12. Mendengar Satu Nama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Apa yang bisa aku lakukan untuk orang mati, Yeobo?" ulang Jaehwan dengan kedua netra semakin berkaca-kaca.

Bibir Uzma masih terkelu karena terkejut akan pertanyaan Jaehwan yang aneh, ditambah sikap sendu seperti tengah menanggung sebuah kesalahan besar.

"Hmm ... apa yang tengah terjadi denganmu?" Uzma menimpal tanya dengan raut kebingungan. Sebenarnya, ia ingin memastikannya dahulu sebelum menjawab pertanyaan yang terlontar, perihal apa yang sedang terjadi pada suaminya hingga terkalut takut begitu.

Tampak Jaehwan meneguk ludah. Getir tercecap. Ketakutannya bertambah. Serebrumnya membawanya lagi dalam kenangan kelam yang barusan sempat terabaikan. Rasa bersalah menelusup. Berakhir menyalahkan diri sendiri.

"Jawab saja dulu, Yeobo," tuntutnya dengan nada bass rendah.

Uzma mengangguk pelan. Menanggalkan permintaan Jaehwan untuk menjawab segera, memilih mengomando tubuh jangkung di hadapannya untuk duduk di sofa lagi dengan kedua tangannya meraih sebelah lengan Jaehwan.

Tidak berkelit, Jaehwan menurut titah Uzma. Duduk di sofa, bersebelahan dengan Uzma.

"Kau bertanya, apa yang bisa kau lakukan untuk orang mati. Jawabannya adalah kau bisa mendoakannya," jawab Uzma seraya menatap dalam netra Jaehwan.

"Tapi dia bukan sosok Muslim," keluh Jaehwan, masih dengan nada bass rendah.

"Maka tidak ada yang bisa kau lakukan lagi. Mendoakannya pun hanya menjadi sebuah kesia-siaan," ucap Uzma yang langsung diiringi embunan air mata Jaehwan yang mengalir perlahan.

Jaehwan menundukkan wajah mendungnya. Mencoba menyembunyikan sepasang netra yang merintik cairan bening itu, walau nyatanya Uzma sudah melihatnya dahulu.

Sesungguhnya Jaehwan sudah tahu, jika mendoakan seseorang yang telah mati untuk non muslim hanyalah sebuah kesia-siaan. Tidak akan sampai mau dengan apa pun caranya. Berbeda ketika mereka masih hidup, masih diperboleh mendoakan kebaikan apalagi mendoakan agar mereka diberi hidayah-Nya.

Mendapati pemandangan itu, Uzma meneguk ludah. Ia masih bingung dengan keadaan yang ada dengan suaminya ini. Bertalu-talu tanya "ada apa?". Namun, memilih diam, ia sudah cukup iba melihat bagaimana sepasang netra sipit di hadapannya yang biasanya selalu cerah, bisa semendung sekarang. Ini pula kali pertamanya ia menyaksikan Jaehwan menangis terdiam seperti ini, menahan sakitnya luka hati yang ada, entah karena terluka apa.

Tidak banyak yang bisa dilakukan Uzma selain tetap diam tanpa menanyakan hal lain. Ia hanya bisa berempati, meraih kedua tangan Jaehwan dan menggenggamnya erat.

Merasakan sentuhan di kedua tangannya di atas paha berbalut jeans, Jaehwan melirik ke arah genggaman tangan Uzma. Kemudian beralih menatap Uzma dengan basahan air mata di kedua belah pipi yang masih menjejak.

"Gwaenchanha," gumam Uzma. Senyum menguatkan seraya sebelah tangannya mengusap bekas air mata Jaehwan di sebelah pipi.

"Yeobo, aku--" Dengan nada bass masih rendah, Jaehwan ingin jujur perihal kenapa dirinya seperti ini. Namun, Uzma gesit membungkamnya dengan menempelkan jari telunjuk lentiknya ke bibirnya.

Uzma mengulas senyum. Ia ingin Jaehwan mengatakan perihal "ada apa" nanti, di saat suaminya benar-benar sudah tenang.

"Kau bisa mengatakannya nanti, setelah kau merasa tenang."

Jaehwan mengangguk pelan.

"Aku menyiapkan makan malam sekarang. Kau harus minum obat." Uzma terus mencicit. Masih menuntut untuk Jaehwan mau meminum obat.

"Obat?" Jaehwan malah tampak kebingungan. "Obat penenang, Yeobo?"

Uzma menjatuhkan jari telunjuknya di bibir Jaehwan yang barusan menggerak menyuara. Ia pula menjadi bingung. Jaehwan malah tampak lupa akan sakit kepalanya. "Katanya tadi sakit kepala? Kok malah obat penenang?" keluhnya.

Jaehwan baru ngeh. Ia sungguh lupa jika sebelumnya pura-pura sakit kepala. Memilih menggigit bibir bawahnya.

"Kau berbohong kepadaku, ya?" selidik Uzma kemudian. Disusul Jaehwan mengangguk pelan, jujur.

"Mianhae," maaf Jaehwan dengan muka takut-takut Uzma bakal ngamuk.

Seperti biasa, Uzma memilih mendengkus. Dan mengesalkannya, Jaehwan malah kemudian tersenyum lebar. Namun, bukan decakan yang terlontar oleh Uzma seperti biasa karena merasa dirinya dijadikan bahan lelucon, wanita mungil itu justru mengulas senyum. Ia senang melihat wajah Jaehwan tampak cerah lagi.

"Aku menyiapkan makan malam sekarang, ya?" tanya Uzma setelah senyum Jaehwan mereda.

"Tapi sudah masuk waktu isha. Lebih baik salat dulu," lanjutnya setelah berhasil menilik jam di arloji yang tersemat di sebelah tangan.

Jaehwan mengangguk. Uzma segera enyah untuk bersiap-siap salat, mengambil wudhu. Namun, baru beberapa langkah dirinya enyah, mendapati Jaehwan yang masih bergeming duduk di sofa, ia menghentikan langkah, membalik tubuh.

"Yeobo," panggilnya dengan muka heran perihal Jaehwan tak kunjung bersegara bersiap-siap.

"Hmm," sahut Jaehwan, menatap balik Uzma dari arahnya.

"Kenapa kau masih duduk manis di situ? Ayo siap-siap," keluh Uzma.

"Oh," sahut Jaehwan seraya melepas arloji yang tersemat di sebelah tangan.

"Iya, sebentar. Kau duluan sana yang siap-siap. Lagi pula aku 'kan imam salatnya, jadi tidak apa lelet sedikit darimu. Biar jadi tidak kebalik juga, malah imam nunggu makmum, kan itu tidak lucu," imbuhnya, mulai meledek Uzma, nyengir.

Tidak mendengkus, tapi Uzma memilih meneguk ludah akan sikap Jaehwan yang pintar ngeles.

"Aku benar, 'kan, Yeobo?" Jaehwan menuntut kebenaran perkataannya pada Uzma setelah arlojinya lepas sempurna dengan kurvaan bibir yang belum pudar.

"Iya, kamu benar, Yeobo." Jawaban Uzma kentara terpaksa.

Jaehwan tertawa renyah. Beringsut mengangkat pantat, tergesa menyusul langkah Uzma.

***

Setelah salat isha berjamaah, Uzma menyiapkan makan malam, dibantu Halima Ahjumma yang menjadi asisten rumah tangganya.

Tidak ada kata minum obat untuk Jaehwan setelah Uzma tahu suaminya itu berbohong perihal sakit kepala, tapi ia mewajibkan Jaehwan untuk langsung tidur untuk menenangkan pikiran.

"Aku harus memposting sesuatu untuk Ray di jam 12 tetap nanti, merayakan ulang tahun mereka yang ke 8, Yeobo," keluh Jaehwan, tidak mau tidur sangat awal seperti titah Uzma.

Uzma menatap tajam Jaehwan, menggeleng. Lalu ia menggered sebelah tangan Jaehwan untuk segera masuk ke kamar.

"Yeobo ...," keluh Jaehwan dengan tubuhnya yang kini sudah berhasil masuk ke kamar.

"Biarkan aku yang mempostinganya di akun Instagram-mu. Tinggal kau instruksikan saja kata-kata seperti apa yang akan kau ucapkan. Foto atau video apa yang harus aku unggah," ucap Uzma. Membuat solusi seraya menyibak bed cover kasurnya untuk Jaehwan agar bersegera membaringkan tubuhnya.

"Masalahnya itu, aku belum punya kontennya, Yeobo." Jaehwan tetap mengeluh dengan muka kusut karena masih tidak bersemangat untuk tidur segera.

Uzma tetap membisu dengan kedua tangan yang sudah berhasil menyibak bed cover, berpikir sesaat, memikir konten.

"Bagaimana dengan cara sederhana saja. Kau membuat finger love dengan boomerang, lalu tinggal diberi caption berisi ucapan selamatmu?" saran Uzma kemudian setelah membalik tubuh untuk leluasa menatap Jaehwan yang berdiri di belakangnya.

Jaehwan tampak mengerutkan kening, berpikir sesaat. Kemudian tersenyum dengan sebelah tangannya menepuk-nepuk kepala Uzma, memberantaki rambut hitam Uzma juga.

"Ide bagus. Istriku memang pintar," komentarnya senang.

Uzma tetap membisu. Memilih mengulas senyum dengan sebelah tangan Jaehwan yang tak jemu memberantaki rambutnya.

Akhirnya sebelum tidur, Jaehwan menyiapkan konten seperti yang Uzma sarankan. Menginstruksikannya pada Uzma. Kemudian bersiap tidur.

"Tidak apa aku tidur, sedangkan kau begadang, Yeobo?" keluh Jaehwan setelah membaringkan tubuh secara sempurna di kasur, setelah menarik bed cover hingga dada.

Uzma yang berada di samping Jaehwan, tetapi dengan pose duduk berselonjor di atas kasur, menengok.

"Tidak apa-apa. Lagian aku juga sudah mempunyai teman," sahutnya seraya memamerkan dengan bangga sebuah novel di tangannya.

"Novel? Menceritakan apa?" tanggap Jaehwan.

"Ini menceritakan petualangan di dunia pararel," sahut Uzma. Seraya menatap sampul novel berwarna putih dengan simbol-simbol rumit. Novel Si Putih karya Tere Liye, seri ke 10 serial novel fantasi Bumi. Petualangan seru Raib, Seli, dan Ali.

Jaehwan mengangguk pelan. Dan Uzma otomatis menceritakan sedikit tentang novel di tangannya yang baru dibacanya setengah jalan. Bercerita dengan sangat lancar dan menggebu, seperti tengah mendongeng.

Jaehwan bergeming menatap khidmat wajah Uzma yang antusias sekali menceritakan perjalanan hebat tokoh dalam novel. Menggebu tanpa melihatnya, justru melihat lurus ke depan, menatap novel Si Putih itu dengan halaman yang ia mainkan buka-tutup. Sebenarnya Jaehwan tidak begitu menyimak kisah yang diceritakan Uzma, ia malah khidmat menikmati furnitur wajah Uzma dari samping, apalagi di letak bibir kenyal yang terus menggerak seperti tanpa henti.

"Anak kecil ini tertinggal sendirian di Klan Polaris yang sudah tersebar pendemi mematikan. Hebatnya dia bisa bertahan dari pandemi itu dan menemukan teman. Temannya ini zeekor kucing warna putih yang memiliki buntut panjang yang indah dan kokoh ...." Cerita Uzma mengambang ketika melengok ke arah Jaehwan, lelaki berwajah oriental itu justru menggumam sesuatu di luar topik pembahasannya.

"Aku menyukaimu, Yeobo ...." Ini adalah kali keduanya gumaman Jaehwan dengan nada bass rendah.

"Mwo? Ada apa denganmu? Jangan menatapku seperti itu. Kau seperti tidak pernah melihatku saja!" cicit Uzma, entah kenapa ia merasa risih dengan tatapan Jaehwan yang seperti orang yang baru jatuh cinta.

Jaehwan tetap bergeming. Menatap dalam furnitur wajah Uzma yang kini tampak sebal dipandangnya seperti itu.

"Ya! Jangan menatapku seperti itu, Yeobo," decak Uzma lagi. Ia bertambah risih saja, lalu menatap lurus ke arah buku yang sembarangan ia buka, pura-pura membaca dalam hati.

Jaehwan malah mengurvakan bibirnya hingga memamerkan lesung pipit yang ada. Ia selalu menyukai laku Uzma yang tengah kesal, hingga bermuka muram begitu. Apalagi di titik Uzma yang barusan tampak salah tingkah saat dipandangnya dengan tatapan bucin. Itu aneh, seharusnya malah ia yang bertanya "seperti kau tak pernah melihatku saja, dipandang seperti ini salah tingkah. Lakumu seperti kita baru menikah tadi pagi".

"Yeobo ...," panggil Jaehwan setelah kurvaan bibir dan lamunnya reda.

"Hmm," jawaban singkat Uzma. Masih pura-pura membaca Si Putih.

"Suatu saat, aku akan menceritakan kepadamu, kenapa aku tetiba ketakutan seperti barusan," ungkap Jaehwan, mulai serius.

Mendengar bukan lagi ledekan yang terlesat dari mulut Jaehwan, Uzma menoleh, menyahuti, "Baik. Kau bisa menceritakannya kapan saja kepadaku saat kau sungguh siap untuk menceritakannya."

Uzma menjeda dengan mengulas senyum tipis. Jaehwan menggangguk pelan.

"Aku memang tidak tahu apa pastinya yang tengah terjadi kepadamu. Tapi ... aku hanya ingin mengatakan, jangan ketakutan dan gelisah lagi. Ada Allah yang bisa dimintai perlindungan dan petunjuk," kata Uzma setelah dirinya beringsut berbaring miring menghadap sempurna Jaehwan.

Jaehwan mengangguk lagi.

"Dan ada aku di sisimu, Yeobo," imbuh Uzma seraya sebelah tangannya menyentuh pipi Jaehwan.

Mendapat sentuhan lembut di sebelah pipinya, Jaehwan tersenyum. Sebelah tangannya beringsut menangkup sebelah tangan Uzma yang berada di pipinya itu. Mengungkap terima kasih. "Gomawo."

Kini tinggal Uzma yang mengangguk pelan sebagai jawaban.

"Sudah saatnya untuk kau tidur." Uzma mulai mencicit seraya sebelah tangannya yang masih ditangkup bergeser ke telinga Jaehwan, jail menjewer telinga caplang suaminya itu. Dan langsung terdengar erangan kesakitan Jaehwan yang dibuat-buat.

"Baik, Istriku yang galak," sahut Jaehwan dengan muka yang dibuat sebal.

Uzma tak acuh dengan timpalan itu yang sebenarnya tengah meledeknya. Beralih membenarkan letak bed cover di tubuh Jaehwan yang sudah merosot, membenah hingga leher. Kemudian, ia beralih mengangkat badannya, duduk berselonjor lagi, meneruskan membaca novel Si Putih.

Jaehwan menurut. Menutup mata. Mencoba tidur. Namun beberapa saat kemudian, nyatanya ia mengerjap lagi, tidak kunjung bisa tidur.

"Yeobo ...." Akhirnya memanggil Uzma yang sudah khidmat membaca novel di tangannya.

"Hmm ...." Uzma menyahut tanpa menoleh ke arah Jaehwan. Tetap fokus membaca--soalnya lagi seru-serunya.

"Apa kau tahu seseorang bernama Changyi?" tanya Jaehwan kemudian tanpa basa-basi.

Mendengar satu nama itu, perhatian Uzma teralihkan, mendadak membaca novel Si Putih tidak lagi seru. Satu nama yang barusan disebut Jaehwan berhasil menarik seluruh perhatiannya dengan hati terhujam tegun dengan tanda tanya besar.

"Changyi?" Tanda tanya besar itu akhirnya dilesatkan oleh bibir Uzma dengan kening mengerut samar. Kelereng cokelat tua matanya yang terbalut softlens tampak antusias akan keingintahuan. Dan entah mengapa, bulu kuduknya terangsang untuk berdiri berjamaah.

Jaehwan mengangguk pelan. Mendadak jantungnya mendebar dengan lebih cepat. "Iya. Apakah kau tahu seseorang bernama Changyi, Yeobo?" ulangnya.

________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro