03

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Aku tak percaya Jendral Aiber melakukan ini padaku!" kata Selena jengkel sambil menendang kerikil yang menghalangi jalannya,

"Seharusnya kau sudah bisa menduganya, Selena," Horace menanggapi. "Kita bukan sedang main perang – perangan seperti di akademi dulu."

"Tapi setidaknya dia bisa memberi kesempatan padaku, kan? Lagipula Alan cuma diam saja. Dia seharusnya bisa membujuk ayahnya untuk memberiku wewenang atas pasukan yang baru saja ditinggal mati kaptennya, atau siapapun," omel Selena tidak peduli. "Memangnya mereka pikir aku ini siapa?"

Horace memilih untuk tidak menanggapinya, ia mengantar Selena ke salah satu tenda kecil dengan warna hijau gelap. "Kau belum bisa mendapatkan pasukan kapten Elias, tapi setidaknya kau bisa tinggal di tendanya untuk sementara." Horace menyibak pintu tenda. "Istirahatlah, Jendral Somerville mungkin mengatur tugas dan penempatanmu lagi nanti."

Masih merasa sebal, Selena ikut mengintip bagian dalam tenda. Tempat itu memiliki atap yang lumayan tinggi, tapi ruangannya hanya cukup untuk satu orang berbaring. Beberapa sampah seperti perban bekas, pecahan mangkuk, dan sebuah pisau yang patah yang tertinggal di sana.

"Tidak masalah," kata Selena. "Setidaknya tempat ini hangat dan bisa untuk tidur."

" Aku harus pergi sekarang. Tidak lama lagi Jendral akan memanggil para kesatria kembali untuk mendiskusikan rencana perang besok," ujar Horace. "Semoga harimu menyenangkan."

Selena masuk ke tenda dan Ia membereskan sampah di sana kemudian berganti pakaian ke gaun cokelat sederhana. Ia menghamparkan kain sebagai alas tidur dan berbaring dengan buntalan pakaian yang menyangga kepalanya. Awalnya terasa keras dan tidak nyaman, tapi setelah beberapa kali membalikan tubuh, akhirnya Selena terlelap.

Udara dingin membuat Selena bangun, ia mengintip keluar dan langit ternyata sudah gelap. Sebagian besar prajurit berkumpul di api unggun yang tersebar di penjuru perkemahan, dan beberapa orang berkeliling membagikan jatah makan malam untuk mereka.

Setelah mendapat roti dan daging kering bagiannya, ia menggabungkan diri di api unggun milik perkemahannya. Di sana hanya ada seseorang pemuda kurus dan berwajah penuh bintik kecil, duduk dengan gemetar.

"Kau sudah makan?" Selena memandangi laki–laki itu.

Pemuda itu terkejut dan nyaris menumpahkan gelas minum yang dipegangnya. "K-kau siapa?" ia bertanya. "K-kau, per-perempuan?"

"Ya, aku perempuan," jawab Selena tenang. Sosok pemuda di depannya ini serapuh sebatang gandum, membuatnya merasa kasihan,"dan aku seorang ksatria. Ada masalah?"

"Ti-tidak," prajurit itu menjawab. "Tidak ada. M-maafkan aku, Nona Ksatria."

"Kau kelihatannya kurang sehat." Selena memperhatikannya.

"A-aku hanya sedikit gu-gugup. Ah, omong – omong na-namaku Carmelo, aku dari wilayah Glenshire. Si-siap melayani anda."

Selena nyaris menyemburkan roti yang ia kunyah karena ingin tertawa melihat tingkah Carmelo. Pemuda itu mengingatkannya kepada kadet tingkat satu yang diteriaki komandan mereka yang galak di akademi.

"Kau bisa memanggilku Selena," katanya memperkenalkan diri. "Jadi, apa masalahmu?"

Carmelo menghela napas dalam-dalam, "aku ... takut." Suaranya lebih tenang sekarang "Perang ... aku belum pernah membunuh orang selama ini. Apa kau tidak takut, nona Selena?"

"Sedikit," ucap Selena. "Kalau kau takut, kenapa jadi prajurit? Kau bisa cari pekerjaan lain. Petani atau pedagang misalnya."

"Aku ingin mendapat restu Kailos," jawab Carmelo. "Orang tuaku mengajarkan dari dulu, Kailos akan menghargai orang yang pemberani terutama yang gugur di medan perang membela nama-Nya."

Kailos, sang penjaga manusia. Selena sering mendengar nama itu di pelajaran yang di akademi tempatnya dulu. Ia adalah satu dari empat penjaga semesta, selain Aethyr pelindung alam yang dihormati kaum elf, juga Gerowyn pembela kaum Dwarf, terakhir adalah Morgrath. pengkhianat yang menciptakan Orc, Troll, dan Ogre.

Selena bukan orang yang fanatik, tapi ia juga tidak mengabaikan kepercayaannya begitu saja. Beberapa hari sekali ia berdoa di kuil para pendeta, tetapi sejauh ini. Selena tidak pernah berpikir untuk menjadikan restu Kailos sebagai alasannya untuk bertempur. Andai restu Kailos itu memang ada, ia akan meminta agar ibunya dilenyapkan.

"Satu-satunya keberanian dalam perang adalah untuk tetap hidup," kata Selena setelah menelan potongan terakhir daging keringnya. "Kau juga, berusahalah untuk menjaga nyawamu nanti jika perang terjadi."

Carmelo tersenyum, wajahnya jadi terlihat lebih cerah. Selena menepuk pundaknya untuk sekadar memberi semangat sebelum beranjak pergi dari sana.

Tidur siang yang cukup lama membuat Selena tidak mengantuk lagi. Ia akhirnya memutuskan berkeliling perkemahan siapa tahu ia bisa bertemu dengan Alan, tapi yang ia lihat hanya para prajurit yang berkeliling untuk melakukan patroli.

Selena berjalan-jalan lebih jauh menuju ujung perkemahan, kali ini dua buah tenda besar dengan sulaman warna hijau dan berdiri agak jauh satu sama lain menarik perhatiannya. Tenda itu terlihat terang karena lentera yang menggantung di sisi pintunya. Samar – samar dari sana, tercium wangi tajam campuran antara rempah, bunga, dan dupa.

Seseorang keluar dari salah satu tenda itu, membuat Selena menyembunyikan dirinya di balik tenda terdekat. Ia menjulurkan kepala untuk mengintip, dan mengenali sosok yang baru keluar. Itu adalah Penyihir Agung Gladius.

Gladius sama seperti yang Selena lihat tadi siang, hanya saja rambut putih dan janggutnya sedikit berantakan. Ia seperti baru bangun tidur. Mau kemana dia di malam seperti ini?

Rasa penasaran membuat Selena mengendap – endap mengikuti penyihir agung. Gladius keluar dari perkemahan, melewati penjaga, lalu masuk ke dalam hutan. Selena juga mau melakukan hal yang sama. Begitu kakinya melangkah, sepasang tangan menutup matanya, membuat Selena nyaris menjerit.

"Alan!" kata Selena dengan nada tinggi begitu tahu siapa yang berdiri di belakangnya. "Astaga, aku nyaris mati kaget! Sedang apa kau di sini?"

"Kau sendiri, kenapa malam-malam begini ada di depan kemah Penyihir Agung?" Alan tersenyum. "Anak perempuan tidak boleh tidur larut."

"Yeah," dengkus Selena sebal, "dan tidur malam–malam juga jelek untukmu, ksatria lulusan terbaik akademi."

Alan tertawa, suaranya renyah sekali. Ia menggandeng Selena ke depan tendanya dan mereka duduk di sana, beralaskan rumput yang lembab dan angin malam yang menusuk tulang.

"Kenapa kau mengikuti Penyihir Agung?" tanya Alan penasaran.

"Aku hanya mau tahu kemana Penyihir Agung pergi," kata Selena. "Ada masalah?"

"Mungkin ia pergi hanya untuk menenangkan dirinya. Orang seperti beliau punya banyak hal dipikrkannya," kata Alan, ia memandangi Selena yang seolah - olah tidak mendengarkan. "Kau masih marah karena tadi siang?"

"Aku hanya sedikit kesal," kata Selena.

Alan tertawa. "Itu sama saja. Kau marah karena ayahku tidak mengikutkanmu dalam pasukan besok?"

"Aku tidak datang ke sini cuma untuk mencatat perbekalan atau mondar mandir menjaga di perkemahan," balas Selena. "Aku seorang kesatria, sama seperti yang lain. Apa hanya karena aku ini seorang perempuan?"

"Pasti membosankan rasanya ada di sini selagi yang lain pergi." Alan sepakat. "Tapi aku yakin alasan ayah bukan itu."

"Kalau begitu, apa? Aku tidak kalah dari siapapun dalam bertarung. Cuma kau yang bisa menandingiku dalam duel pedang dan tombak, nilai memanah dan berkudaku juga tidak jelek. Kita bertarung bersama, memenggal kepala para orc biadab itu. Kita pasti-"

Telunjuk Alan mendarat di bibir mungil Selena, hal itu cukup ampuh untuk menghentikan bicaranya yang seperti burung yang merepet. Selena terdiam, sehingga hanya menyisakan suara jangkrik yang bernyanyi. Raut wajah Alan sekilas terlihat tegang.

"Aku yang memintanya," Alan mengakui. "Aku juga yang minta ayah untuk mengatur agar kau ditugaskan ke ibukota sebagai kepala pengawal."

"Apa?" Suara Selena meninggi."Jadi kau yang-"

"Selena, dengarkan aku dulu. Tolong."

"Kalau begitu, jelaskan!" sembur Selena. "Atau aku mungkin harus mematahkan satu atau dua rusukmu agar kau juga tidak bisa ikut perang besok?!"

Alan mengangkat wajahnya melihat langit malam. "Sejujurnya, aku takut sekali," katanya."Ini perang pertamaku, lawan kita adalah ciptaan dari Dewa yang berkhianat. Mereka brutal dan kejam. Belas kasihan seperti apa yang kau harapkan dari para Orc yang tidak punya akal sehat?"

"Kalau begitu, bilang pada ayahmu agar mengizinkan aku bertempur." Selena mengulang permintaannya. "Biar aku membantumu."

Alan menggeleng. "Justru karena itu, aku tidak bisa membiarkanmu pergi." ia menggenggam jari Selena. Membuat jantung gadis itu serasa mau melompat ke luar. "A-aku lebih takut untuk kehilanganmu .... Melihatmu terluka dalam perang besok, adalah hal terakhir yang ingin kulihat."

Mendengar hal itu, seluruh tubuh Selena langsung terasa panas dari ujung rambut sampai jari kakinya. Dadanya hampir meledak karena tekanan yang sangat kuat. Ia tidak salah dengar, kan? Pemuda di sampingnya ini menyatakan perasaan padanya? Apa ia sedang bermimpi atau mengalami ilusi para Shaman?

"Alan, maksudmu-."

"Setelah semua orc ditumpas." Alan tidak memberi kesempatan Selena melanjutkan bicaranya. "Kau mau menikah denganku? Aku akan bicara pada orang tuaku dan ibumu setelah ini selesai. Nanti, tidak ada yang lain lagi, hanya kau dan aku. Bagaimana?"

Selena seperti melayang di awang–awang mendengar permintaan itu. Ia melingkarkan lengannya di leher Alan dan mengecup satu pipinya, membuat wajah Alan jadi semerah buah ceri.

"Itu jawabanku," ujar Selena dengan senyum lebar.

Alan membalasnya dengan senyum paling manis yang pernah dilihat Selena. Ia nampak lega, seolah beban di pundaknya menghilang dalam sekejap. Alan kemudian balas mencium kening Selena dengan lembut.

"Ini adalah janjiku untuk kembali kepadamu setelah perang ini selesai. Berdoalah kepada Kalios agar besok aku pulang dengan selamat."



===============

Agak dag dig dug juga waktu nulis adegan romantis di akhir bab, jadi saya berusaha membuatnya sesederhana mungkin tapi tetap kerasa sweet-nya, hahaha maklum saya ini jomblo menahun jadi harus membayangkan dengan susah payah. 

Terima kasih sudah membaca bab ini, saya sangat mengharapkan komentar untuk perbaikan cerita dan vote jika kalian menyukai bab ini.

m(_ _)m

===============

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro