17. Pertanyaan Jaehwan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Belum lama, Jaehwan mengubah tampilan ruang keluarga rumahnya, melengkapi dengan tatanan rak tak berpintu di dinding. Rak tak tak berpintu yang digunakannya untuk menyimpan koleksi buku-buku Uzma dalam berbagai genre. Pula, sebagai partisi interior rumah dengan tinggi rak yang menjulang dari lantai hingga ceiling.

Malam ini, tampak Uzma tengah melihat buku-buku yang terjajar rapi dalam rak di ruang keluarga. Ia ingin membaca novel yang dibelinya bulan lalu dan belum sempat dibaca karena terkena ulah Jaehwan yang jail sekali, merampas bukunya saat paketan buku itu baru datang dari Indonesia. Kata Jaehwan, suaminya itu menyimpannya di rak ini. Namun, ketahuilah, rak buku berukuran besar nian dengan terdapat ratusan buku yang tertata, ia jelaslah kewalahan mencarinya dengan Jaehwan yang menempatkannya secara asal tanpa ia tahu, tidak seperti dirinya yang selalu meletakkannya dikelompokkan sesuai genre agar mempermudah dirinya mencari.

Sudah sekitar setengah jam Uzma menilik deretan buku di rak yang bisa dijangkaunya. Sia-sia, tidak ada yang ia temukan. Tinggal menilik di bagian tak terjangkau oleh tubuhnya yang tidak begitu tinggi, sekalipun sudah menjinjit dengan mengangkat tangan lepas.

Uzma ber-huh kesal. Merutuki Jaehwan dalam benaknya, berniat pula untuk bermuka murung jika lelaki itu pulang nanti.

Menyempatkan membenahi letak kaca mata, Uzma beranjak ke sudut ruang keluarga, terdapat meja kayu kecil yang memang digunakan untuk tanjakan mengambil buku di rak tinggi di situ. Namun, langkahnya tertahan ketika suara bass familiar memanggilnya.

"Yeobo ...."

Jelaslah, Uzma sudah paham siapa pemilik suara bass itu, Jaehwan. Dan sesuai niat awal, ia hendak bermuka murung ke lelaki itu malam ini. Sekalipun ia tahu, seharusnya tidak demikian dengan Jaehwan yang baru pulang rumah, kelelahan setelah latihan koreografi. Seharusnya ia menyambut suaminya dengan sangat manis seperti biasa.

Diawali menghela napas, Uzma baru membalik tubuhnya untuk menghadap Jaehwan yang berdiri di belakangnya persis. Rambut hitamnya yang dikuncir ekor kuda tampak menggelayut.

"Dimana kau menaruh novel Pulang Pergi-ku, ya?" tanya Uzma, tak jadi bermuka muram mendapati Jaehwan tampak begitu kelelahan.

"Oh, itu," singkat Jaehwan. "Itu. Di situ, Yeobo," lanjutnya seraya menunjuk arah rak buku dengan sebelah telunjuk tangan.

Kedua netra cokelat tua Uzma otomatis mengikuti alur telunjuk Jaehwan. Dan, ya, ia langsung menemukan novel itu.

"Kau dari tadi mencarinya, ya?" tanya Jaehwan. Sempat-sempatnya meledek.

"Bukan hanya dari tadi. Tapi dari kemarin, kemarin, kemarin, dan kemarinnya entah kapan pastinya, sampai aku lupa," keluh Uzma seraya beringsut mencoba mengambil novel Pulang-Pergi, tampak menjinjit dengan sebelah tangan terangkat lepas, tapi tak kunjung ia dapatkan.

Jaehwan tersenyum geli mendapati pemandangan Uzma itu. Segera beringsut ke samping Uzma mengambil novel itu dengan mudah, tanpa menjinjit.

"Makanya tinggi, Yeobo," ledek Jaehwan seraya mengulurkan novel Pulang-Pergi ke arah Uzma.

"Tidak usah membantu jika pada akhirnya mengejek, ya? Aku tidak suka," elak Uzma sembari meraih novel di sebelah tangan Jaehwan.

Bukan minta maaf, Jaehwan malah tertawa ringan.

"Bukan mengejek. Aku mengatakan yang sebenarnya." Jaehwan tetap saja membuat pembenaran. Menepuk pucuk kepala Uzma dengan sebelah tangan. Uzma yang tampak mungil dengan sepasang kaki tanpa wedges atau high heels, bertinggi sedadanya saja.

Uzma mendengkus. "Tak usah berdalih. Kau telah melakukan tindak body shaming terhadapku."

"Aku tidak melakukan body shaming terhadapmu. Serius." Jaehwan tetap saja bisa mengelak. Dan memang benar.

Malas menanggapi, Uzma beringsut ke sofa. Dan Jaehwan tertawa ringan lagi, mengekori Uzma.

"Aku beritahu. Wanita kecil sepertimu adalah kriteria wanita idamanku sebelum menikah, Yeobo. Jadi barusan bukan tindak body shaming, malah sanjungan," jelas Jaehwan setelah berhasil duduk di samping Uzma yang mulai membuka halaman awal novel, memeluk Uzma dari belakang dengan sebelah tangan.

Tanpa melirik ke arah Jaehwan, Uzma menaikkan sebelah alisnya.

"Benarkah? Tapi aku tidak percaya. Justru aku percaya wanita idamanmu adalah seperti Mayleen mantan kekasihmu itu. Cantik, tinggi, bodi S-Line. Ah, sempurna sekali dia."

"Tidak. Kau salah besar. Kriteria wanita idamanku justru yang bertubuh mungil sepertimu. Dan dulu, aku berpacaran dengan Mayleen juga bukan atas dasar cinta." Jaehwan mengatakannya dengan lebih merekatkan pelukan sebelah tangannya.

Lagi, Uzma mengangkat sebelah alisnya dengan netra terus mengilat ke arah novel.

"Oh, ya? Aku tidak percaya. Bagaimana bisa kau tidak tertarik dengan Mayleen yang paripurna pesona cantiknya itu. Berpacaran tanpa dasar cinta? Ah, omong kosong!" celutuknya, "Jadi apa? Atas dasar nafsu?"

Jaehwan tertawa ringan. "Omong kosong menurutmu? Lalu apalagi barusan kau menuduhku? Karena atas dasarnafsu?" Seraya menoleh ke arah Uzma.

"Iya. Aku tidak percaya kau tak menyukainya dulu tanpa cinta ataupun hanya sekedar nafsu karena dia begitu rupawan." Uzma kukuh mengelak.

"Jadi kau tetap tidak percaya padaku, Yeobo?" Jaehwan mencoba memastikan lagi.

"Hmm ...." Uzma menjawab singkat. Sepasang kelereng cokelat tua matanya mencoba tetap fokus pada barisan kata dalam novel Pulang-Pergi yang mengisahkan perjalanan Bujang berkolaborasi dengan Thomas si tokoh dalam novel Tere Liye berjudul Negeri Para Bedebah dan Negeri di Ujung Tanduk.

"Baiklah. Sekarang tatap mataku. Perhatikan. Ada apa dengan mataku malam ini," perintah Jaehwan.

Bukan menurut, Uzma malah tersenyum geli dengan perintah Jaehwan yang seperti dalam drama televisi romansa ataupun novel dan novelet. Kata-kata "tatap mataku" yang klise.

"Aku serius, Yeobo. Kau tak begitu memperhatikanku dari tadi, jadi kau tidak begitu paham ada perbedaan apa pada suamimu ini," keluh Jaehwan. Lalu menghempaskan napas.

Tersenyum geli satu kali lagi, Uzma akhirnya menutup novel di pangkuannya. Membenahi posisi duduk menyamping ke arah Jaehwan agar leluasa menatap suaminya. Hingga tibalah di titik ia menemukan sesuatu di mata sipit Jaehwan. Tepatnya menemukan sepasang mata sembap berkantung yang hampir hilang.

"Kau baru menangis, Yeobo?" Roman muka Uzma berubah khawatir. "Kenapa?"

Jaehwan menyempatkan membisu sesaat dengan menatap dalam netra Uzma, hingga pada akhirnya ia mencakap sebuah hal.

"Barusan kau tak percaya aku berpacaran dengan Mayleen tanpa ada rasa cinta. Jadi, aku kini menunjukkan satu bukti, jika tangisan beberapa saat lalu yang keluar dari mataku, itulah alasan kenapa aku akhirnya menerimanya menjadi kekasihku," ungkap Jaehwan yang berhasil membuat Uzma tertegun, bergandeng dengan sebuah tanya dalam benak perihal, 'Ada apa dengamu?'

***

"Ada apa denganmu, Yeobo?" Akhirnya Uzma melesatkan tanya itu lewat mulutnya.

Jaehwan membisu. Bermonoton menatap dalam Uzma.

"Gwaenchanha?" khawatir Uzma seraya sebelah tangannya mengusap sebelah pipi Jaehwan.

Kukuh membisu. Jaehwan justru memberikan jawaban dengan gerak tubuhnya. Memeluk Uzma erat. Berhasil membuat istrinya paham, jika dirinya baru saja ketakutan. Memeluk seperti halnya dulu saat dirinya disebut pembunuh oleh Jingmi, seperti halnya tempo baru-baru ini dirinya terbangun tengah malam karena memimpikan suara-suara Changyi saat berada di rumah ayahnya. Dengan memeluk istrinya, ia menjadi merasa tenang.

"Katakan apa pun yang ingin kau katakan, Yeobo. Aku paham selama ini batinmu merasa tertekan karena sesuatu, tapi aku tak tahu pasti apa itu," kata Uzma seraya mengelus punggung Jaehwan dengan sebelah tangannya.

Jaehwan tetap membisu dengan bawah dagunya yang kini sudah bersandar pada sebelah bahu Uzma yang terbalut wol cokelat lembut sweater yang dikenakan.

"Bisakah kau mulai menceritakan keresahanmu itu padaku? Agar aku bisa lebih paham lagi bagaimana harus bersikap terhadapmu. Tidak apa-apa. Aku mempercayaimu, Yeobo," imbuh Uzma untuk meyakinkan Jaehwan mengatakan sesuatu.

Masih enggan membuka cakap, Jaehwan justru mengeratkan dekapannya. Ia pejamkan kedua netra sipitnya, mencari kemantapan sekali lagi perihal apakah keputusannya untuk mengatakan segalanya pada Uzma malam ini adalah tindakan yang benar.

"Tidak apa-apa. Aku bukan orang lain bagimu. Kau bisa mengatakan apa pun kepadaku. Aku akan mendengarkannya dengan baik. Setelahnya, aku akan mencoba memahamimu sebaik yang aku bisa. Jangan khawatirkan apa pun lagi, Yeobo," rayu Uzma, tak tertinggal terus mengelus lembut punggung Jaehwan.

Perlahan, Jaehwan membuka netranya setelah menemukan keputusan apa yang akan dirinya lakukan malam ini kepada Uzma. Melepas pelukannya. Menatap dalam Uzma lagi setelah berhasil meraih sebelah tangan Uzma dengan kedua tangannya, menggenggamnya.

"Apa yang akan kau lakukan jika mengetahui suamimu adalah seorang pembunuh, Yeobo?" selidik Jaehwan dengan nada bass-nya yang putus asa.

Lesatan cakap Jaehwan barusan berhasil membuat Uzma terperangah. Bibir terkelu dengan otot-otot tubuhnya yang malah menegang. Menalu-nalu tanya dalam pikiran yang masih enggan dilepaskan lewat mulut.

'Pembunuh? Jadi benar jika muara alasan Changyi bunuh diri adalah kau? Kenapa bisa, Yeobo? Cepat koreksi pertanyaanmu yang menakutkan itu. Jangan membuat pertanyaan seperti mengadili macam ini. Aku sungguh tidak menyukai pertanyaan yang menjadikan peluang kecemasanku selama ini adalah benar. Jadi, cepat koreksi pertanyaanmu itu. Jebal!'

__________________





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro