Hari 12 - Akhir Proyek

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

HARI penuntasan proyek Benjamin dimulai dengan pagi yang sedikit sendu.

Saat sarapan di Rumah Atas, Leda tampak sedikit lebih murung. Penjelasan dari sayunya pandangan gadis itu ada pada koper Pak Budi yang sudah dipak rapi dan siap angkat, menandakan pemiliknya harus pergi hari itu juga.

"Harus banget, ya, Ayah pergi? Kan baru bentar doang di sini ...." Leda menenggelamkan wajah dalam lipatan lengannya di atas meja makan.

Benjamin menonton drama pagi itu dengan sesapan air jeruk peras hangat.

"Ayah harus kerja, Leda. Bulan depan Ayah ke sini lagi, kok." Pak Budi melahap sarapan sambil sesekali melirik anak gadisnya yang sedang tantrum.

"Ayah janji?" Leda mengangkat wajahnya. Pandangannya lurus ke arah sang ayah, penuh harap.

"Iya. Janji."

Leda menghela napas. "Padahal Ayah sama Ben baru ketemu sebentar, belum akrab bener."

"Loh, kata siapa?" Pak Budi menyangkal. "Tanya saja sama Ben, dia sudah akrab sama Ayah atau belum?"

Dan pandangan Leda pun langsung beralih pada Benjamin, yang diam-diam meneguk air jeruknya terlalu lama.

"Ehm. Iya," aku Benjamin. "Saya sama ayah kamu sudah akrab, kok."

Kalimat itu diakhiri dengan suguhan senyum Benjamin yang entah kenapa belakangan ini terlihat lebih sering timbul.

Ternyata senyuman Benjamin menular. Rona bahagia itu merambat di wajah Leda. Kesedihan gadis itu luruh begitu saja.

🌟

Seperginya Pak Budi meninggalkan anak gadis semata wayang, matahari masih belum terlalu tinggi. Ini memberikan kesempatan pada Benjamin (yang juga ditemani Leda) untuk berangkat menuju lokasi proyek pembenahan jalan seperti janjinya pada Alif kemarin.

"Gimana kakinya, Mas? Sudah mendingan?" sambut Alif begitu sosok Benjamin tampak di lokasi proyek.

"Sudah bisa jalan, belum bisa lari. Dan pastinya, kapok nyoba-nyoba naik motor lagi." Benjamin menjawab pertanyaan Alif dengan lebih jenaka dari biasanya.

"Hmmm, begitu," respons pemuda itu tanpa tertawa sedikitpun. Benjamin hanya bisa menggaruk kepala. Ada apa gerangan dengan ketua kelompok KKN itu?

"Gimana proyeknya, Lif? Tepat seperti perkiraan kamu?" ucap Benjamin coba mencairkan suasana. Entah kenapa lelaki itu bisa merasakan ada gelagat aneh dari Alif pagi ini.

"Seperti yang bisa Mas Ben lihat sendiri ...." Alif berbalik menunjuk jalan utama Desa Pandalungan yang sudah mulai mulus sebagian.

"Wah, bagus. Boleh juga kerjamu ya, Alif," puji Benjamin.

Lelaki itu tampak puas sekaligus lega, sebab sesuai janji Alif padanya kemarin, progres proyek yang hari itu sudah berlangsung dari pagi tampak berjalan mulus dan sesuai rencana.

Tapi tampaknya pujian itu mental saja di telinga Alif. Pemuda itu lebih memilih menegur salah salah satu mahasiswa anggota kelompoknya yang merokok disaat orang-orang lain sibuk bekerja.

"Sori, Mas, Mbak. Lagi banyak pikiran dari kemarin, jadi nggak fokus." Alif meminta maaf begitu dia kembali ke sisi Benjamin dan Leda.

"Ooohhh gitu toh, pantes aja mukamu suram banget dari tadi," komentar Leda yang ternyata sedari tadi juga memperhatikan.

"Memangnya ada kendala apa, Lif? Saya lihat semuanya lancar-lancar begini," ucap Benjamin.

"Hmmm, ini Mas, saya sempat cekcok sama Ami, soalnya menurut dia kita nggak perlu ngebayar jasa bapak-bapak warga desa sini, tapi menurut saya nggak etis. Gimanapun, mereka itu kerja. Kasi dikit lah untuk ucapan terima kasih."

Benjamin mengangguk-angguk mendengar penjelasan Alif. Sepertinya masalah itu cukup pelik juga. Finansial bertabrakan dengan beban moral.

"Menurut Mas Ben, gimana?" Alif akhirnya bertanya.

"Saya setuju sama kamu, Lif. Namanya orang kerja, keluar tenaga, harus ada timbal baliknya. Saya ada di pihak kamu yang ngedukung kita kasih 'ucapan terima kasih' ke warga yang sudah membantu proyek ini."

"Nah!" Wajah Alif tampak mulai cerah. "Sekarang, ada lagi masalahnya ... jadi, saya nggak nyiapin dana buat itu. Ini juga sih yang bikin Ami kontra, katanya saya ingin membayar mereka pakai apa yang saya nggak punya. Ck."

Benjamin rasanya ingin tertawa. "Kalau itu biar saya yang urus deh, Lif."

"Loh, Mas Ben mau bayar mereka pakai apa? Uang pribadi?"

"Bisa dibilang begitu. Intinya, kamu beritahu saja berapa jumlah warga yang sudah membantu proyek ini, sekalian nominalnya berapa enaknya kira-kira. Dan juga, Leda ...." Benjamin menoleh ke arah gadis di sampingnya. "Kamu punya amplop, nggak?"

"Eh? Amplop? Nggak ada, kayaknya. Kita beli aja kali, ya?" jawab Leda. Benjamin mengacungkan jempol menanggapinya.

"Seriusan ini, Mas?" Alih-alih terdengar lega, nada suara Alif malah menunjukkan rasa curiga.

"Serius, Alif. Sudah, kamu nggak perlu mengkhawatirkan masalah ini lagi. Kita fokus sama penyelesaian proyek dan juga laporannya, untuk tugas kampus kamu dan juga ... laporan riset ke kantor saya."

Mendengar itu, Alif lantas menggumamkan kata 'oke' dan 'terima kasih' yang membuat Benjamin harus senyum terpaksa. Lelaki itu tak bisa menahan diri bahwa dia merasa, ada yang mencurigakan dari gerak-gerik Alif siang itu.

🌟

Suara azan asar sayup-sayup terdengar di kejauhan, bertepatan dengan Benjamin dan Alif yang berdiri bersama orang-orang yang sudah berjasa menuntaskan proyek pembenahan jalan ini; pekerja JNK, warga Pandalungan, dan beberapa mahasiswa KKN.

"Terima kasih, bapak-bapak, dan juga adik-adik mahasiswa, yang sudah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membantu proyek kami membenahi jalan utama Desa Pandalungan ini ...." Benjamin mengucapkan penutup di penghujung evaluasi hari itu.

"... untuk itu, izinkan kami mengungkapkan rasa terima kasih dengan sedikit ..." Aduh, Benjamin tidak tau kata yang tepat.

"—kompensasi," bisik Leda di telinga Benjamin.

"Kompensasi," ulang Benjamin.

Bersamaan dengan itu, Leda dan Ami—yang sudah luluh dan move on dari ketidaksetujuannya dengan ide Alif ini—mulai membagikan amplop putih yang sudah dipersiapkan sebelumnya, bersambut salaman dan ucapan terima kasih, pada warga desa, mahasiswa KKN, pekerja dari Jaya Nusa Karya, dan terakhir ke arah Pak Dayat dan Mbak Vivi, perwakilan dari perusahaan JNK tersebut.

"Loh, kita juga, Mas?" tanya Vineke tanpa menerima uluran amplop dari Leda.

"Iya, semua dapat," jawab Benjamin meyakinkan.

"Aduh, maaf, saya nggak bisa nerima. Kami nggak diperbolehkan nerima fee apapun selama kerja lapangan, Mas. Maaf ya." Vineke menolak halus.

"Loh, kok gitu, Mbak Vi?" tanya Leda tak mengerti.

"Perintah dari pusat langsung, Mbak Li. Galak bener itu kemarin, ada kontrol dari perusahaan induk, katanya kalau ada yang nerima dana aneh-aneh, bakal dapat masalah. Hihhh, nggak berani saya." Pak Dayat menyahuti dengan wajah bergidik ngeri.

"Perintah dari pusat?" Benjamin mulai curiga.

"Iya, Mas. Dari Ibu Brigita. Kapan hari dia netapin kebijakan baru, kantor jadi lebih ketat. Tapi yah ... lumayan sebanding sih, sama bonusnya. Menurut saya malah bagus lah begini, kita-kita jadi lebih disiplin." Vineke menjelaskan.

Mendengar nama sepupu barbarnya—Brigita—disebut, pipi Benjamin mendadak kaku karena meredam tawa. Dia setengah tak percaya kalau Gita bisa melakukan itu.

"Oke kalau begitu, nggak masalah." Benjamin memberi kode pada Leda untuk menurunkan uluran amplopnya. Gadis itu pun menurut.

"Kami terima kasih sekali lho, Mas, Mbak. Proyek ini adalah pekerjaan yang paling mulus dan menyenangkan selama kami terjun ke lapangan. Sayang sekali Mas Ben kemarin sempat kecelakaan dulu."

Vineke mengucapkan kata perpisahan bersambut tawa orang-orang di sekitarnya. Tak lama setelah itu, mereka semua saling berpamitan untuk meninggalkan diri.

Ada perasaan lega dan puas yang mengaliri dada Benjamin. Misi utamanya di desa ini tuntas sudah.

"Mas Ben, bisa saya ngobrol sebentar?"

Suara Alif mengalihkan perhatian Benjamin. Dengan satu anggukan, dua lelaki itu tergiring ke sisi lain jalan untuk berbicara empat mata.

"Ada apa, Alif?" Benjamin bertanya.

"Saya baru tau isi nominal tiap amplop yang Mas Ben bagikan barusan dari Ami. Maaf, tapi saya penasaran, itu uang kalau ditotal semuanya jumlahnya lumayan besar, Mas. Jutaan rupiah, kan? Kalau boleh tau, itu ... benar uang pribadi Mas Ben?"

Ah, ternyata ini. Kecurigaan Alif berakar pada ideologinya yang anti-money laundry itu.

Benjamin tersenyum meyakinkan. "Iya, benar. Itu uang pribadi saya, Alif. Bukan uang aneh-aneh, kok."

"Tapi, Mas ... ehm, maaf ya, kesannya saya jadi agak lancang begini. Cuma ... Mas Ben kan kerjanya masih freelance, ya? Apa nggak berat mengeluarkan nominal sebesar itu? Itu tadi ... bukan tabungan masa depan Mas Ben sama Mbak Leda, kan?" Alif mengucapkan setiap kata itu dengan hati-hati.

Entah Benjamin harus merasa geli atau terancam atas kecurigaan Alif, sebab dia tau pemuda ini adalah tipe mahasiswa yang kritis dan tak mudah dialihkan.

Sial. Kalau terus-terusan dipepet begini, identitas asli gue bisa kebongkar. Benjamin membatin.

"Itu, emm ... sebenarnya—"

"Sayang! Di sini toh kamu. Aku cariin dari tadi, loh! Jadi pulang nggak nih, kita?"

Leda memotong di saat yang pas, tepat ketika Benjamin sudah kehabisan stok kata untuk diucapkan pada Alif.

"Oh, eh, iya! Kita harus pulang sekarang, ya kan?" Benjamin berdeham. "Alif, maaf ya, obrolan kita bisa dilanjut besok-besok, kan? Saya ada urusan di rumah."

Raut wajar Alif terlihat semakin keruh, pandangan matanya menyipit lurus ke arah Benjamin, namun tak ayal pemuda itu mengangguk juga.

Benjamin bernapas lega ketika tubuhnya digiring Leda menjauh dari pusat badai dalam kepalanya—Alif.

Sialan, umpat Benjamin dalam hati. Tak disangkanya mahasiswa ketua KKN yang selama ini membantu proyeknya itu akan berbalik mengancam eksistensinya di desa ini.

🌟

[1406 Words]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro