21. Kematian Changyi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Hyeong," panggil Changyi lagi dari seberang telepon Jaehwan.

Menahan jawab, Jaehwan beringsut duduk dari tidurannya.

"Changyi-ya, mianhae, aku mendiamkanmu selama 3 hari ini," ucap Jaehwan untuk kali pertamanya sambil mengucek sebelah netranya yang berasa gatal.

Tak ada jawaban dari Changyi.

"Bukan karena aku membencimu, bukan, aku hanya ingin sedikit memberimu pelajaran untuk berpikir tanpaku. Ingin mengajarimu, jika bisa saja suatu saat dunia ini bahkan lebih kejam dari keadaanmu sekarang ini. Ketika kau terjatuh sejatuh-jatuhnya, kemudian tak ada seorang pun yang mendukungmu di titik terendah itu, bukan berarti kau harus kalah dengan keadaan, tapi kau harus nekat berdiri sendiri, tak apa kalau sempoyongan pada awalnya, perlahan kau pasti akan mampu kembali berdiri tegak, lantas mendapatkan seseorang yang lebih baik dan berkualitas di sampingmu," lanjut Jaehwan seiring dengan kesadaran yang pulih total, langsung mengata panjang.

Masih sama. Changyi diam khidmat.

"Changyi-ya, jujur, aku kecewa atas perlakuanmu kemarin, tapi aku tekankan lagi, aku tidaklah membencimu, dan aku sudah memafkanmu. Aku paham, keluar dari zonamu yang kemarin itu sulit. Tapi sesulit apa itu, selagi kau ada tekad untuk berubah, tekad keluar dari zona itu, perlahan kau pasti akan keluar juga. Ini hanya soal waktu. Jangan pernah putus asa. Aku sudah memaafkanmu. Tidak apa-apa," jujur Jaehwan.

"Besok malam aku akan berkunjung ke apartemen. Apa kau mau aku bawakan burger kesukaanmu, hmm?" tawar Jaehwan, sebagai kode berbaikan.

Lengang. Changyi masih tak menjawab satu kata pun. Mungkin sebab anak remaja itu terlewat khidmat mendengarkan nasihat Jaehwan.

Hingga berselang sesaat, Jaehwan menemukan keganjilan. Lengang Changyi bukan sebab sesuai atensinya barusan. Samar. Ia mendengar desisan lemah.

"Changyi-ya, Gwaenchanha?" selidik Jaehwan, wajah orientalnya yang kusut lepas bangun tidur itu mulai cemas.

Tetap tidak ada sahutan. Monoton desisan lemah, seperti tengah menahan sakit yang teramat sangat.

"Katakan sesuatu! Kumohon, Changyi-ya! Gwaenchanha? Gwaenchanha, Changyi-ya?!" Khawatir Jaehwan semakin menjadi-jadi. Wajah kusutnya ditumpuk dengan kekeruhan.

Tetap tidak ada jawaban. Pikiran Jaehwan semakin kalut akan ketikadakpastian. Perasaannya semakin resah. Mengatensi jika Changyi tidak sedang dalam mode baik-baik saja. Ia takut sekali jika Changyi mencoba bunuh diri lagi.

Akhirnya, dengan sambungan telepon yang tidak ia putuskan, Jaehwan terseok-seok beringsut, menyambar jaket denim secara asal di lemarinya untuk membalut singlet putih yang tengah ia kenakan, mengenakan handsfree bluetooth ke telinga. Beringsut ke kamar Sejoon, membangunkan paksa maknae Dazzle itu untuk menemaninya ke apartemen Jingmi.

"Changyi-ya, kau masih dengar suaraku, 'kan? Bertahanlah, Changyi-ya. Aku menyayangimu, aku sudah menganggapmu seperti adik sendiri, bertahanlah .... Jingmi juga sangat menyayangimu walau dia memang agak kasar kepadamu, tetapi memang begitulah cara dia mendidikmu, pasti kau lebih paham dariku. Mayleen juga, dia sangat menyayangimu walau kerap mendiamkanmu sepanjang waktu ini, tapi percayalah, kau adalah adik satu-satunya yang dia miliki, yang ingin dia jaga selama hidupnya. Tanpa kau tahu, dia banyak bertanya kepadaku setiap hari, perihal keadaanmu, memastikan kau berkembang dan baik-baik saja. Kedua kakakmu itu sangat menyayangi dan memperhatikanmu, Changyi-ya, dengan caranya masing-masing. Bertahanlah. Jebal ...."

Kalut. Bertambah was-was. Begitulah yang dialami Jaehwan kini yang tengah mengendarai mobil, membelah jalanan tengah malam Seoul yang tetap ramai, menuju apartemen Jingmi dengan Sejoon yang menyupir. Terus menceloteh menyemangati Changyi di telepon, sekalipun ia sungguh tak tahu benar apa yang tengah terjadi pada Changyi.

"Sejoon-ie, coba kau telepon Mayleen, suruh dia memeriksa Changyi segera," perintah Jaehwan dengan frustasi karena meluputkan menghubungi Mayleen lebih awal untuk memastikan keadaan Changyi.

Gesit, Sejoon menelepon Mayleen. Jaehwan terus mencoba berbicara pada Changyi yang bahkan desisannya semakin melemah, nyaris tak terdengar oleh gendang telinganya.

"Mayleen sudah memeriksa Changyi di apartemen, Hyeong. Dan Changyi tidak ada di apartemen. Katanya, ternyata Changyi belumlah pulang sekolah, Mayleen baru sadar, karena ia tidur lebih awal sebelum Changyi pulang," lapor Sejoon beberapa saat kemudian, usai menghubungi Mayleen.

Jaehwan kesal sekali. Tak habis pikir akan Mayleen begitu ceroboh dengan tidak memperhatikan Changyi sudah pulang sekolah atau belum di saat keadaan seperti ini, di saat Changyi mengalami stres dan pernah mencoba bunuh diri, di saat Jingmi sedang tidak ada sebab tengah menghadiri Shanghai Fashion Week.

"Suruh dia untuk memeriksa di luaran apartemen, Sejoon-ie. Dan, ya, periksa juga atap apartemen. Aku sungguh takut dia nekat untuk bunuh diri lagi," titah Jaehwan. Ia mengatakan apa pun yang tengah berkelabat di pikirannya yang semakin was-was.

"Sedangkan, kita putar arah. Segera menuju BHS, Sejoon-ie," lanjut Jaehwan setelah menarik napas.

Sejoon gesit mengindahkan titah dengan kemudinya.

"Apa pun yang tengah terjadi padamu, Changyi-ya, bertahanlah, jebal ...," mohon Jaehwan pada Changyi, penuh pengharapan.

***

BHS dalam balutan malam yang matang, tampak megah dengan damai.

Diiringi dengan semilir angin malam, Jaehwan, Sejoon, dan seorang lelaki paruh baya penjaga BHS berpencar mencari keberadaan Changyi ke penjuru BHS. Tak terlintas sedikitpun untuk menyempatkan mengecek CCTV untuk memudahkan pencarian mereka bertiga.

Teriakan menyebut nama Changyi terlesat dari mereka bertiga. Terkecuali Jaehwan yang sabar mencoba terus berbicara pada Changyi lewat telepon, berharap Changyi membuka suara memberi kode.

Saking cemasnya dan merasa bersalah karena telah mendiamkan Changyi, membuat adik Jingmi demikian dengan ketidakpastian, kedua netra Jaehwan sudah berkaca-kaca.

"Kau di mana, Changyi-ya?" bass Jaehwan dengan putus asa. Kedua kakinya melangkah keluar dari area gedung ke halaman belakang BHS yang luas. Netranya yang mengembun waspada dengan apa pun yang dilewatinya.

Beberapa saat terjebak dalam ketikapastian dalam balutan damai BHS yang ternyata mencekam, akhirnya Jaehwan menemukan keberadaan Changyi. Tergeletak lemah, bersimbah darah di pinggiran halaman belakang.

"Changyi-ya!" teriak Jaehwan, lari secepat mungkin ke arah Changyi. Nanar nian mendapati keadaan Changyi saat ini yang sulit dijelaskannya.

Segera Jaehwan menekuk tubuhnya, meraih kepala Changyi, menyandarkan kepala Changyi ke pangkuannya.

Embunan di kedua netra Jaehwan jatuh sudah saat bola mata Changyi masih terbuka, menatapnya setengah sadar dengan mulut, lubang hidung, dan telinga yang deras mengucur darah segar hingga berhasil mengotori sebagian jas almamater kuning BHS yang dikenakan, serta kepala bocor. Tak luput, sebelah tangan lemah tenaga yang kukuh menggenggam ponsel yang masih tersambung telepon dengannya.

"Kau akan baik-baik saja, Changyi-ya. Bertahanlah. Kumohon ....," perintah Jaehwan dengan kekalutan yang berlipat-lipat. Kemudian berteriak memanggil Sejoon dan penjaga sekolah.

Rasa sakit tak terperikan dalam tubuh Changyi semakin menyiksa dengan tulang belakangnya yang terasa remuk, kepalanya yang tercedera parah, bocor itu. Namun, sedikit terobati dengan kehadiran Jaehwan. Terobati juga dengan celotehan-celotehan Jaehwan dalam telepon barusan itu yang banyak menyemangatinya. Pula senang sekali mendapati fakta bahwa kedua kakaknya masihlah menyayangi dan mempedulikannya dengan "cara masing-masing" yang selama ini ia keliru menafsirkan.

Tubuh Changyi semakin melemah. Ingin sekali mengatakan sesuatu, tapi ia tidak mempunyai daya. Alhasil, air mata yang berbicara.

"Bertahanlah, Chanygi-ya, kumohon ...," rintih Jaehwan setelah menelepon nomor darurat 119 untuk meminta bantuan ambulans segera datang. Teriring derap tergesa Sejoon ke arahnya. Disusul Mayleen yang pula datang ke lokasi dengan lebih cepat di luar atensinya.

Mayleen langsung menangis deras mendapati keadaan nahas Changyi. Tubuh tinggi rampingnya yang mengenakan piyama ungu kotak-kotak lunglai, tertekuk di samping Changyi.

"Changyi-ya, mianhae ...," rintih Mayleen sembari menyambar sebelah tangan Changyi. "Jeongmal mianhae, Changyi-ya. Bertahanlah ..., kumohon ... Aku bersumpah tidak akan pernah mendiamkanmu lagi seperti sebelumnya. Bersumpah akan lebih memperhatikanmu lagi. Bertahanlah .... Kau akan segera sembuh dengan hipnoterapi klinis besok," lanjutnya dengan air mata semakin menghujan, dengan Sejoon menekuk tubuh di sampingnya terundung sikap linglung.

Terdengar derap langkah penjaga sekolah yang baru tiba di tengah-tengah pilu yang ada.

Edaran mata Changyi berkelok perlahan ke arah Mayleen. Menatap dalam kakak perempuannya itu yang tengah menangisinya dengan ragam rasa rancu yang menyesak dada. Yang menyesakkan pula dadanya akan sebuah sesal atas tindakan bodoh yang baru saja dirinya lakoni, berharap ia masih diberi kesempatan bernapas lebih lama lagi, membenah diri bersama orang-orang yang ia sayangi, membahagiakan mereka.

Namun, garis takdir Changyi ternyata tidaklah seindah semoganya yang baru ia ralatkan. Kesemogaan bernapas lebih lama hanya berlaku beberapa saat ke depan.

Tibalah pada titik ia akhirnya tidak lagi mempunyai kesempatan banyak, tersisa mengucapkan selamat tinggal pada dunia. Terkesempatan hanya untuk menyimak bergantian wajah Jaehwan dan Mayleen yang sudah banjir air mata, menemukan kepedulian besar di bola mata mereka berdua untuknya. Mengumpulkan daya penuh untuk bibir pucatnya membuka suara, walau lemah nian.

"Go ... ma ... wo ...."

Ucapan lemah nan lirih itulah yang akhirnya berhasil keluar dari mulut Changyi yang terkotor darah, sebelum akhirnya anak remaja itu menatap lepas langit malam yang tampak damai. Perlahan kedua netra sipitnya mengabur, lalu melesap penglihatannya seiring dengan rohnya yang terlepas dari raga.

Selamat tinggal pada dunia. Tak ada lagi sebuah penjelasan dari Changyi untuk orang-orang terdekat yang ia tinggalkan.

Kecuali lewat perantara satu benda mungil. Ponsel Jaehwan.

Remaja putus asa ini sebelumnya sudah mengirim sebuah pesan suara pada Jaehwan sebelum terjun bebas dari atap gedung BHS.

Pesan suara; sebuah perpisahan yang sudah direncanakan.

_______________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro