cocok aja: Benjamin Cokro," ucap Ami.

"Jadi, kalian sudah tau?!" Benjamin terkejut setengah mati.

"Ya." Alif menjawab tenang. Matanya masih terkunci pada sang Cokro. "Sekarang saya mau tanya. Apa motifmu, Mas Ben? Apa tujuanmu menarget desa ini?" lanjut pemuda itu.

"Kan saya sudah bilang, ini ide Eyang saya—"

"Maaf, saya nggak pernah percaya sama orang korporasi. Mereka licik dan hanya berpikir keuntungan materiil. Pasti ada tujuan lain dari Eyang-nya Mas Ben dengan mengirim Mas ke sini, pakai kedok misi pembangunan seperti ini."

"Alif!" tegur Ami.

Benjamin menghela napas. "Kamu boleh nggak percaya sama kami, Lif. Mungkin kamu punya keyakinan sendiri bahwa semua orang-orang korporasi itu tidak baik. Tapi saya minta satu: buka mata kamu, Alif. Buka hati kamu juga. Apakah menurut kamu, apa yang saya lakukan di sini itu demi keuntungan pribadi? Apakah semua proyek yang ada di negara ini merupakan hasil dari kongkalikong golongan atas dan sebuah bentuk konspirasi?

Saya tau kamu anak baik, Alif. Tujuan kamu baik. Cara pandang kamu itu sepenuhnya demi kebaikan. Tapi alangkah disayangkan kalau ada kesempatan yang terlewat hanya karena kamu keras kepala dan mudah curiga. Nggak selamanya orang korporasi itu penuh dengan agenda pribadi. Saya lihat kamu pintar, kritis, dan mempunyai potensi. Nggak menutup kemungkinan nanti di masa depan kamu bisa masuk ke dunia kami dan membuat perubahan di sana—perubahan yang baik."

Ucapan Benjamin barusak sontak membuat Alif terdiam. Pemuda itu tampak bagaikan baru saja tersiram air es. Kaku dan beku.

"Semoga perkataan Mas Ben benar," gumam pemuda itu akhirnya. "Dan saya juga berharap, Mas Ben versi yang saya kenal sekarang ini akan sama dengan Mas Ben di masa depan, ketika benar-benar memimpin induk perusahaan, biar Mas juga benar-benar membawa perubahan yang positif."

Kini giliran Benjamin yang terpaku. Beberapa detik menjadi hening, benar-benar beku, sampai akhirnya Alif mengulurkan tangan ke hadapan Benjamin sembari berkata dengan satu senyum singkat.

"Demi kebaikan bersama."

Benjamin balas tersenyum dan menyambut uluran tangan itu.

"Demi kebaikan bersama," ulangnya.

🌟

"HUAHHHH! LEGANYA!!" Leda ngulet dengan dua lengan terangkat ke udara, tepat setelah gadis itu menutup laptop yang tergeletak di meja ruang tamunya.

"Sudah?" Benjamin menanyakan hal yang sedari tadi Leda kerjakan—meng-copy laporan proker pembenaran jalan Benjamin dan Alif.

"Sudah!" Gadis itu mengacungkan jempolnya.

Langit Barat merona jingga. Sore sudah menyambut, laporan sudah dikebut (dan diamankan di cloud drive daring), serta kopi sudah diseruput.

Kelegaan yang sedari tadi disuarakan Leda juga bisa Benjamin rasakan, menjalar penuh melapangkan dadanya. Misinya di desa ini selesai sudah. Tuntas, begitu juga dengan kesalahpahamannya pada Alif dan kelompoknya. Ketegangan itu meluruh bagaikan awan yang disapu angin.

"Ben," panggil Leda.

Lelaki itu buru-buru menoleh. "Ya?"

"Kamu itu ... di sini cuma dua minggu, ya?" Leda bertanya hati-hati.

"Iya." Benjamin menjawab dengan nada getir.

"Berarti waktu kamu tinggal besok, dong." Leda mengembus napas.

"Hah? Besok banget? Kok nggak kerasa, ya ...." Benjamin menggaruk kepala yang tak gatal. Beruntung proyeknya sudah selesai.

"Hmh," gumam Leda. Gadis itu diam-diam mencuri pandang ke arah Benjamin. Rona panas menjalar di pipinya yang penuh. Sambil menghela napas, Leda mengumpulkan nyali.

"Ben, kamu ... mau camping lagi sama aku, nggak? Kita lihat Merkurius sama-sama."

Benjamin tersenyum hangat, dan dengan satu gerakan lurus, mencubit hidung Leda tanpa pikir panjang.

"Wouldn't miss it for the world. Kapan?"

Gadis itu melontarkan senyum yang terasa berbeda—kali ini Leda tampak lebih manis dari biasanya.

"Sekarang," jawabnya.

🌟

[1620 Words]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro