28. Syahrun Mubarak

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dazzle masih dalam mode hiatus setelah tur konser dunia, alias liburan panjang untuk melepaskan bagaimana lelahnya aktivitas super padat mereka di waktu-waktu kemarin yang bahkan lebih banyak beraktifitas di luar negeri.

Untuk menyegarkan rasa stress dan kelelahan secara fisik ataupun mental, mereka memanfaatkan liburan dengan baik; menghabiskan waktu bersama keluarga, berkumpul dengan teman-teman di luar Dazzle, atau barangkali berwisata domestik atau pun manca negara, bahkan ada pula yang mengisi dengan mukbang.

Sekarang adalah bulan Ramadhan. Tepatnya hari pertama Ramadhan. Uzma memasak menu spesial ala Indonesia untuk berbuka puasa; salah satunya opor ayam. Untuk takjil, Uzma menyiapkan es dawet hitam.

Ramadhan di Korsel sangatlah berbeda dengan di Indonesia. Pasalnya umat Islam di Negeri Gingseng ini adalah minoritas dan juga lebih panjang waktu puasanya sekitaran 3 jam. Namun, yang menyenangkan adalah saat Ramadhan tiba, masjid-masjid di Korsel menjadi penuh oleh Muslim dari berbagai etnis, bahkan biasanya pihak Masjid Pusat Seoul juga menyiapkan makanan buka puasa secara gratis untuk para jamaah, doa malam bersama, hingga menggelar lomba MTQ.

"Wesamchon kenapa belum datang, padahal sebentar lagi berbuka," keluh Jaehwan tatkala Uzma sedang mempersiapkan takjil di meja makan.

"Mungkin Zahid mampir membeli sesuatu di jalan untuk berbuka, Yusuf-ie," sahut Nyonya Noura, menepuk bahu Jaehwan yang tengah gusar dengan duduk di kursi meja makan.

"Coba telepon, barangkali tersesat di jalan," nimbrung Uzma yang masih sibuk mengurus takjil.

"Tersesat di jalan? Kau meledek saja, Yeobo," cicit Jaehwan sembari berkutat pada ponselnya, mengikuti saran Uzma untuk menelepon Zahid.

Uzma mengidikkan bahu. "Iya, barangkali. Sah-sah saja, kan?"

Jaehwan mendengkus gemas ke arah Uzma seraya menunggu panggilan telepon diangkat oleh Zahid. Nyonya Noura yang sedang membantu Uzma menyiapkan takjil tersenyum melihat 2 anaknya itu.

"Assalamu'alaikum, Wesamchon, di mana kau? Kau lama sekali. Kau tersesat di jalan?" Jaehwan mengikuti ledekan Uzma.

"Wa'alaikum salam. Tidaklah. Aku sedang membeli patbingsu untuk kalian."

"Buat apa membeli patbingsu? Di sini sudah ada es dawet hitam yang enak sekali buatan tangan istriku."

"Es dawet hitam?"

"Iya. Pasti kau belum tahu 'kan apa itu es dawet hitam?"

"Ah, iya, belum. Sepertinya tak kalah enak dengan patbingsu, ya?"

"Iya. Dan karena ini buatan istriku, jadi enaknya jelaslah berlipat-lipat dari patbingsu yang sedang kau beli, Wesamchon."

"Oh, baiklah, tetapi aku terkadung membelinya."

"Tidak masalah. Umma sangat menyukai patbingsu, pasti beliau akan sangat senang kau membawanya. Dan aku dan istriku juga pasti akan memakannya. Jangan khawatir. Ya, kami menyukai patbingsu sekalipun dalam keadaan kenyang." Jaehwan tertawa.

"Baiklah."

"Cepatlah ke sini. Sebentar lagi waktu berbuka tiba."

"Tunggulah sebentar lagi, aku sedang berada di perjalanan. Wassalamu'alaikum ...."

"Wa'alaikum salam ...."

Sambungan telepon terputus.

***

Jaehwan seperti bocah. Ia melibas apa pun yang ada di meja makan dengan porsi besar. Uzma hingga terheran dengan polah Jaehwan yang kekanakan ini, seperti bocah umuran 7 tahun saja yang sedang belajar puasa seharian, berbuka dengan rakus.

"Kau masih siap menghabiskan satu porsi patbingsu?" ujar Uzma tatkala mendapati Jaehwan yang sudah kekenyangan, menyambar satu mangkok pantbingsu; alias es serut khas Korea dengan isi kacang merah, gula, dan susu kental manis.

"Kasihan Wesamchon yang membelikan jika tidak dimakan, Yeobo," timbal Jaehwan, menyuap satu sendok patbingsu.

"Tapi kau sudah kekenyangan. Kau bisa memakannya nanti saja setelah tarawih," keluh Uzma yang duduk di kursi samping Jaehwan.

Jaehwan abai. Ia justru menyendok patbingsu dan menyuapkannya pada Uzma sembari berkata, "Ya sudah. Sekarang lebih baik bantu aku menghabiskannya."

Uzma hanya menurut.

"Sekarang giliran Umma yang harus membantuku menghabiskannya," ujar Jaehwan kemudian, beringsut berjalan ke arah Nyonya Noura yang duduk berhadapan dengannya, bersampingan dengan Zahid.

Sembari membawa mangkuk, Jaehwan menyuapkan patbingsu ke Nyonya Noura.

"Sudah. Kau kembalilah ke kursimu. Kau malah jadi berjalan-jalan saat kita makan, Yusuf-ie," titah Nyonya Noura kemudian setelah menelan patbingsu suapan Jaehwan. Dan berakhir mendapat cengiran Jaehwan.

"Kau mau aku suapi, Wesamchon?" tawar Jaehwan setelah beralih ke samping Zahid.

"Tidak. Buat apa disuapi olehmu. Malas sekali," komentar Zahid, menyuap kurma.

Jaehwan cemberut. Uzma tersenyum geli mendapati penolakan Zahid untuk Jaehwan.

"Iya, sebenarnya juga aku malas menyuapimu, hanya saja aku kasian jika kau tidak ditawari sendirian olehku," balas Jaehwan.

"Seharusnya juga kau mulai memikirkan untuk menikah, Wesamchon, agar ada yang memerhatikanmu. Lihatkah, hanya karena begini saja kau sensitif, pasti kau sedang kurang perhatian," celutuk Jaehwan setelahnya.

Mendengar itu, Zahid hampir tersedak kurma yang ia makan. Cukup kesal dengan omongan Jaehwan yang ia paham jika itu hanya ledekan. Dari dulu Jaehwan memang suka meledaknya untuk menikah karena dirinya jarang kenal dengan yang namanya perempuan. Pula senang meledekinya sensitifan sebab dirinya yang bertipikal cukup seriusan dan dingin menjadi manusia.

"Ya!" Akhirnya Zahid mendecak seperti itu pada Jaehwan.

Jaehwan takut-takut dengan sialnya malah tertawa ringan. Duduk kembali di kursinya. Menyuapkan patbingsu ke mulut Uzma. Nyonya Noura geleng-geleng kepala mendapati polah Jaehwan yang masih saja kadang-kadang kekanakan seperti ini.

***

Mereka berempat tarawih di Masjid Itaewon. Setelah selesai salat tarawih, Nyonya Noura yang memang niatnya menginap di rumah Zahid, pulang ke rumah Zahid. Jaehwan dan Uzma pulang ke rumah mereka. Lantas tak berselang lama, Jaehwan pamit pergi pada Uzma untuk ke rumah Jee.

"Bagaimana kabar puasamu? Lancar, Jaehwan-ah?" tanya Bora saat 4 member Dazzle sudah berkumpul di ruang keluarga rumah Jee.

Jee dan Jingmi tampak pergi untuk menyiapkan alat-alat untuk membuat BBQ.

"Lancarlah," ujarnya.

"Berhentilah meledekiku karena dulu aku pernah tertangkap basah berbuka saat siang, Bora-ya. Dulu itu karena badanku tidak enakan. Aku sakit, heh!" cicit Jaehwan, melirik sinis ke arah Bora yang sedang sibuk main game online di ponselnya.

Tersenyum tipis. Bora tetap sibuk memainkan game online di ponselnya sembari meledek, "Tapi palingan sakitmu pusing ringan, 'kan? Dasar kaunya saja yang memang suka beralasan!"

Jaehwan kesal, mendecak, "Ya!" Seraya meninju sebelah bahu Bora.

"Sekarang kau puasa penuh palingan karena takut pada istri," celetuk Bora, bibirnya melengkung simetris dengan jail.

Jaehwan semakin kesal. "Jaga omonganmu, Bora-ya!" Meninju sebelah bahu Bora lagi. "Urus saja kelopak mata hitammu itu. Eyeliner-nya luntur tuh!"

"Jelas sekali kau berbohong, Jaehwan-ah. Jelas-jelas sehari ini aku tidak memakai eyeliner."

"Tapi--"

"Ayo cepat ke taman belakang. Kami sudah menunggu kalian dari tadi, tahu!" interupsi Jee saat kembali, sembari kedua tangannya memegang penjepit makanan.

Adu omongan Jaehwan dan Bora terpenggal, melirik berjamaah pada Jee, nyegir bersama juga. Lantas beringsut mengekori Jee ke taman belakang rumah.

Sesampainya di taman belakang rumah, mereka mendapati Jingmi sedang menyiapkan kompor portable di atas meja, yang mana meja itu ditata di atas tikar yang digelar di area rerumputan cepak.

Seperti biasa, Jaehwan paling cakap dalam masalah membantu Jingmi, berlari kecil ke arah Jingmi, membantu menaruhkan hot plate ke atas kompor.

Bora dan Jee memilih mengambil daging halal, saus, ssam garnish, nori, dan bumbu-bumbuan, hingga kimchi di pantry.

"Ada salam dari Zicco Hyeong, Jingmi-ya. Katanya dia sudah rampung membuat demo lagu untukmu yang untuk proyek kolaborasi dengan Kenzo. Besok siang dia akan memberikan rekaman demo itu kepadamu," ujar Jaehwan tatkala mereka sedang menata mangkok kecil di meja bersama.

Seperti biasa, Jingmi membisu untuk abai, malah beringsut menyusul Jee dan Bora di pantry.

Jaehwan menatap punggung Jingmi yang menjauh dengan batin ngenes. Namun, sudahlah .... sudah terbiasa diabaikan.

Tak berselang lama, Jee, Bora, dan Jingmi kembali dengan membawa sesuatu yang diambilnya di pantry. Mereka bergegas membuat BBQ daging sapi halal di malam ini yang tak lain adalah malam kedua Ramadhan.

Riuh tawa sesekali menghampar mereka berempat selama sesi memanggang dan memakan BBQ. Siapa pun yang melihat kebersamaan mereka saat ini, pasti tidak ada yang menyana kalau di antara mereka sedang ada yang berseteru, memendam problematika.

Aih, sebenarnya ada rasa getir yang terkecap Jaehwan tatkala mendapati mereka tertawa bersama seperti sekarang, makan bersama seperti sahabat yang akur, seketika ia menjadi rindu momen dulu kala.

Sebenarnya siapa yang harus disalahkan di sini tatkala dirinya sudahlah mengakui semua kesalahannya terhadap Changyi dan berkali-kali meminta maaf kepada Jingmi? Sebenarnya apa yang harus diupayakannya lagi tatkala upaya-upaya barusan itu tidak bisa diterima oleh Jingmi? Sebenarnya apa yang harus dilakukannya lagi setelah dirinya sabar bertahun-tahun mendapati sikap tak acuh Jingmi padanya? Ah, apakah jawaban tertepatnya adalah dengan menghidupkan kembali orang yang sudah mati? Apakah cara absolutnya adalah dengan kembali ke masa lalu untuk memperbaiki tragedi kematian Changyi?

Tawa Jaehwan lesap setelah pikiran semrawutan itu mendadak hadir. Netra sipitnya mengamat bagaimana senyum simetris Jingmi begitu tulus untuk Bora dan Jee, mengamat bagaimana mana air muka cerah Jingmi dalam kebersamaan ini untuk Bora dan Jee.

Dada Jaehwan menjadi ngilu. Ia sungguh merasa semua ini tidaklah adil baginya, tetapi dirinya bisa apa?

Jaehwan menelan BBQ dengan sukar, lalu meminum teh lemon hangatnya dengan malah rasa hambar yang ia rasakan. Bora, Jee, dan Jingmi sibuk asyik menostalgia zaman mereka awal debut yang mana Bora suka sekali ngelindur di dorm.

Rasa rindu ini dengan kehangatan di dulu kala, kapankah akan terobati? Jaehwan sungguh sudah lelah dengan kepalsuan hangat dengan Jingmi di Dazzle.

Bulan ramadhan syahrun mubarak, 'kan? Dan menjadi bulan mustajabah untuk berdoa? Jadi, bisakah mustajabkan doanya kini perihal berbaikan dengan Jingmi?

Jaehwan meneguk ludahnya getir, tetapi asanya yang sempat kendor saling mengikat kuat lagi. Baiklah, ia akan berupaya lagi, berdoa lebih khusuk di syahrun mabarak ini.

'Semoga, problematika ini kunjung usai. Aamin.'

_______________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro