Adendum : Orang Ketiga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lantas mengapa ku masih menaruh hati
Padahal kutahu kau 'tlah terikat janji

Keliru ataukah bukan tak tahu
Lupakanmu tapi hati tak mau

🌟

PERSELINGKUHAN. Sebuah konsep yang kompleks.

Apa sih, alasan orang berselingkuh? Jawaban simpel dan klisenya ya satu: karena cinta.

Cinta yang sudah padam kemudian jadi membosankan. Cinta yang butuh lebih dari apa yang pasangan bisa kasih. Cinta yang tidak cukup kuat untuk mengikat komitmen. Cinta yang tamak. Cinta yang tak bersyukur.

Lantas bagaimana dengan cinta yang terlambat—perpaduan dari situasi, kondisi, dan timing yang tak tepat?

Ah ... intinya, rumit!

🌟

Tuuutt ... tuttt ....

Hati Saras sakit. Tubuhnya letih. Harga dirinya luka. Kejadian di mansion keluarga Cokro sukses menguras air matanya. Kini, wanita itu sedang terisak di dalam mobil, menggenggam telepon di sisi wajah cantiknya.

Saat rapuh dan hancur seperti ini, di benak Saras selalu timbul satu nama. Satu orang yang selalu ada.

Tuutt ... tuu—klik.

"Halo?" 

Saras menggigit bibir, menahan isakan.

"H-halo ... Petra?" Suara sumbang Saras mengudara.

"Ras? Lo nangis? What happened?? Lo di mana sekarang? Gue samperin. Share loc buru!"

🌟

Rumit.

Itulah yang dikemeluti pikiran Petra sekarang. Rumit. Serumit lalu lintas Jakarta yang ditelusurinya malam ini, mulai dari Tebet hingga Gandaria City, hanya demi mencari seonggok kue ulang tahun black forest permintaan Saras.

Dan ya, semua kerumitan ini berpusat pada wanita itu—Griselda Saraswati.

Sejak bertemu Saras, hati Petra menjadi rumit.

Yang kenal Saras duluan itu Petra. Yang suka duluan, yang ngincer duluan, juga Petra. 

Siapa coba, yang tidak jatuh cinta? Pada wanita berparas titisan dewi, otak jernih dan dedikasi tinggi, selain fisiknya menyejukkan mata, juga perangainya mendamaikan jiwa.

Salahkan sikap Petra yang terlalu besar mulut mengelu-elukan Saras di depan sahabatnya, membuat sobat bangsat itu—Benjamin—jadi tertarik.

Benjamin yang maha lebih; lebih tampan, lebih kaya, lebih sukses, dan lebih karismatik, tentu telak mengantongi kemenangan bahkan sebelum Petra sempat melancarkan pendekatan.

Ternyata semboyan 'seorang Cokro selalu mendapat apa yang mereka mau' itu berlaku nggak cuma di ranah bisnis, tapi juga di kehidupan romansa. Sialan.

Demikian, Petra bukanlah manusia bangsat yang bisa dengan ringannya berkhianat. Dia sahabat loyal Ben dari masa balita. Tidak sebanding jika merusak ini semua dengan embel-embel 'cinta'. Setidaknya, begitulah titah otak waras Petra.

Petra belajar untuk lega dan legowo, mendukung hubungan Benjamin dan Saras yang memang dirasa sepadan—lelaki hebat bersanding dengan wanita yang hebat.

Benjamin yang maha lebih itu bisa mendapatkan wanita mana saja yang dia mau, sedari dulu. Petra tau Saras bukan pacar pertama Ben, pun Petra yakin Saras tak akan menjadi pacar terakhir Ben. Asumsi inilah yang membuat Petra bertahan menjadi wingman, berharap masih ada kesempatan ketika Ben dan Saras putus, kelak di masa depan.

Tapi faktanya, setahun telah berlalu dengan status Saras yang sah menjadi pacar ter-awet seorang Benjamin Cokro.

Dan Petra, yang diam-diam terus memendam rasa, hanya bisa mencitai Saras di balik layar. Yang bisa Petra lakukan hanyalah bertahan untuk selalu ada—baik bagi Ben dan juga Saras, sebagai sosok sahabat yang sigap membantu setiap saat.

Lantas, adakah batasan tegas antara interaksi lawan jenis yang berlabelkan 'sahabat' itu? Dengan status teman pacar dan pacar teman itu? Yang selalu ada setiap dibutuhkan itu?

Apakah sekadar sentuhan tangan? Berjabat tangan, menarik lengan, atau bergenggaman? Karena Saras sering melakukan itu. Petra sampai hafal lekukan jemari sang titisan dewi, rasa cubitan di lengan dan sentilan di dahi.

Ataukah bersandar di bahu, merangkul, dan berpelukan? Ah, ini juga kerap kali Saras  luapkan pada Petra—saat senang, girang, excited, dan bercanda.

Bagaimana dengan ciuman? Di bibir? Oke, yang ini pasti sudah melewati batas. Sebuah ciuman antara Saras dan Petra akan membuat hubungan mereka menjadi pelik dan rumit.

Sialnya, rumit itu menjadi kenyataan ketika dua bulan lalu, pada sebuah afterparty, di mana Saras dan Benjamin bertengkar hebat—di situlah Petra ada. Dia selalu ada.

Saras yang kala itu menenggak alkohol demi melupakan pertengkarannya, berubah menjadi wanita yang agak berbeda; lebih berani, lebih jujur, dan lebih ngawur. Titisan dewi itu menyeletuk semi meracau, "Ben itu manusia paling arogan dan egois yang pernah gue pacarin. Sialan. Apa gue salah milih cowok ya, Tra?"

Petra yang hadir karena khawatir, sigap membopong tubuh titisan dewi yang mulai gontai.

Saras memandang sosok Petra dengan kerlip mata berbeda. Wanita itu baru sadar, jika saat itu Petra-lah yang selalu ada, tidak pernah alpa.

"Tra ... ini mata gue yang siwer, atau muka lo kalo diliat-liat tuh manis juga ya, ternyata? Lo itu baik banget pula."

Petra membeku saat itu.

"Argh, sialan! Petra! Kenapa coba gue baru kenal deket sama lo sekarang, hah?! Kemana aja lo selama ini?? Coba aja gue kenal lo duluan sebelum sama Ben ... kayaknya gue bakal hepi jadian sama lo."

Kata-kata Saras bagaikan godam palu yang menghantam kepala Petra, membuat akal sehatnya ngadat, dan seketika pula dia menjadi bangsat. Petra mencium Saras menit itu juga—di bibir, tanpa aba-aba—dan sialnya lagi, Saras membalas ciuman Petra. Sepertinya perempuan itu bersungguh-sungguh atas kalimat yang keluar dari mulut mabuknya.

Petra bersumpah demi hidupnya, bahwa dia mengira hubungannya dengan Saras akan menjadi kaku sejak malam itu. Bagaimana tidak? Dia jelas-jelas telah melewati batas.

Namun Saras bersikap biasa saja, seakan tak terjadi apa-apa. Petra tau, alkohol tidak membuat orang amnesia. Mengabaikan kejadian itu sepenuhnya adalah pilihan Saras.

Entah ini mukjizat atau bencana, tapi yang jelas sikap Saras mulai berubah terhadap Petra. Layaknya tau sama tau jika mereka saling memendam rasa, titisan dewi itu menjadi lebih lembut, kebih manis, dan lebih sering tersenyum pada sahabat pacarnya.

Lebih-lebih itu berlanjut menjadi lebih seringnya sentuhan di tangan—sekadar mencubit punggung tangan Petra karena lawakan garing yang mengiringi tawa, cubitan gemas di pipi, telinga, hingga lama kelamaan sentuhan itu berubah padu, menjadi genggaman. Dan ciuman—yang kedua, ketiga, dan kelima. Terlepas dari itu semua, Saras paling senang dengan sikap Petra yang selalu ada, tak pernah alpa. 

Perlahan mereka sadari, perasaan yang terkubur realita itu makin hari semakin menjadi nyata.

Kini, wajah kalut Petra sedang tertekuk. Kacamatanya memantulkan lampu merah dari mobil di depan, sementara dia menggenggam roda kemudi, berkutat dengan macetnya lalu lintas. Sekotak kue black forest duduk manis di kursi sampingnya.

Petang tadi, Saras menangis dalam sambungan telepon—mengadu bagaimana ayah Benjamin membayar ketulusan dan usaha Saras dengan torehan kalimat yang menyakitkan hati—Petra selalu menjadi yang terdepan dalam menawarkan pundak penampung air mata, namun wanita itu malah meminta, di sela isak tangisnya, "Gue mau nunggu Ben di apartemennya aja, Tra. Gue ... bisa minta tolong sama lo, ya? Tolong cariin black forest kesukaan Ben. Please, ya, Tra?"

Miris. Saat ulang tahun Saras, Benjamin tidak pernah ingat. Petra-lah yang selalu mengirim bunga, atas nama sahabatnya itu, ke kantor Saras. Petra tau apa yang paling Saras suka: sebuket mawar merah dengan taburan baby's breath putih. Ah, atau mawar saja sudah cukup. Saras paling suka bunga mawar.

Kini, di tengah derita, Saras masih saja memilih sang kekasih yang maha-maha. Benjamin telah memenangkan pertarungan yang bahkan dia sendiri tidak tau ada. Dan Petra, tetap menjadi bayang-bayang di balik layar, selalu berusaha untuk ada—tak pernah alpa.

Demikian, Petra sadar, dan dia yakin Saras pun sadar, bahwa mereka berdua adalah manusia paling bangsat sedunia. Dan sialnya, mereka benar-benar sama-sama saling cinta. Petra menemukan damai di pelukan Saras, dan Saras menemukan rumah di kehangatan Petra.

Namun mereka juga tau, Benjamin Cokro terlalu berharga untuk hilang dari hidup mereka. Petra masih butuh pekerjaannya, dan Saras masih ingin memanjat tangga sosialnya.

Jadi, di sinilah mereka sekarang; mengkhianati hati, mengubur keinginan untuk bersama, demi menjaga Benjamin tetap utuh sebagai pacar dan sahabat—aman dan nyaman dalam ketidaktahuan.

🌟

[1162 Words]



a / n

Selamat ulang tahun, Benjamin Cokro! Hehehe.
Mana ini yang dari kemaren bilang hidupnya si Benjo sempurna-sempurna aja? Bahagia kah dia? XD

.
.

O iya, di bab ini, Author ngasi banyak banget clue judul lagu yang jadi inspirasi sekaligus nemenin Author ngetik + ngeramu chemistri Petra-Saras.

Sedikit spoiler aja, nanti ketika cerita tamat, Author bakal ngasi kalian Playlist lagu-lagu yang udah nemenin proses pembuatan "Konstelasi" ini. Uwu <3

For now, beberapa lagu yang muncul di bab ini adalah :

Juicy Luicy — "Di Balik Layar"
Juicy Luicy — "Lantas" (ada di mulmed, ter-luv ini nyess-nya :')
Juicy Luicy — "Mawar Jingga"


Iya beb, lagu-lagunya Juicy Luicy semua ini. Habis nyesek-nyesek sih lagunyaaa T^T
Kalian ada yang dengerin juga ngga? Hehe.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro