Hari H - Kejutan (1)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

MALEDA Magnolia mengedipkan kelopaknya yang berat bertempelkan bulu mata palsu.

Idep lebat nan panjang itu membuat pandangan Leda sedikit kabur, nge-blur, dan bikin mata cepat lelah. Ngantuk.

Leda pun menguap tanpa ragu, membuka mulutnya selebar kuda nil.

"Heh-hehhh, haish! Jek angop (jangan menguap) sembarangan ta, Dek! Lippen (lipstik) kamu ini jadi acecer (belepotan) lho!" Wanita paruh baya sontak menghardik gadis itu, membuat sang pesakitan tersenyum alih-alih ketakutan.

"Saporanah (Maafin ya), Bi. Aku nggak biasa pake beginian, berat."

Leda berusaha mengucek matanya, namun tangannya buru-buru disambar dengan tabokan sayang dari sang Bibi, Khotimatussahro, yang juga akrab dipanggil Bi' Khos.

"Abbeh, neng-neng kadhek (Haduh, diem dulu) Dek Li!" Bi' Khos kembali meninggikan suaranya, kali ini sambil menggenggam rahang Leda dan memantapkan posisinya menghadap si Bibi, siap memoles gincu.

Gadis yang wajahnya disandera tersebut lantas memanyunkan bibir, mecucu, sambil menggerak-gerakkan bibirnya layaknya ikan koi kehabisan napas. "Umumumumu~"

"Astaghfirulloh! LEDA! MENNENG SAKEJEK BEIH MAH TAK BISAH (DIEM SEBENTAR AJA GAK BISA)?!" sembur sang Bibi di depan wajah Leda, membuat gadis itu melepaskan tawa.

Pada hari yang penting ini, Bi' Khos harus lebih sering mengelus dada dan banyak-banyak menyetok kesabaran, sebab keponakan absurdnya itu semakin dibentak bukannya semakin takut, malah semakin menjadi-jadi tingkahnya.

Sia-sia Bi' Khos selalu memasang wajah garang. Leda selalu bisa membalasnya dengan tawa sayang.

🌟

Jalan raya Pandalungan menyambut sepasang mobil iring-iringan berplat 'L', menandakan kota Surabaya sebagai asal dari dua kendaraan tersebut.

Di depan memimpin sebuah Honda Jazz berwarna putih, berisi Om Moel dan istrinya, Imelda Cokro, disertai supir pribadi yang bertugas di balik roda kemudi. Jazz tersebut dipenuhi berbagai barang hantaran yang sudah dibungkus rapi, bernampan rotan dan plastik mika serta pita merah marun yang seragam.

Tepat di belakangnya, terdapat SUV Fortuner warna abu gelap, dengan Benjamin yang duduk melamun di kursi penumpang depan. Di sebelahnya, terdapat Raka yang memegang kemudi, tunangan dari sepupunya, Lisa, yang duduk di bangku belakang bersama sahabat perempuannya bernama Windu.

Sejujurnya, Benjamin merasa ada yang aneh pada proses 'mengantar'-nya ini.

Keanehan itu bermula saat kemarin, setibanya lelaki itu di Bandara Juanda, Lisa dan Om Moel menyambutnya dengan begitu antusias. Bapak-beranak itu mengaku kangen dengan Benjamin, dan mengajaknya menginap di rumah mereka karena sudah terlampau sore.

"Sudah, kamu istirahat saja dulu, besok pagi kita berangkat. Oke?" Begitu kira-kira titah Om Moel kemarin itu. Benjamin meng-iya-kan saja, karena dirinya memang lelah.

Sesampainya di rumah keluarga Moelyadi, Benjamin terkesiap tatkala ruang tengah mereka dipenuhi berbagai packing barang hantaran. Terdapat Windu dan Tante Melda—panggilan sayang Benjamin terhadap Imelda Cokro—yang sibuk berkutat dengan itu semua.

"Ini buat apa, Tan?" tanya Benjamin sambil menyalami dan mencium pipi tantenya.

Tante Melda hanya tersenyum tanpa menjawab, malah menyuruhnya segera beristirahat. Aneh.

Lisa yang mengekori abang sepupunya itu menjadi target pertanyaan Benjamin kemudian, terlebih lagi setelah gadis itu menyeletuk, "tenang aja Mas Ben, temenku yang lagi bantuin Mama itu, namanya Windu, dia jago masalah beginian. Pas waktu aku sama Raka juga dia yang ngatur semuanya. Yah, dibantu Gita sih, cuma kan sekarang si Gita lagi sibuk sama kantor Eyang. Tapi nggak papa kok, aku jamin semuanya bakal aman-aman aja sampe besok."

Benjamin lantas menggiring Lisa ke sudut kamarnya.

"Lis, ini ada apa sih, sebenernya?" tanyanya pada sang sepupu. Lisa mengangkat bahu.

"Apanya yang ada apa?" tanya Lisa balik. Melihat Benjamin kebingungan, Lisa malah tersenyum jahil.

"Ya itu! Barang-barang sebanyak itu, emangnya buat apa? Buat diantar ke Pandalungan? Memangnya kalau mau numpang retret di desa orang, harus ngasi banyak oleh-oleh begitu?" Benjamin mulai geregetan.

Lisa semakin tersenyum puas. "Bisa jadi, Mas. Udah ah! Jangan dipusingin. Makan, yuk? Habis ini Raka dateng bawain makanan. Laper kan?"

Dan benjamin pun menggelengkan kepala, berusaha tak membebankan pikiran. Otaknya telah penuh oleh permasalahanan bangsat yang berusaha ditinggalkannya di Jakarta, namun entah mengapa masih membayanginya lintas provinsi hingga saat ini.

Benjamin juga berusaha untuk tidak ambil pusing saat semua orang yang mengantarnya ke Desa Pandalungan kompak berpakaian rapi, menggunakan baju batik dan juga menyuruh (baca: memaksa) Benjamin mengenakan kemeja batik milik Om Moel—membuat dandanannya terlihat seperti bapak-bapak di usia yang terlampau muda.

"Ka, aku di-WA Papa barusan, katanya lampu blinker suruh kedip-kedipin, biar kelihatan kalau mobil kita lagi rombongan. Udah mau masuk kota Ndalung, nih." Suara Lisa yang tiba-tiba nongol di tengah-tengah kursi Benjamin dan Raka membuat dua lelaki itu berjengit hampir bersamaan.

"Kedipin blinker? Tapi kan kita cuma dua mobil, Lis?" Raka mengajukan protes yang kebetulan hampir terucap oleh Benjamin juga. Diliriknya lelaki di balik kemudi setir itu sekilas.

Raka adalah orang yang—menurut pengamatan Benjamin—cukup oke. Tinggi, wajah lumayan, pekerjaan juga bolehlah. Seperti kata Gita kemarin, Raka adalah head chef di Celestial Hotel, hotel milik Om Moel tempat Lisa juga bekerja.

Sependek penilaian Benjamin, Raka adalah kandidat yang tidak buruk-buruk amat sebagai calon sepupu-ipar. Benjamin juga merasa dia dan Raka bisa saja berteman, jika saja pikirannya tidak terdistraksi begini sejak kemarin, membuatnya membatasi diri dengan interaksi apa pun.

"Udah, turutin aja apa maunya Om Moel." Windu bersuara dari kursi belakang, yang diikuti anggukan kepala Lisa.

Raka menghela napas pasrah sambil menyalakan blinker mobil mereka. Jadilah dua mobil iringan itu mengedipkan lampu kuning bersama-sama.

Benjamin mengalihkan pandangannya ke luar jendela, berusaha menjernihkan pikiran yang sedari kemarin masih agak keruh.

New mind for a new start, begitu mantra yang berulang kali dirapalnya, pun sedang berusaha diwujudkannya.

Mobil mereka melaju meninggalkan pinggir kota, berkelok ke jalanan yang mulai menanjak. Perlahan-lahan, sisi kanan-kiri jalan mulai dipenuhi hutan. Pinus, karet, dan kopi tumbuh beriringan di pinggir jalan.

Lisa membuka jendela kursi belakang, melongokkan kepalanya ke sisi kiri pintu, lantas menghirup napas dalam-dalam.

"Ngapain, Lis? Ati-ati kepala kamu, bahaya loh," ucap Benjamin sambil menoleh sekilas ke kursi belakang.

"Coba deh, Mas. Oksigennya seger, jarang-jarang kan bisa ngirup yang seger begini kalau di kota, malah kesedak polusi yang ada," jawab Lisa seraya memejamkan mata.

Benjamin merasa perkataan Lisa adalah hal yang konyol. Mau segar? Toh di dalam mobil sudah ada AC yang menyala.

Namun melihat Raka dengan suka rela menurunkan jendela sisi kanannya sebelum menghirup napas dalam-dalam, Benjamin entah kenapa jadi penasaran juga.

Diturunkannya jendela kiri Benjamin, dan benar saja. Udara sejuk langsung menghantam wajahnya, disisipi aroma pinus dan rumput basah, sedikit tetesan embun yang mengendap di kacamatanya, dan hijau, hijau sejauh mata memandang.

"Gimana?" ujar Lisa dari belakang kursi Benjamin.

"Lumayan," jawab Benjamin sambil mengulum senyum.

Ternyata udara segar itu nggak buruk juga. Benjamin jadi optimis, keberadaannya di sini mungkin akan memberikan pengalihan baik dari segala kemelutnya di ibu kota.

🌟

Sepasang mobil plat L itu bergoyang dihantam geronjolan jalan. Aspal yang sudah luruh menjadi batu-batu tajam membuat Benjamin harus berpegangan pada gagang di atas sisi jendela agar kepalanya tidak terantuk kaca.

"Sori, Mas Ben, parah banget jalannya." Raka memulutkan permintaan maaf dari balik kemudi, membuat Benjamin tertawa tipis.

"Santai aja, Raka. Dan udah berapa kali gue bilang, nggak usah pake embel-embel 'Mas', kita kan seumuran." Benjamin melepaskan pegangannya dan kembali menyandarkan punggung pada kursi.

Laju mobil kembali stabil tatkala jalanan yang dilalui telah berubah menjadi tanah polos tanpa semen dan bebatuan.

Jalanan menanjak parah sebelum akhirnya landai, menyajikan pemandangan hijau sawah yang permai, fesh baru ditanami padi dengan desain persawahan terasering.

Pohon cemara berjejer sesekali di pinggir jalan. Rumah-rumah penduduk yang minimalis dengan dinding kayu tak jarang dijejali berbagai tanaman di halamannya—bawang daun, umbi-umbian, sampai bunga-bungaan dan tanaman gantung yang Benjamin tak tau namanya apa.

"Wuih gila, boleh juga view-nya! Ih, dingin pisan ya, Lis? Seger!" Windu menyeletuk dari kursi belakang, membuat Lisa menanggapi perkataan sahabatnya itu dengan antusias.

Meluncurlah berbagai fakta dari mulut ceriwis Lisa, bahwa Desa Pandalungan adalah dataran tertinggi nomor empat di Jawa Timur, dengan jumlah penduduk sekian ribu dan hasil panen kopi tahun lalu sekian ton, lengkap hingga kasus sengketa tanah yang terjadi pada tahun 2008, mengalihfungsikan pemberdayaan alam yang tadinya dikelola oleh PTPN (PT Perkebunan Nusantara), Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di sektor perkebunan, menjadi sepenuhnya diberdayakan oleh masyarakat desa.

Benjamin masih tak habis pikir dengan kapasistas otak sepupunya yang setara dengan search engine itu.

Nggak pusing apa dia, nyimpen informasi sebanyak itu di kepalanya? Benjamin berdecak kagum.

Ocehan di kursi belakang harus terhenti tatkala mobil mereka memelan, berhenti tepat di belakang Jazz putih Om Moel dan Tante Melda, di depan halaman sebuah rumah yang cukup mewah untuk ukuran desa—dinding bercat putih, dengan pilar dan lantai marmer, serta tanaman rumput jepang menghampar di pekarangan.

Rumah itu sedikit ramai dikerumuni orang-orang desa; di pinggir sana ada dapur terbuka, ibu-ibu yang memasak berjamaah, berseberangan dengan tenda beratap terpal di sudut lain halaman, lengkap dengan sound system bertumpuk di atasnya, mengumandangkan lagu-lagu ambyar dari almarhum Didi Kempot, the Godfather of broken heart.

"Kita udah sampai?" tanya Benjamin ke arah Raka yang sedang mematikan mesin mobil.

"Kayaknya sih gitu, Mas," jawab calon sepupu-iparnya itu.

Benjamin baru saja membuka pintu, menjejaki kakinya di tanah, ketika pintu belakang SUV terbuka lebar dan meloloskan sepupu mungilnya, Lisa, berlari menuju halaman lepas.

"LEEEDDDAAAAA!!!" jerit gadis itu dengan seluruh kekuatan paru-parunya.

"IIICCCAAAAA!!!" Terdengar pekikan balasan dari dalam rumah, diikuti sesosok gadis dengan gaun putih berlapis kain brukat selutut, tanpa alas kaki, dengan rambut berponi yang digulung rendah dan wajah berias make up.

Lisa dan gadis itu lantas berpelukan dengan erat, mengindahkan seorang wanita paruh baya yang berlari dari dalam rumah, membawa sepatu selop putih di kanan-kiri tangannya sambil berteriak dengan bahasa asing, 'beh, abbeh, mak ocol kanak!!', yang entah apa artinya—sepertinya memanggil sekaligus memarahi gadis tanpa alas kaki itu.

"Ica, Ica, Ica! Aku kangen!!" ujar gadis bergaun putih sambil memutar-mutar tubuh Lisa dalam dekapannya.

"Aku jugaaaa!!!" jerit Lisa tak mau kalah.

Di tengah gegap gempita pekik dan tawa dua perempuan muda itu, alunan musik mengudara dari sound system di sudut halaman.

♪ Kowe tak sayang-sayang, saiki malah ngilang ....

Suara syahdu Didi Kempot dan tabuhan genderang mix seruling manja mengiringi kehebohan dua manusia itu, yang kini menjadi tontonan gratis orang-orang desa yang berkumpul di sekitar rumah.

Namun tampaknya baik Lisa maupun kawan jejeritannya itu tak peduli sama sekali.

Benjamin yang menyaksikan itu semua hanya bisa mengernyitkan dahi sekilas sebelum Om Moel memanggil mereka dari mobil depan.

Rupanya si Jazz putih sedang terbuka bagasi belakangnya, menampakkan berkotak-kotak barang hantaran yang siap untuk diangkut.

Benjamin berinisiatif membantu, mengambil satu kotak untuk diangkut, namun buru-buru dicegah oleh Om Moel—kompak dengan Windu yang mendekat ke arah mereka.

"Nggak usah, Mas Ben gak perlu bawa-bawa, biar kita aja. Mas Ben berdiri di sini aja nanti ya, di tengah-tengah Om Moel sama Tante Melda." Windu menginstruksikan perintah yang membuat Benjamin semakin mengerutkan keningnya.

Baru saja lelaki itu hendak bertanya 'kenapa', Raka telah mendahului dengan berkata, "udah Mas Ben, turutin aja. Bentar doang kok."

Oke fix, Benjamin jadi semakin curiga.

"Lisa! Sini Nduk, ayo! Kangen-kangenannya dilanjut nanti lagi." Panggilan dari Om Moel sukses membuat Lisa—yang sedang cekikikan bersama gadis asing itu—menoleh seketika.

Tak butuh waktu lama untuk dua perempuan muda itu memisahkan diri, melambaikan tangan cepat-cepat dan berlari ke arah berlawanan. Lisa menuju Jazz putih keluarganya, sementara gadis random itu digiring masuk ke dalam rumah oleh wanita yang nyerocos dengan bahasa alien tadi.

Menit-menit selanjutnya yang dilalui oleh Benjamin Cokro adalah momen paling absurd, aneh, sekaligus ... (dare he say?) sakral, dalam hidupnya.

Calon CEO muda Cokro Group itu diapit om dan tantenya, berdiri kikuk dengan setelan kemeja batik yang tak pas di badannya, dengan iring-iringan berupa keluarganya yang berpakaian rapi, membawa kotak seserahan heboh, berbaris memanjang di sisi kanan-kirinya berturut-turut; Om Moel dan Tante Melda, Raka dan Lisa, serta Windu dan Pak Supir menutup paling belakang.

Rombongan itu kemudian berjalan beriringan dengan musik instrumen gamelan dan narasi bapak-bapak yang sepertinya adalah tetua, merapalkan kalimat dengan bahasa yang sama sekali asing bagi telinga Benjamin. 

Jangan ditanya bagaimanya bingungnya dia dalam situasi ini. He has no idea what the heck is going on.

Satu-dua kata yang bisa ditangkapnya adalah 'Molyedih' yang menurut Benjamin adalah nama keluarga omnya, Moelyadi, lalu 'lakek' yang mungkin berarti laki, serta potongan kata terakhir berupa 'Sorbejeh' yang Benjamin curiga merupakan pelafalan lain dari kata Surabaya.

Iring-iringan rombongan Benjamin dan Om Moel sekeluarga disambut dengan tiga orang yang berbaris di teras rumah; gadis random yang berpakaian serba putih tadi, diapit wanita paruh baya berkebaya merah yang meneriaki gadis tadi, serta lelaki paruh baya berpakaian batik merah dengan kopiah hitam tinggi menjulang.

Wajah-wajah itu sama sekali asing bagi Benjamin. Namun tampaknya mereka berbahagia, terutama si gadis bergaun putih, yang menyajikan senyum selebar lapangan bola seraya memandangi rombongan mereka.

Benjamin meneliti perawakan gadis itu, semakin tipis jarak mengikis di antara langkah kaki mereka, maka semakin jelas pula fitur wajahnya; mata bundar berbinar, tulang pipi tinggi, menyokong bibir bergincu yang tak henti-hentinya tersenyum. Dagunya lancip, dengan hidung bangir dan bentuk wajah menyerupai hati.

Di tengah-tengah pengamatannya itu, tiba-tiba mata si gadis tertuju ada Benjamin. Pandangan mereka bersirobok—si gadis wajah hati tersenyum padanya, sementara Benjamin buru-buru mengalihkan mata.

Perhatian Benjamin lantas tersedot pada narasi bapak tetua yang (akhirnya!) mulai membawakan sesuatu dengan bahasa Indonesia, kental bercampur logat Madura.

"Pada siang hari yang berbahagia ini ... ijinkan kami menyambut ... keluarga bhekal* laki-laki, dalam prosesi lamaran sekaligus pertunangan dua pihak keluarga ...."

Langkah kaki Benjamin terhenti seketika.

What the actual fuck?! 

🌟

[2170 Words]

.
.
.

Bhekal / Abhekalan = tunangan, pejodohan, calon pasangan hidup.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro