11. Ketakutan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Sejak kapan kau ada di situ?" heran Uzma dengan raut bingung mendapati Jaehwan sudah berada di dalam rumah dengan duduk bersila, menyandarkan punggung dan kepalanya ke tembok pembatas ruang utama dan tengah. Padahal, barusan saat mengantar Sarah dan Amala ke depan rumah untuk pulang yang sudah dijemput Nyonya Choi--orang tua mereka berdua--ia tidak melihat tanda-tanda Jaehwan pulang.

Jaehwan mengurvakan bibirnya. Beringsut berdiri, melangkah ke depan Uzma dengan radius 2 meter darinya.

"Aku sudah pulang dari tadi dan mendengarkan Bu Ustadzah ini mengajar ngaji," sahut Jaehwan sembari menepuk kepala Uzma yang terbalut hijab cokelat bergradasi, meledek dengan juluk "Bu Ustadzah".

"Jangan meledekku dengan sebutan Bu Ustadzah," cicit Uzma, ia cemberut.

Jaehwan tertawa kecil. "Ya sudah aku memanggilmu Bu Guru." Menepuk pucuk kepala Uzma lagi.

Uzma tetap bergeming. Mengidikkan bahu.

Jaehwan tertawa kecil lagi. "Itu sama saja ya, hanya beda bahasa?"

"Hmm." Uzma mulai melangkah meninggalkan Jaehwan begitu saja. Dan langsung diekori Jaehwan.

"Katanya mau pulang dini hari, merayakan ulang tahun fandom kalian di apartemen Jingmi Oppa?" ucap Uzma setelah membuatkan secangkir teh hijau untuk Jaehwan, meletakkannya di meja.

Jaehwan tersenyum tipis. "Tidak jadi, Yeobo."

"Wae?" Uzma menengok, mengangkat sebelah alisnya setelah berhasil duduk di sebelah Jaehwan.

"Hmm ...." Jaehwan ikut menengok, menimpali tatapan keingintahuan Uzma. Berpikir keras dalam jeda. "Kepalaku pening, Yeobo. Sepertinya aku sakit," bohongnya, berakting dengan dramatis, memijat-mijat sebelah tempurung kepalanya yang berambut blonde dengan muka kesakitan.

Bukan sikap perhatian lembut yang Uzma berikan, wanita bertubuh imut itu justru mendengkus ke arah Jaehwan. Pasalnya suaminya itu berekspresi dilebih-lebihkan sekali. Bisa dibilang aura ngedrama.

"Kalau begitu minum dulu teh hijaunya. Aku menyiapkan makan malam sekarang. Nanti kau makan, minum obat, salat isha, lalu tidur, ya?" ucap Uzma kemudian seraya mengangkat pantat untuk bergegas menyiapkan makan malam untuk Jaehwan. Namun, hendak melangkah enyah, tertahan akan laku Jaehwan yang meraih sebelah tangannya.

"Tidak usah, Yeobo," cegah Jaehwan.

Uzma tampak melengok dan mengerutkan kening jenongnya. "Maksudnya kau sudah makan di luar?"

Jaehwan menggeleng pelan.

"Lalu?"

"Aku tidak mau minum obat," jawab Jaehwan. Ditutup menggigit bibir bawahnya.

"Lalu maunya apa? Katanya kepalamu sakit dan barusan kau sangat terlihat kesakitan," selidik Uzma, "Oh, maunya aku menelepon Dokter Cha, memintanya ke sini sekarang untuk memeriksamu?"

Jaehwan menggeleng cepat. Lebih-lebih bukan itu maksudnya. Apalagi hingga menghubungi dokter pribadinya. Jelas bukan. Kepalanya sakit, maksudnya pikirannya sedang amburadul.

"Tidak. Aku hanya butuh Dokter Uzma," jawabnya. Nyengir.

Berhasil membuat Uzma melotot akan lelucon tak lucu Jaehwan. Mendengkus. Merutuki dalam benak jika manusia satu ini pandai sekali melucu--sekalipun kadang garing--untuk terlihat baik-baik saja dalam deritanya. Inilah yang membuat dirinya menyukai Jaehwan.

Jaehwan tertawa renyah. Uzma mendengkus lagi, sebal.

Jehwan selalu tampak ceria di mana tempat. Tak salah jika mendapatkan julukan happy virus, memang begitulah adanya. Suaminya memang pembawa atmosfer ceria bagi orang lain, tak seperti dirinya yang cenderung kaku, apalagi dengan orang-orang baru. Dan sungguh bersyukur setelah menikah dengan Jaehwan, ia menjadi tahu kenyataan jika sikap happy virus itu tak sekedar pencitraan untuk pamor. Bersyukur karena merasa tak salah memilih mengagumi Jaehwan sebagai idolanya, dulu.

Uzma jadi melamun. Pikirannya semakin melanglang bebas.

Benar. Merasa bersyukur karena pernah mengagumi Jaehwan pada masanya. Dulu, pada masa dirinya menjadi sosok pengagum Jaehwan, tak luput dari pandangan negatif orang lain di sekitarnya, tak luput Sabina sebelum tampak tertarik dengan Bora. Menurut mereka, menjadi sosok fangirl apalagi K-Pop yang kebanyakan fanatik, itu tidaklah sehat, tak ada guna selain kesenangan duniawi, maksiat.

Memang, sebagian argumen itu benar jika semua itu kesenangan duniawi, maksiat. Namun, ada sesuatu yang tak terlihat oleh mereka, jika bisa jadi, tanpa mereka tahu ada sebuah kebaikan yang menyusup. Seperti menjadikan idol sebuah inspirasi dalam suatu bidang. Seperti halnya dirinya, menjadi inspirasinya menulis. Jaehwan adalah inspirasinya menulis. Dan inilah alasannya ia bersyukur mengagumi Jaehwan, terlepas dari mengagumi para Rasul dan ulama yang menjadi teladan.

Karena menyukai Jaehwan, Uzma menjadi menemukan passion-nya yang tertimbun, yaitu menulis. Awal dirinya menulis adalah karena Jaehwan, berhasil bertahan hingga sekarang di bidang satu ini. Walau belum berhasil menjadi penulis pro, tapi itu bukan masalah. Karena alasan dirinya menulis adalah suka dan bisa menjadi ladang curhat secara implisit. Alasan lainnya adalah menebar kebaikan dengan seni literasi. Selebihnya, perihal pamor menjadi penulis besar di masa depan adalah bonus, sekalipun egosinya ia tetap mengharapkan demikian.

"Aku tidak butuh Dokter Cha. Aku hanya butuh istriku. Aku ...." gumam Jaehwan, berakhir bibir terkelu. Pikiran kacaunya hadir lagi.

Uzma sendiri tetap membisu. Mendengarkan perkataan Jaehwan dengan baik, tetapi masih egois juga akan pikirannya sendiri.

Jika dulu menyukai Jaehwan hanyalah kesenangan duniawai, sekarang sudah berbeda. Menyukai dan bakti kepada Jaehwan adalah ladang amal untuk kebahagiaan akhiratnya.

Uzma meneguk ludah. Ada masalah dalam batinnya. Masalahnya adalah dirinya belum sungguh ikhlas menjalani hidupnya bersama Jaehwan yang sudah sah menjadi suaminya karena di sisi lain, ia tak menyukai sikap Jaehwan yang banyak lalai akan kewajibannya sebagai seorang Muslim yang taat.

Kedua tangan Uzma menimpal pelukan Jaehwan, melingkar di badan lelaki itu. Di masa depan, ia berharap bisa ikhlas menjalani baktinya, bisa mencintai sebagaimana seharusnya. Dan Jaehwan bisa berubah.

"Aku takut, Yeobo ...," gumam Jaehwan lagi. Pelukannya semakin mengerat. Pikirannya kian kacau akan kenangan kelam di lima tahun yang telah lalu.

"Aku takut ...." Nada bass Jaehwan merendah. Sepasang netra sipitnya berkaca-kaca.

"Wae? Kepalamu semakin sakit, Yeobo?" jawab Uzma, mulai cemas.

"Bukan. Aku ingin kembali ke masa lalu," jawab Jaehwan, menjeda sesaat, "Andai bisa, aku hanya butuh sebentar saja untuk memperbaiki segalanya agar sisa hidupku tidak dihantui keresahan dan ketakutan seperti ini."

Mendengar ucapan Jaehwan itu, Uzma melerai pelukannya yang ada. Mendongak, menatap dalam nerta sipit Jaehwan yang sudah mengembun.

"Ada apa denganmu?" selidiknya.

"Aku ...." Jaehwan kesulitan bicara dengan mengenkan agar jangan menangis.

"Tidak apa-apa. Katakan, ada apa?" Sorot mata Uzma mengiba.

"Aku ...." Mengambang lagi. Jaehwan kelu sekali mengata. Menunduk sesaat dengan mengembuskan napas. Mengumpulkan keberanian untuk menanyakan satu hal kepada Uzma.

Uzma masih khidmat menunggu Jaehwan menjawab sesuatu secara gamblang. Aura mukanya bingung dan iba secara bersamaan. Bertanya-tanya dalam senyap perihal kenapa dan ada apa.

Hingga akhirnya, sesaat kemudian, Jaehwan mengangkat kepala. Menatap dalam Uzma. Menggerakkan bibir kenyalnya.

"Apa yang bisa aku lakukan untuk orang mati, Yeobo?"

_________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro