Hari H - Persiapan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

JAKARTA, pertengahan April 2018.

Apartemen Benjamin lebih ramai dari biasanya. Ada Gita, Saras dan Petra yang turut hadir, sibuk berkutat dengan berbagai hal secara bersamaan.

"Pokoknya aku nggak mau tau ya, Benjo! No phone, no laptop, no gadget and wi-fi!" Gita merebut ponsel Benjamin yang sedang digenggamnya. Lelaki itu langsung berdecak, kesal.

"Gue lagi balesin email-nya ketua HR loh, Git."

"Udah, it's okay, aku yang bakal bales semuanya. Mulai sekarang, ini aku yang pegang." Gita menaruh ponsel Benjamin ke dalam tasnya. "Intinya, Eyang mau nggak ada distraksi sama sekali selama kamu di sana. Which is—no work! Dan kalau bisa juga, no outside world! Gak usah pikirin harga saham, gak usah mikir laporan lapangan, gak usah kontakan juga sama pacar—sorry Ras, kamu ngerti kan? Pokoknya, dua minggu ini kamu harus pure mikirin Pandalungan, Benjo!"

Benjamin agak gondok mendengar adik sepupunya yang super bossy itu. Baru dapat gelar magister saja sudah belagu. Terlebih lagi, Ben sebenarnya tidak suka cara Gita memanggil namanya yang loss saja, Ben atau malah Benjo, tanpa embel-embel 'Mas' layaknya seorang adik yang sopan. Kesannya kurang respek, gitu.

Tapi ... ah, ini kan Gita. Respek tidak respek, sopan tidak sopan, tak ada bedanya buat dia. Terobos aja semua!

"Oke, jadi gue nggak boleh pegang teknologi sama sekali nih, ceritanya? Bener-bener survive di alam liar nih?" Benjamin pasrah terhadap keadaan. Toh hanya dua minggu, 'kan?

"Nah! Itu dia Ben, makanya gue udah siapin ini! Nih, lo harus bawa ini," ucap Petra sambil menyerahkan ransel gunung pada sobatnya itu. "Di dalem situ udah ada survival kit mulai dari ransum—makanan tentara, pisau serba guna, ada P3K, kompas, senter, dan GPS."

Benjamin membuka ransel tersebut. Benar saja, benda-benda yang disebutkan Petra berdesakan di dalam sana.

"Tetep aja sih, Ben harus bawa travel bag yang proper. Ini, udah aku isi sama baju-baju kaus katun yang adem, kali aja di sana panas. Terus ada hoodie juga kalau di sana dingin. Ada selimut, udah aku packing semua di sini—sama celana dalam kamu juga. Oh iya, perlengkapan mandi!" Saras menaruh sebuah tas jinjing yang setengah terbuka ke atas meja, seraya bergegas ke kamar mandi untuk mengambil keperluan lain pacarnya.

Gita menggeleng tak sabaran. "Oke, Ben, sekarang lo butuh briefing. Tunggu bentar."

Nona muda Cokro itu lantas mengeluarkan iPhone, menggulir layar sebentar sebelum duduk bersandar di meja stool dapur apartemen. Benjamin dan Petra yang menontonnya kini berbagi pandang. Mau ngapain si Brigita?

Tuuutt-tuutt ... terdengar suara panggilan telepon yang di-loudspeaker. Pada dering ketiga, panggilan itu terangkat.

"Haloh?" Suara renyah seorang gadis menjawab di ujung sana.

"Halo, Lis! Eh, ini aku lagi sama si Benjo nih. Yok briefing yok!" ucap Gita dengan nada lantang.

Mendengar potongan nama Lisa—sepupu bungsunya yang tinggal di Surabaya—Benjamin langsung tersenyum dan berjalan ke arah Gita.

"He? Ada Mas Ben? Halooo Mas?" tanya suara Lisa.

"Hai, Lis," jawab Benjamin sambil mendekatkan diri pada iPhone tersebut. "Sehat?" lanjutnya.

"Sehat kok Mas. Oke, mau briefing nih ya? Mas Ben udah siap ke Pandalungan?"

"Yah ... disiap-siapin aja lah. I don't have much of a choice. Sekarang kasi tau deh, gimana kondisi geografis Desa Pandalungan itu? Sekalian perkembangan ekonomi sama keadaan sosio-kulturalnya."

Mendengar pertanyaan Benjamin, Gita refleks memutar mata. Ben dan Lisa, jika dua sepupu robot itu sudah bertemu, bicaranya bukan lagi bahasa manusia.

"Oke, jadi geografisnya Pandalungan ini nggak jauh beda sama Bandung, Bogor dan Malang: dingin, Mas. Apa lagi nanti Mas Ben tinggalnya di rumah Mbah Tum, itu di daerah perbukitan. Dataran tinggi, banyak persawahan sama perkebunan. Itu juga yang jadi pusat perekonomian masyarakat Pandalungan, Mas. Agraria dan horticultura. Rata-rata pekerjaan masyarakat sana itu bertani sama berkebun."

Saras yang baru saja datang menggenggam sikat dan pasta gigi, langsung buru-buru menyimpan benda-benda itu ke dalma tas jinjing hanya untuk pergi lagi, menggumamkan sesuatu tentang 'jaket, topi, kaus kaki' setelah mendengar kata dingin, perbukitan, dan dataran tinggi dari iPhone Gita.

"Memangnya di sana hasil alamnya apa aja, sih?" Kali ini Petra nimbrung untuk bertanya, lengkap dengan sebuah senyum jenaka. Jelas, dia hanya iseng mempermainkan pengetahuan Lisa.

Sepupu bungsu yang jenius namun terlampau lugu itu lantas menjawab polos, "Di sana itu ada perkebunan teh, kopi, buah naga, sama pusatnya sayur-sayuran sih—nah yang ini tuh musiman. Eh, bentar ... KA! INI KITA NYETOK VEGGIES DARI PANDALUNGAN KAN YAAA? SEKARANG LAGI MUSIM SAYUR APA DAAAHH?"

Teriakan Lisa di sambungan telepon berbalas suara lelaki yang terdengar sayup-sayup, 'Pandalungan? Oh ... lagi musim kubis kayaknya, bawang-bawangan, sama seledri.'

"Itu siapa?" tanya Petra yang ikut mendengar jawaban tersebut.

"Tunangannya Lisa, yang chef itu loh," jelas Gita setengah tak sabar.

"Lis," panggil Benjamin, "di sana ada ATM nggak sih? Bisa gesek CC nggak?"

"Oh iya, masalah uang, aku kemarin udah kontakan sama temenku yang di sana. Nggak ada e-money atau gesek-gesek CC, Mas. Semua belum pada cashless, harus bayar manual pakai uang beneran. Is that okay?"

Mendengar jawaban Lisa, Benjamin mendesah pasrah. "Yah ... mau gimana lagi. Oke, apa lagi yang harus kita tau, Lis?"

"Emmm ... o iya, sosio-kultural! Jadi masyarakat sana itu percampuran antara suku Jawa sama Madura, Mas. Keluarga Mbah Tum itu sendiri sebenernya Jawa banget, cuma emang lingkungannya banyakan orang Madura-nya. Masih kental bahasa daerah juga sih ... tapi tenang, aku yakin nanti di sana Mas Ben nggak bakal kesulitan."

Benjamin memandang iPhone Gita dengan skeptis. "Apa aku bakal dapet orang yang jadi translator bahasa daerah, Lis? Atau semacam travel guide gitu?"

"Aaa ... da, kok. Ada-ada! Temenku yang di sana bakal ngebantu semuanya, nanti Mas Ben nggak bakal sendirian. Eehh iya aku hampir lupa! Jadi nanti 'tuh Mas Ben itu tinggalnya di rumah Mbah Tum, nah orangnya itu sebenernya baik, tapi ...."

"Tapi apa?" Benjamin tak suka digantung.

"... dia ngidap Alzheimer. Jadi agak-agak pikun gitu. Kadang juga suka salah nyebut nama orang. Nggak papa ya, Mas? Don't freak out nanti, Okay?"

Benjamin lantas menghela napas. "Ya elah, kirain apa. Oke, serumah sama nenek-nenek pikun selama dua minggu, nggak bakal jadi masalah lah. Anything else that you need to tell us?"

"Kayaknya untuk sekarang itu aja dulu. Udah dapet gambaran 'kan, Mas? Kalau masih ada yang mau ditanya, tenang aja, nanti aku sama Papa bakal nganterin Mas Ben kok ke sana kok. Kita juga bakal jemput kalian di bandara Juanda. Eh iya, flight-nya jam berapa deh, Mas? Kirimin infonya ke aku ya!"

"Iya-iya, ntar dikirimin." Kali ini Gita yang menjawab, sebelum mengucapkan 'dadah' dan menutup panggilan itu.

Benjamin melangkah meninggalkan ruang tengah sekaligus dapur minimalis apartemennya, memasuki kamar tidurnya di mana sudah ada Saras yang sibuk di sana—mengeluarkan beberapa jaket, melipatnya di atas kasur, dan membongkar laci kaus kaki Benjamin.

"Udah siap banget jadi nyonya Cokro, nih?" Benjamin berujar sambil memperhatikan gerak-gerik Saras. Wanita itu terperanjat seketika.

"Eh, sori ... aku malah berantakin. Nanti aku rapihin lagi kok." Saras menyapa pacarnya dengan senyum hangat.

"Nggak perlu minta maaf lah." Benjamin duduk di sisi ranjang. "Makasih ya, Ras ... kamu selalu ada buat aku. Kamu selalu nyiapin apa yang bahkan aku sendiri nggak tau bakal butuh."

Saras menghentikan gerakannya sejenak. Matanya melirik sosok Benjamin yang mengulurkan tangan, menunggu digenggam. Saras meraih jemari itu.

"Dua minggu, ya? Tanpa ada kontak sama sekali?" gumam Saras.

"Bisa lah, nggak akan mati 'kan kalo nggak ketemu aku dua minggu?" celoteh Benjamin sambil mengelus pangkal ibu jari pacarnya. Saras tertawa tipis.

"Iya deh, iyaa!" Saras buru-buru menepis tangan Benjamin yang mulai posesif menggenggam jemarinya. "Jangan ganggu ah, aku mau packing buat kamu nih," ucap Saras sambil tertawa.

Benjamin tersenyum tipis seraya merelakan tangan titisan dewi itu. Diperhatikannya barang-barang yang dibongkar Saras. Dalam laci kaus kakinya, Benjamin meraih sesuatu.

"Ah, ini ...." Diperhatikannya sebuah iPod Classic generasi-entah-berapa, lengkap dengan earphone mungil berkabel putih. Charger-nya juga tergeletak tak jauh dari sana.

"Masih nyala, emangnya?" tanya Saras sambil memperhatikan Benjamin yang mulai mengutak-atik benda tersebut, memasangkan earphone pada telinga.

Pertanyaan Saras dijawab dengan senyum lebar Benjamin, seraya lelaki itu mengulurkan satu earphone ke arahnya. Saras menerima benda tersebut dan memasangnya.

Sejurus kemudian, suara instrumen biola yang mengiringi aransemen khas band pop terdengar di satu sisi telinganya. Saras menatap Benjamin bingung, sambil menerka-nerka, dia bertanya, "Lagu apa ini?"

Benjamin hanya men-sssttt-kan Saras, sambil berbisik, "Dengerin."

Duhai kekasih pujaan hatiku
Dapatkah kau memberiku satu arti

Suara serak-serak basah Ian Kasela menyeruak. Vokalis band Radja itu menyayikan lagu yang populer pada tahun 2004, menggedor kotak ketawa Saras dan Benjamin sekaligus, membuat mereka berdua terbahak bersamaan.

"Gila! Kamu dengerin Radja, Ben? Jadul banget loh ini ...." Saras menggelengkan kepala, terheran-heran.

"Dipengaruhin Mas Tian, kita bertiga jadi alay banget pas SMA. Aku, Mas Tian, sama Gita dulu tuh suka banget dengerin Radja, Ungu, ADA Band, Dewa 19, sama ... itu tuh, yang vokalisnya bikin skandal sama Luna Maya—ahh, Peterpan! Hahahah, sekarang re-branding jadi NOAH kan itu? Wahh gila sih. Tua banget." Benjamin menjelaskan sambil tertawa geli.

"Gita paling suka sama lagunya Radja yang Cinderella itu. Kita dulu bahkan pernah nonton konsernya, bertiga. Pulang sampai jam satu malem, padahal besoknya ada ujian di sekolah. Gila, dimarahin habis-habisan sama Pakde Manu, hahah." Binar nostalgia terpancar dari sorot mata Benjamin Cokro.

Saras yang mendengarkan hanya terkekeh sesekali, tak habis pikir. Ternyata trimurti Cokro bersaudara yang maha segalanya itu juga pernah menjadi manusia alay sewaktu muda.

Senyuman di wajah cantik Saras perlahan pudar seiring lagu terus berputar, mengumandangkan lirik yang menohok hatinya:

Jujurlah padaku, bila kau tak lagi cinta
Tinggalkanlah aku, bila tak mungkin bersama
Jauhi diriku, lupakanlah aku, ooh ...

Tanpa sadar, Saras sudah melepas earphone dari telinganya, mengembalikannya pada Benjamin.

"Aku harus lanjut packing," ucap Saras. "Kamu nggak ada yang perlu disiapin lagi? Dompet? Boarding pass?"

Benjamin tampak mengingat-ingat sesuatu. "Oh iya, tiket! Astaga, belum dicetak! GIT! GITAA!!" pekiknya sejurus kemudian.

Saras menghela napas lega saat Benjamin terburu-buru meninggalkan kamar itu. Diam-diam, Saras berusaha meredam badai yang bergemuruh di dalam dadanya. Rasa bersalah terkadang bisa membuat begah.

🌟

Kesibukan siang itu kini terkurasi dalam satu tas jinjing wajib (kata Saras) yang berisi perlengkapan hidup Benjamin selama dua minggu, dan ransel gunung kudu (paksa Petra) yang Benjamin bawa karena faktor setia kawan.

Teknologi yang Benjamin bawa juga mengerucut menjadi iPod (Benjamin harus adu bacot dulu sama Gita selama 10 menit untuk meloloskan ini, dengan dalih 'gue bisa mati kebosenan'), GPS (Petra maksa-maksa Gita buat ngebolehin, katanya biar Benjamin 'kaga ilang digondol dedemit'), serta jam tangan Rolex GMT Master-II yang komplit dengan kolom hari/tanggal serta bulan, selain jarum panjang-pendek yang berdetik.

"Udah semua? Nggak ada yang ketinggalan lagi?" ujar Gita sambil menggulir ponselnya. "Kudu buru-buru berangkat nih, biar ngga kena macet. Udah semua, ya?"

Benjamin memeriksa dompetnya, "Segini cukup nggak sih, buat dua minggu di sana?" Lelaki itu bertanya seraya mengeluarkan dua lembar seratus ribuan. Dia nggak yakin butuh berapa dana untuk bertahan hidup di desa terpencil.

"Tambahin lah! Lo butuh banyak kali buat bikin project yang katanya Eyang Direktur itu—apa? Pembenahan? Aduh, ga paham. Lo bawa ATM kan? Gak logis sih kalo lo bawa duit cash berjuta-juta di dalem tas. Yang ada dijambret ntar." Petra berkata sambil menggaruk kepalanya.

"ATM nggak ada di desa, tapi di kotanya ada. Ini barusan aku cek di Google Place. Udah, kamu jangan bawa banyak-banyak lagi," Saras menyahut sambil mengeluarkan dompetnya. "Tapi dua ratus untuk bertahan hidup dua minggu itu minimalis banget sih. Nih, kalian pasti nggak sempat mampir ATM 'kan? Bawa ini dulu."

Saras menyerahkan beberapa lembar lima puluh ribuan ke arah Benjamin, yang lantas diterima lelaki itu dengan ragu.

"Aku nggak bakal butuh sebanyak ini deh, kayaknya," gumam Benjamin, namun tak ayal memasukkan rupiah itu ke dalam saku jaketnya juga.

"Udah ah, kita cabut. Yuk-yuk." Gita memanggil dari ambang pintu.

Benjamin memandang Saras dengan mata sayu, "Beneran nggak bisa nganter ke bandara?"

Saras menggeleng dengan raut wajah sedih. "Maaf, Sayang, tapi aku harus beresin lemari kamu yang berantakan, sisa packing tadi. Setelah itu aku harus langsung ke kantor. Sudah ditunggu sama pimpinan redaksi. Maaf, ya?"

Benjamin mengangguk pasrah seraya membelai wajah cantik titisan dewi itu. "Okay. Aku berangkat ya ...."

Cup. Sebuah kecupan pendek mendarat di bibir manis Saras.

"Lo juga langsung cabut ke HQ 'kan?" tanya Benjamin ke arah Petra, sobatnya yang sedari tadi memperhatikan mereka.

"Yap. Sori, urgen. Nggak bisa nganter," jawab Petra seraya memaksakan senyum. Benjamin mengangguk diriingi kalimat 'nggak papa'.

Perpisahan singkat itu mengantar Benjamin ke depan pintu unit apartemennya, hanya didampingi Gita untuk kemudian dilepas di bandar udara Juanda. Petra dan Saras melambai di ambang pintu.

"Kita berangkat dulu, ya," pamit Gita sambil berjalan mendahului Benjamin, diikuti abang sepupunya itu.

Mereka turun ke parkiran basemen, di mana Mercedez milik Gita sudah menunggu. Baru saja Benjamin memasang sabuk pengaman, lelaki itu tiba-tiba berujar, "Git, Git ... tunggu bentar. Gue kebelet boker."

"Ya elah, Benjo! Ya udah buru!!" semprot Gita pada abang sepupu yang sedang buru-buru turun itu. "Aku tunggu di depan lobi ya!" pekik Gita dari kaca jendela mobil yang terbuka. Benjamin melambai tanda mendengar.

Seharusnya, hari itu Benjamin menggunakan toilet di lobi saja.

Seharusnya, Benjamin tidak usah kembali ke lantai apartemennya.

Seharusnya, pintu unit apartemennya itu tidak terbuka sedikit seperti sekarang ini.

Dan seharusnya pula, seorang sahabat dan pacar tidak saling berciuman, seperti yang Benjamin saksikan dari celah pintu yang tak tertutup itu. Terlihat jelas, Petra dan Saras saling bertaut bibir.

Bajingan.

🌟

"Udah cebok?" tanya Gita jayus, sambil memperhatikan Benjamin yang baru saja memasuki Mercy-nya. Wajah abang sepupunya itu tertekuk parah.

"Ayo, berangkat," gumam Benjamin dingin sambil menyandar diri ke kursi. Gita hanya mengangkat bahu sendiri dan menjalankan mobilnya.

Benjamin memijit pelipisnya yang berdenyut, sakit. Dia tadi ... hanya melihat. Iya, dia melihat semuanya tanpa melakukan apa-apa. Entah mengapa, otaknya serasa beku, dan mulutnya kelu. Rasanya dia tak sanggup berbicara.

Papinya pernah berkata, there is nothing more valuable than truth—tak ada satu hal pun yang lebih berharga daripada kebenaran. Dan pada hari itu, Benjamin Cokro tertampar kebenaran tepat di depan mata. Ternyata rasanya menggetarkan, sekaligus melumpuhkan.

Benjamin syok. Dia butuh ketenangan untuk memikirkan ini dengan kepala yang jernih. Keterkejutan yang membuahkan hal sembrono adalah sikap yang sama sekali bukan dirinya.

Dan untuk pertama kali juga, sejak beberapa bulan terakhir Eyang Kakung memantikkan rencana retret ini, Benjamin merasa beruntung. Saat ini yang memang dibutuhkannya adalah hengkang dari kehidupan utamanya yang begitu padat dan brengsek. 

🌟

[2247 Words]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro