Hari Benjo Nasional (2)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

BENJAMIN masih merasa gusar akan kepergian Saras dari mansion ini. 

Lelaki itu paling benci dengan ketidakadilan, terutama jika menyangkut orang-orang yang dia sayangi. Dan tentu saja, sebagai wanita berstatus pacar, Benjamin jelas menyayangi Saras.

Apa yang dilakukan papanya terhadap Saras tadi sangatlah tidak adil. Seharian ini, Saras telah pontang-panting berusaha memadamkan bara api media yang mengancam membakar Cokro Group. Tapi respons papa Benjamin malah menyebutnya sebagai oportunis? Hah? Oportunis dari mananya?

Benjamin menghela napas.

Saat ini dia dan Eyang, Papa, Pakde serta Omnya sedang duduk mengelilingi meja makan. Hidangan demi hidangan telah disajikan oleh koki pribadi yang disewa Eyang, menguarkan aroma sedap yang (seharusnya) menggugah selera—namun entah mengapa Benjamin tidak merasa lapar.

"Mana dua anakmu itu, Man? Kok terlambat begini?" Eyang Kakung melirik arloji emas yang melilit pergelangan tangannya.

Pakde Manu berdeham tak enak. "Sepurane (mohon maaf), Pak ... kebiasaan ini si Gita selalu umek dewe (ribet sendiri)."

Bersamaan dengan itu, pintu depan kayu gaharu terbuka lebar, diikuti suara langkah kaki bersambutan.

"HALOOO FAMILY~! Maaf ya aku datengnya rada telat, Mas Tian nih kalo nyetir kayak siput!"

Ah, nona muda Brigita Cokro telah tiba. Adik sepupu Benjamin itu baru saja datang dari Surabaya, kota di mana Gita sedang menjalankan kuliah strata dua.

"Plus tadi flight-ku delay parah! Masa landing di Soetta-nya molor dua jam. Ck."

Gita lanjut merepet sambil menyalimi Pak Niar, mencium pipi Om Moel, dan memeluk papanya sendiri—Pakde Manu.

"Kirain kejebak macet, Git," celetuk Benjamin sambil mengambil piring di tengah meja. Melihat tingkah laku Gita selalu sukses membuatnya kesal, dan lapar.

"Iya, tadinya juga ngira bakal gitu! That's why aku inisiatif nyewa HeliCity-nya Whitesky. Biar hemat waktu," kilah Gita sambil berjalan menuju Eyang Kakung.

Kombo salim, cium pipi, dan peluk-peluk manja dilancarkan adik sepupu Benjamin tersebut terhadap kakeknya. "Eyaaangg, sehat?" tanya Gita dengan nada manja.

"Sehat, Nduk. Gimana tadi, kamu jadi nyewa capung? Haha, pintar juga kamu! Sudah bisa kalkulasi waktu dan efektivitas transportasi. Mulai cocok jadi Chief wanita pertama di Cokro Group ini si genduk (anak gadis) sepertinya."

Mendengar Eyang Kakung memuji Gita sedemikian rupa, dada Ben mencelus.

Ketidakadilan kedua yang dialaminya hari ini, di hari ulang tahunnya, dan sepertinya sejak dulu kala juga: Eyang Kakung kerap kali lebih mengutamakan sepupu Benjamin, anak-anak Pakde Manu.

Padahal, Benjamin telah mengabdi sepanjang hidupnya pada keluarga ini. Lulus kuliah tepat waktu, mengambil jurusan Manajemen Bisnis sesuai permintaan papanya. Benjamin sampai-sampai rela menjadi intern di salah satu anak perusahaan Grup saat dia praktik lapangan kuliah S1.

Benjamin juga rela mengabdi tiga tahun setelah selesai studi S2-nya, fokus memanjat tangga karir di Cokro Group dengan adil dan sesuai skill, tanpa pernah menjabat sebagai salah satu Chief atau pimpinan divisi yang sah.

Belakangan ini saja, jabatan Chief Operation Officer berhasil diantonginya dengan susah payah—itu pun masih dalam status 'stand-in', pengganti.

Dan sekarang, Eyang Kakung dengan mudahnya menyebut-nyebut Gita sebagai calon Chief wanita pertama di Cokro Group? Semoga saja Eyang bercanda. 

"Nggak usah dipuji gitu deh, Eyang. Gita itu sebenernya sok ngide, dikira bisa turun dari heli di halaman rumah, padahal mah tetep harus landing di heliport, dan jatohnya malah jadi aku yang harus jemput dia di gedung HeliCity Whitesky di Pancoran."

Mas Tian, si sulung dari generasi keempat keluarga Cokro, sepupu Benjamin yang paling tua sekaligus kakak sulung Gita, menyeletuk saat mendudukkan dirinya di salah satu kursi ruang makan.

"Eh, Ben, selamat ulang tahun yak. Kado nyusul, oke? Gue lupa belom beli. He-he." Mas Tian berujar singkat ke arah Benjamin, yang dijawab dengan anggukan singkat pula.

Bagi Benjamin, Mas Tian adalah sulung yang sama sekali tidak memberikan teladan. Egois, kufur nikmat, dan sedikit durhaka pada keluarga. Bagaimana tidak? Tawaran jabatan tinggi Grup ditolaknya demi merintis usahanya sendiri. Tak bertanggung jawab, bukan?

"Mas Tian nggak ikhlas nih tadi jemput aku? Padahal mah mending, dari pada Mas jemput aku di Soetta, hayo!" Gita menyeletuk dengan nada sinis. Ah, kebiasaan Bastian dan Brigita bersaudara, hobi cekcok.

Sebelum Mas Tian sempat menyanggah, Gita sudah mengalihkan perhatiannya kembali pada sang kakek. "Eyang, nanti di HQ kita bikinin heliport dong, ya? Biar bisa cepet ke mana-mana, nggak harus lewat jalur darat lagi. Aku tadi udah ngobrol sama owner-nya PT Whitesky, jadi kalo kita mau punya heli capung juga bisa—"

"Gita," potong Pakde Manu, menahan cerocosan kalimat putrinya.

"Hehe ... sori, Yah." Gita tersenyum tanpa dosa. Perhatiannya kini teralih pada Benjamin.

"O iya, ada yang ultah ya? Cie si Benjo makin tua! Pibesdey ya!" ucap Gita kemudian.

"Thanks," jawab Benjamin singkat. Yang begini dibilang calon Chief wanita? Kocak.

"Sudah-sudah, ayo kita makan dulu," saran Om Moel sambil mulai menyendok nasi.

Benjamin setuju, dia menyusul mengambil nasi. Semakin lama satu ruangan dengan sepupunya (terutama Gita), semakin Benjamin merasa ingin mengunyah sesuatu.

Perbincangan di meja makan kediaman keluarga Cokro malam itu menjadi cair, seiring makan malam bersama dijalankan tanpa ada gangguan berarti.

Eyang menanyakan perkembangan usaha Mas Tian yang masih berstatus CV—dari sini Benjamin bisa menyimpulkan siapa yang diam-diam menjadi investor CV Kurnia Pandora, perusahaan rintisan Mas Tian tersebut; yang tak lain tak bukan adalah paman mereka sendiri, Om Moel.

Gita juga ditanyai tentang studinya. Bagaimana tesismu? Sudah sampai mana penelitianmu? Sudah bab berapa? Dan semua dijawab Gita dengan dengkusan napas tak rela. 'Ganti topik lain bisa nggak sih? Kayak tanyain kapan Mas Tian nikah, gitu??' elaknya.

Benjamin pun turut kecipratan menjadi topik utama pembahasan. Bagaimana, Ben, lima bulan menjadi COO? Berat? Bisa? Sanggup? Ah, sayang sekali ya COO terdahulu—Pak Theo—harus meninggal di usia produktif, padahal kinerjanya lumayan bagus. Innalillah, what a loss.

"Ah, udah takdir kali orang itu meninggal. Sorry for saying this, tapi aku rada nggak respek sama eks-COO Pak Theo-Theo siapalah itu. Aku kenal sama istrinya, dia agen properti langgananku. Katanya sering KDRT loh, Pak Theo itu!" Gita menghunus steak-nya dengan garpu, penuh amarah.

"Husss, Gita! Jangan omongin kejelekan orang yang sudah meninggal!" Pakde Manu lagi-lagi harus menahan mulut loss putrinya.

Gita menjawab 'iya-iya, maaf' dengan nada kesal. Nona muda itu mengunyah steak demi melampiaskan kekesalan tersebut.

Hingga akhirnya, pada hidangan pencuci mulut, obrolan meja makan ini semakin menjadi serius saat Pakde Manu yang menjabat sebagai CEO sekaligus tangan kanan Eyang di Grup membuka suara.

"Sebenarnya, saya nggak tau kalau ini momen yang pas atau tidak, tapi ... yah, mumpung kita lagi pada ngumpul, jadi saya mau umumkan sesuatu."

Benjamin baru setengah mengiris creme brulee-nya, Mas Tian menghentikan gerak-geriknya, sementara Gita cuek melahap potongan cheese cake di piringnya.

"Kenapa, Yah?" tanya Mas Tian yang kini telah menelungkupkan garpunya. Benjamin ikut memperhatikan.

"Jadi, Ayah berencana akan pensiun dini akhir tahun ini, Tian. Sebenarnya sudah dibicarakan dengan Eyangmu juga," jawab Pakde Manu dengan nada tenang.

"Apa?! Pakde mau pensiun? Kenapa? Terus gimana sama jabatan Pakde sekarang?" Benjamin tak dapat menahan suaranya.

"Satu-satu dong, Ben. Yah intinya, mumpung kita semua di sini, jadi bisa dibicarakan secara langsung. Kamu nggak keberatan toh, kalau acara makan malam di hari ulang tahunmu ini Pakde sandera sebentar?" Pakde Manu menghirup kopi hangatnya yang baru saja disajikan oleh ART Eyang.

"Nggak masalah sih, Pakde, tapi ...." Benjamin melirik ke arah papanya, Pak Niar, yang menganggukkan kepala. Sepertinya Pak Niar juga sudah tahu masalah ini.

Pandangan Benjamin terarah ke Om Moel, yang juga terlihat tenang, lalu terakhir berhenti di Eyangnya. Sungguh, bapak-bapak penguasa Cokro Group ini sepertinya sudah tahu akan berita ini, mereka tak tampak terkejut sama sekali.

"Sudah waktunya kita membicarakan masa depan Grup ... terutama tentang kalian, cucu-cucu Eyang, calon penerus masa depan." Eyang Kakung berucap sambil memandangi Benjamin, Gita, dan Mas Tian bergantian.

"Tapi kan cucu Eyang masih ada satu lagi—Lisa. Dia gimana, hayo? Masa dia bukan cucu Eyang juga?" protes Gita sambil mengunyah cheesecake-nya.

"HAHAHA, Gita, Gita ... kamu tau sendiri Lisa ndak akan mau terjun di dunia korporasi. Sudahlah, jangan libatkan dia. Lisa biar jadi urusan Om saja. Ndak apa-apa." Om Moel menengahi, menjalankan peran sebagai ayah dari Lisa, anak semata wayangnya sekaligus sepupu bungsu Benjamin.

"Oke," ucap Gita sambil mengambil potongan kue tiramisu dari tengah meja. Rupanya nona muda ini masih lapar.

"Nah, sudah ya? Sekarang, kita bisa mulai ... jadi untuk jabatan CEO, otomatis akan kosong ketika Pakde Manu mundur pada akhir tahun ini. Sekarang Eyang mau tanya, Tian, apa kamu tetap ingin menjalankan usahamu sendiri? Tidak mau ikut andil dalam Grup keluarga kita?" Eyang Kakung memusatkan perhatiannya pada Mas Tian.

Dada Benjamin mencelus. Kenapa Mas Tian dulu yang harus ditanya? Padahal jelas-jelas ....

"Ngapunten (mohon ijin), Eyang. Tian tetap akan fokus sama Pandora, dan keputusan Tian masih tetap sama, Tian ingin berdikari." Mas Tian menjawab dengan sopan dan tegas, membuat Eyang Kakung mengangguk paham.

"Baik. Kalau Gita ... gimana, Nduk? Studimu sebentar lagi selesai, apa kamu ndak mau menggantikan jabatan ayahmu?" Eyang kini menghadap Gita. Benjamin mengepalkan tangan. Kenapa malah Gita?!

"Hnnnggg, CEO ya, Eyang? Aduuhhh ... kalo itu sih—"

"Mohon maaf, saya harus menyela." Tiba-tiba Pak Niar angkat bicara.

"Kenapa kita masih harus membahas hal ini? Padahal sudah jelas-jelas terlihat di depan mata, siapa dari cucu-cucu Eyang ini yang paling loyal, berpengalaman, becus, dan qualified dalam mengurus Grup."

Pandangan Pak Niar tertuju pada Benjamin, anaknya, yang kini mati kutu. Pun diikuti beberapa pasang mata orang-orang di sekeliling meja, yang kini tertuju pada Benjamin semata.

Gue emang ngarep keadilan, tapi bukan gini juga, Pa! jerit Benjamin dalam hati.

"Maksud kamu si Ben, Niar?" tanya Eyang.

"Lho, gimana toh Yar, bukannya tadi kamu sendiri yang mempertanyakan kinerja anakmu? Sampai bilang mau dijadikan boneka oleh perempuan oportunis segala?" Pakde Manu menanggapi.

Pak Niar mengangguk tegas sebelum menjawab, "Ya, memang saya akui Benjamin masih banyak kekurangan. Tapi coba kita lihat kembali rekam jejaknya, Mas Manu, coba—siapa yang selama ini paling manut (nurut) dan setia sama keluarga? Siapa yang semasa kuliahnya rela magang di anak PT Grup? Dan siapa, yang jelas-jelas nyata sekarang ini, mengabdi untuk Grup? Tiga tahun lebih loh, Benjamin telah mendedikasikan diri dan menunjukkan keseriusannya pada Cokro Group, kenapa sekarang malah tidak dipertimbangkan sama sekali?"

Perkataan Pak Niar membuat seisi meja terdiam. Benjamin merasa syok. Hening menyergap beberapa detik, sampai kemudian dipecahkan oleh dehaman Eyang Kakung.

"Ya ... apa yang dikatakan Niar itu ada benarnya juga," ucap Eyang Kakung sambil memusatkan perhatian pada Benjamin. "Sekarang Eyang tanya, Ben, apa kamu ada keinginan untuk menjadi CEO?"

Benjamin mengerjapkan mata. Nalarnya bekerja cepat merangkai logika.

CEO? batinnya. Itu jabatan yang selalu Papa gadang-gadang untuk jadi end goal, tujuan akhir gue. Kalau gue jadi CEO, otomatis masa depan perusahaan udah terjamin ada di pundak gue. Gue bakal jadi otak di balik semua keputusan bisnis yang mahapenting, dan semisal—amit-amit—Eyang meninggal, maka CEO-lah yang akan dirujuk menjadi kandidat utama sebagai Direktur Pimpinan Grup. Wow, this is big.

"Bagaimana, Ben?" tanya Eyang, meleburkan kereta pikiran Benjamin saat itu juga.

Benjamin melirik papanya, dan dengan satu pandangan saja, dia yakin dirinya akan dicoret dari KK kalau sampai menolak tawaran ini. 

"Iya, Eyang ... tentu saja, saya bersedia," jawab Benjamin mantap. Ini adalah momen penting dalam hidupnya, dan dalam sepersekian detik, terbersit perasaan lega dan bangga saat melihat sang papa mengangguk setuju.

"Oke," ucap Eyang dengan ringan. "Tapi ada syaratnya."

Baik Benjamin, Gita, dan Mas Tian langsung memusatkan perhatiannya pada Eyang.

"Moel, tukang pijat yang dulu ngabdi sama keluargamu itu, yang asal Ndalung itu, apa masih hidup orangnya?" Eyang tiba-tiba bertanya pada Om Moel.

"E-ehh, Mbah Tum toh, Pak? Masih, masih. Sehat wal afiat, masih mijit juga. Dia sekarang tinggal di Pandalungan desa sama cicit perempuannya," jawab Om Moel.

"Hmmm ... cicit? Berarti anaknya temanmu itu, ya? Yang kuliah di ITB dulu?" lanjut Eyang, membuat cucu-cucunya semakin gagal paham.

Lah kok malah ngomongin ini? Ini apa sih?

"Nggih (iya), Pak. Yang sempat kerja jadi peneliti di Bosscha juga. Eh, tapi kenapa nggih Pak, kok menanyakan mereka?" Om Moel menggaruk kepalanya, bingung.

"Saya mau minta tolong, nitip Benjamin ke mereka selama dua minggu, kira-kira bisa?" Eyang bertanya dengan ringannya, mengindahkan Benjamin yang kini sudah melongo tak tertahan. What the—gue mau diapain?!

"Oh, eh ... maksudnya gimana nggih, Pak?" tanya Om Moel yang semakin bingung.

"Iya, Eyang ... ini Eyang mau saya ngapain sih, sebenernya?" Benjamin yang merasa ketinggalan tak kalah menyuarakan kebingungan.

Eyang Kakung tersenyum tipis sambil memandang Benjamin lamat-lamat.

"Eyang ingin kamu retret selama dua minggu di Desa Pandalungan."

"M-maksud Eyang?" Benjamin masih gagal paham.

"Ben, sebelum kamu dilantik menjadi CEO, Eyang ingin kamu memanfaatkan waktumu yang singkat di sana; belajar, mengabdi pada desa, hidup berdampingan dengan masyarakat. Eyang juga ingin kamu membangun sesuatu—membenahi, memperbaiki, dan memperbarui. Apa kamu sanggup, Le?"

Retret? Dua minggu? Terus gimana sama kerjaan gue? Tanggung jawab gue sebagai COO? Siapa yang bakal handle itu semua? Tapi ... dua minggu bertahan untuk dapetin jabatan impian, itu kesempatan emas yang nggak akan datang dua kali. Jadi COO aja gue kudu ngabdi tiga tahun, ini dua minggu bakal diangkat jadi CEO?

"Saya sanggup, Eyang," jawab Ben pasti.

"Oke, bagus." Eyang mengangguk puas, lalu pandangannya beralih pada Gita.

"Nduk, selama Ben retret ke Pandalungan, kamu yang akan menggantikan posisi dia sebagai COO sementara, ya? Anggap saja masa probation sekaligus proses kamu mengenali alur kinerja Grup."

"Eeee anu, emmmm itu, COO yaa? Anu ...." Gita mulai berkelit seperti biasa.

"Ayolah, Gita, mana tanggung jawabmu sebagai seorang Cokro? Masa kamu tega, nggak ada anak-anak Ayah yang masuk di Grup induk perusahaan. Mas Tian sudah nggak minat, kamu juga selalu mangkir. Ahhh ... apa salah Ayah sama kalian? Kok anak-anak Ayah nggak ada yang mau berbakti begini?" Pakde Manu mulai berorasi, menyentil sisi sentimentil Gita dan Mas Tian—yang tampak sedikit tersindir.

"Bu-bukan gitu, Yah! Maksudku, aku kan masih garap tesis, masih banyak revisi, terus—"

"Tuh kan, alasan lagi. Ah, kecewa deh Ayah. Patah hati nih ...." Pakde Manu memotong alibi Gita sambil memasang wajah sedih.

"Iiihh Ayah! Iya, iya, aku mau deh! Tapi Eyang, start-nya habis tutup kuartal satu ini aja, gimana? Aku masih harus ngurus banyak banget revisi tesis sama jurnal. A fresh new start of kuartal dua. Ya, ya?" Gita mengajukan negosiasi.

"Nunggu kuartal baru? Loh, bukannya wisuda lo akhir Februari, Git?" Benjamin bersuara. "Lama amat gapnya. Ganti kuartal kan akhir Maret."

"Nah iya, akal-akalan doang itu, nunggu Maret atau April biar bisa main-main dulu kan kamu Git, sehabis wisuda?" Kini Mas Tian menanggapi.

Melihat duo abang dan sepupunya kompak memojokkan, Gita menggebrak meja.

"EMANG KALO IYA, KENAPA? MASALAH BUAT KALIAN?! LAGIAN KAN AYAH PENSIUNNYA MASIH AKHIR TAHUN, JADI NGGAK ADA URGENSI HARUS BURU-BURU!!!" Gita menjawab dengan nada tinggi.

Mas Tian sontak terlihat kaget dan malu akan kelakuan adiknya itu, sementara Benjamin memijit pelipis, memusingkan nasib divisi operasi jika dipimpin COO macam begini.

"Sudah, sudah. Kok cucu-cucu Eyang hobi sekali bertengkar, sih?" Eyang Kakung menengahi. "Kalau memang rencana ini baiknya dilaksanakan setelah Gita selesai studi, maka ya sudah, kita jalankan pada bulan April saja. Nggak masalah, toh?"

Gita kembali duduk sambil mendengkus. Ben mengangguk saja, sementara Eyang siap melanjutkan.

"Bisa dikondisikan, Moel?" tanya Eyang pada Om Moel yang sedang meneguk isi cangkirnya.

"Insyaallah, Pak." Om Moel mengangguk paham.

"Nah, oke fix kalau begitu. Ini sudah jadi keputusan yang merupakan win-win di berbagai pihak; Manu, kamu bisa pensiun dengan tenang. Gita, kamu bisa mulai belajar menjadi bagian Grup. Dan Ben, kamu bisa mendapatkan jabatan yang pantas atas usahamu selama ini." Eyang Kakung menutup pembahasan meja makan itu dengan suatu kesimpulan final.

🌟

Benjamin menggenggam kunci mobilnya, bersiap pergi meninggalkan mansion Eyang setelah tuntas agenda makan malam keluarga. Benjamin berencana untuk kembali ke apartemen pribadinya, saat langkah kakinya terhenti karena sebuah panggilan nyaring diikuti derapan suara kaki berlari.

"Ben, Benjo!" Gita menyusul Benjamin yang baru saja menginjak teras depan.

"Ini. Sori tadi aku teriak-teriak di meja makan." Gita menyerahkan sebuah kotak kecil, berbentuk segi panjang, tak sempat dibungkus dan masih menampilkan logo Tom Ford. Sebuah sticky note kecil bertuliskan 'HBD Benjo Jelek!' tertempel di sana.

"Apa ini?" tanya Benjamin sambil membuka kotak itu. Ternyata isinya adalah sebuah dasi berbahan sutra dengan pola gambaran uang seratus ribu rupiah berwarna merah. Benjamin sontak mengembuskan tawa.

"Thanks, Git," ucap Benjamin sambil mengacak rambut pendek adik sepupunya itu.

Beberapa menit setelah mengucapkan selamat tinggal pada Gita, Benjamin kini mengendarai mobilnya menembus jalanan ibu kota. Sambil mengemudi, otaknya mengulas balik kejadian hari ini, berkesimpulan betapa sebenarnya dia beruntung mempunyai keluarga yang ternyata peduli.

Sayang kendalanya satu, Saras. Benjamin masih gamang ketika mengingat ketidakadilan yang diterima pacarnya itu. Dia berniat untuk menelepon Saras setibanya di apartemen. Pada hari yang baik ini, Benjamin ingin menutup semuanya dengan baik. Sebuah percakapan menenangkan dia rasa akan cukup.

Mobil Benjamin melaju mulus memasuki parkiran basement. Lelaki itu lantas berjalan memasuki elevator, menekan angka lantai 14, menuju unitnya.

Ponsel sudah siap di telinga, dengan panggilan menuju nomor Saras, saat Benjamin membuka pintu unitnya. Betapa terkejutnya dia mendapati Saras ternyata sudah berdiri di tengah ruang tamunya, dengan membawa kue black forest mini berhias lilin angka 26 di atasnya.

"Saras?" tanya Benjamin kaget sekaligus bingung, namun tak ayal, perasaan senang dan lega mengaliri suaranya.

"Hai, sorry for breaking in, tapi ... aku ngerasa bersalah tadi, tiba-tiba pergi waktu makan malam di rumah keluargamu. Aku harap ulang tahunmu jangan sampe rusak karena tantrumku itu. Maaf ya, Ben."

Saras menjelaskan dengan senyum tipis dipenuhi rasa bersalah. Matanya masih sedikit sembab akibat menangis, membuat Benjamin dengan sigap mengambil kue dari tangan Saras, menaruhnya di meja, dan memeluk wanita itu.

"I'm glad you're here," lirih Benjamin sambil mengeratkan pelukannya. Saras yang sempat beberapa detik terpaku, kini balas mendekap lelaki itu.

"Aku beruntung sekali punya kamu," lanjut Benjamin dengan kesungguhan di nadanya.

Hangat, itulah yang dirasakan Benjamin menjalar dari pelukan Saras sekarang. Tubuhnya, hatinya, dan jiwanya—semua hangat.

Betapa sempurnanya hidup Benjamin Cokro saat ini.

🌟

[2802 Words]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro