08

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah percakapan mereka, Krall memanggil dua orang pengawal untuk membawa Selena pergi.

Langit mulai berubah menjadi jingga saat Selena keluar dari aula besar itu. Awalnya Selena menduga ia akan dirantai, lalu dimasukan ke sebuah tempat penyekapan untuk menunggu keputusan selanjutnya dari Krall, tapi kenyataannya tidak.

Ia diantar oleh pengawalnya kembali ke rumah Krall, kemudian ditinggalkan begitu saja di sana. Begitu Selena masuk, Kaila sedang memotong-motong segelondongan daging sebesar lengan pria dewasa dan berwarna merah cerah menjadi beberapa bagian yang lebih kecil. Mungkin untuk makan malam, pikir Selena. Ia mulai merasa dirinya diperlakukan bukan sebagai seorang tawanan.

"Mau kubantu?" Selena akhirnya menawarkan diri ketika melihat Kalia berdiri dengan susah payah. "Tidak baik untuk wanita yang sedang mengandung bekerja terlalu keras."

Kalia menggeleng pelan. "Aku biasa melakukan ini sendiri, dan sebaiknya kau istirahat. Lukamu belum sembuh benar, pasti pertemuan dengan suamiku sangat melelahkan. "

"Aku memaksa," Selena bersikeras. "Ada yang bisa aku bantu?"

"Kalau begitu, bisa tolong ambilkan kendi berisi madu di sana?" Mata Kaila mengarah ke tumpukan kendi tanah liat di seberang ruangan. "Aku butuh bumbu untuk memanggang daging ini."

Selena mengambil kendi yang ditunjuk Kalia. Begitu membuka tutupnya, aroma manis keluar menyengat dan menggelitik penciumannya. Kaila lalu mengoles madu ke daging yang ditusuk sambil memutarnya  di atas api unggun.

"Kau tidak bilang kalau suamimu itu Krall'dzur sang kepala suku," kata Selena sambil duduk bersandar di dinding ruangan. "Kenapa?"

"Karena kau tidak bertanya," jawab Kaila. "Selain itu, aku takut."

"Takut?"

"Aku takut kau akan membunuhku," Kaila mengakui. "Bahkan waktu kau masih tidak sadar, tanganku gemetar saat melepaskan pakaian perang dan mengoleskan obat ke lukamu, takut kau akan mencekikku sampai mati. Begitu kau terbangun, matamu seperti serigala pemangsa."

Selena menutup mulutnya sementara ia memperhatikan asap daging panggang yang membumbung tinggi, lalu menghilang ke langit. Kaila memang pantas untuk ketakutan karena Selena telah membunuh banyak Orc sebelum ini, tapi setitik pertanyaan muncul di sudut pikirannya. Apa yang sebenarnya dikhawatirkan oleh Penyihir Gladius sehingga ia membantai para Orc, bahkan mereka yang hidup terpencil seperti ini?

Lama–kelamaan ruangan itu bertambah gelap sekaligus dipenuhi aroma daging bakar, membuat perut Selena bergemuruh. Ia baru menyadari bahwa sejak terbangun, ia belum makan apa-apa. Kaila menggantung lentera di salah satu bagian dinding untuk menerangi seisi rumah, membuat seluruh ruangan berwarna kuning amber.

Pintu berderit terbuka, dan sosok besar Krall muncul di sana. Orc setinggi dua meter lebih itu harus menunduk untuk bisa masuk ke dalam rumah, ia disambut Kaila yang langsung memeluknya dengan hangat dan Krall balas mengecup dahi istrinya dengan sayang. Di mata Selena, mereka nampak seperti sepasang suami istri biasa. Mungkin ia kelak akan begitu juga kalau Alan masih hidup, pikirnya getir.

"Apa yang kau hidangkan kali ini?" tanya Krall sambil melepas sepatunya yang berat, menampilkan telapak jari-jari kaki yang besarnya sekitar dua kali ukuran normal manusia.

"Potongan daging bakar dengan madu. Aku mendapatkannya dari Gladia, gadis baik itu mau membaginya kepada kita karena kau tidak berburu hari ini," jawab Kaila. "Cucilah mukamu dulu, baru kita makan."

Begitu daging bakar mulai matang dan disajikan dengan dedaunan mentah. Krall langsung mengunyah potongan besar daging miliknya seperti binatang kelaparan. Selena hanya mengambil sepotong daging yang agak kecil dan mulai makan, rasanya sekeras menggigit sol sepatu, tapi bumbu madu yang dioleskan Kaila meresap ke dalamnya, meninggalkan jejak manis dan gurih di lidahnya.

"Aku tidak pernah tahu kalian bisa bicara dengan bahasa seperti kami manusia," kata Selena setelah ia menelan habis dagingnya dengan susah payah. Ia merasa bodoh karena pertanyaan itu baru muncul di kepalanya.

"Kenapa tidak?" kata Krall. "Kami sama seperti kalian, bukan? Berjalan dengan dua kaki, punya sepasang mata dan telinga, juga punya pikiran. Jadi kenapa kami tidak bisa bicara bahasa yang sama?"

Jawaban yang cukup cerdas, pikir Selena walaupun itu tidak memuaskan dirinya, Tidak ada gunanya mengorek informasi lebih lanjut, karena Selena menyadari bahwa ia kini hanyalah seorang tawanan, tapi rasa ingin tahunya sulit ia kendalikan. Krall, nampaknya menangkap hal itu. Setelah menelan potongan daging terakhirnya, ia memandangi Selena.

"Matamu menyimpan banyak pertanyaan," Krall berkomentar.

Awalnya Selena ragu, tapi ia berusaha memberanikan dirinya. "Apa semua tawanan perang akan diperlakukan sepertiku? Aku kira, kalian akan memenggal manusia yang kalian tawan, atau menyiksanya untuk memberikan informasi. "

Selena langsung berhenti begitu menyadari tatapan Krall menyorot tajam padanya. Selena meneguk ludah, sedikit menyadari bahwa ia rasanya sudah berkata kurang ajar kepada Kepala Suku Orc itu.

"Kami sudah lama tidak berperang," Krall menjawab dengan ringan. "Perang terakhir yang kutahu terjadi beberapa ratus tahun yang lalu, saat kakek buyut dari kakek kami membuka tempat ini dengan menaklukan para Ogre dan menjadikan para Omniwolf sebagai sekutu, dan kami tidak pernah mengambil tawanan ataupun mau ditawan. Perang adalah membunuh atau dibunuh, cuma itu."

Selena bergidik, walaupun para Orc mungkin tidak sebuas yang ia pikirkan, tapi tetap saja mereka ini adalah mahluk liar dan purba. Ia mengakui mahluk berkulit hijau ini punya rasa kebanggaan diri yang kuat.

"Jadi kenapa kalian tidak membunuhku?" tanya Selena.

Krall mengangkat bahu, cengiran lebar tergambar di mulutnya membuat wajahnya menjadi aneh. Ia seperti babi hutan yang mencoba untuk tersenyum, menjadikan Selena ketakutan sekaligus ingin tertawa di saat bersamaan.

"Apa kau sangat ingin kusiksa dan kubunuh?" tanya Krall, dan Selena cepat-cepat menggeleng. Orc itu lalu melanjutkan. "Aku belum memikirkan apa gunanya kau di sini. Mungkin kau akan kujadikan pelayan istriku, atau kusuruh kau bekerja menyamak kulit."

Mereka lalu melanjutkan makan dalam keheningan karena Selena memutuskan untuk tidak bertanya lagi. Tidak banyak kegiatan lain di rumah itu setelah makan malam selesai. Krall langsung naik ke dipan tempat Selena berbaring tadi siang dan langsung terlelap, sementara Kalia menghamparkan beberapa lapis kulit binatang untuk Selena tidur sebelum ia menyusul Krall.

Dengkuran Krall bertambah keras ketika malam semakin larut membuat Selena sulit mengistirahatkan pikirannya. Ia berusaha menutup telinga dengan tangannya, tapi percuma saja. Selena lalu memiringkan tubuh menghadap tembok. Mendadak, sebuah pikiran melintas di kepalanya.

Bagaimana mungkin ia tidak memanfaatkan kesempatan sebagus ini untuk melarikan diri?

Merasa mendapat ide cerdas. Selena langsung bangkit. Ia melengkapi dirinya dengan perisai dan meraih kapak yang tergantung di dinding. Ia tidak punya waktu memakai pakaian besinya yang tertumpuk di salah satu sudut ruangan, juga mencari pedangnya yang entah ada di mana, tapi ia juga merasa aman, karena suara Krall yang seperti selusin babi hutan mengobrol menutupi bunyi yang Selena timbulkan.

Dengan perlahan ia membuka pintu rumah, dan angin malam berembus dingin seperti pisau yang mengiris kulitnya.

Selena mengendap-endap dari satu bayangan rumah ke rumah lainnya. Tempat itu tampak sepi seperti kota mati. Jalannya hanya diterangi nyala suram obor yang terpasang di setiap rumah. Ia merasa was-was sekaligus menarik napas lega begitu mengetahui tidak ada satu pun prajurit Orc yang berkeliling, ataupun berjaga-jaga.

Ia tidak membawa obor, karena kedua tangannya sibuk memegang senjata, tapi untungnya bulan bersinar terang menerangi jalannya beberapa meter ke depan. Tidak butuh waktu lama bagi Selena untuk masuk ke dalam hutan yang gelap. Pohon–pohon terlihat seperti tiang hitam yang ditancapkan ke tanah, dan bulu kuduk Selena berdiri setiap ia menerobos sesemakan yang menggelitik.

Merasa sudah cukup jauh masuk ke dalam hutan, Selena menoleh ke belakang. Desa para orc sekarang tidak lebih dari gundukan bukit hitam. Ia bisa merasakan segores perasaan bersalah kepada Kalia yang telah merawat luka-lukanya. Tetapi, Selena adalah ksatria kerajaan Levan yang harus melaksanakan tugasnya. Pada saat mereka bertemu lagi, Krall kembali akan menjadi musuhnya dan ia harus membunuhnya.

Selena melanjutkan perjalanan, tapi hutan itu sepertinya tanpa akhir dan semakin gelap. Kabut menebal di sekitarnya membuat Selena mulai merasa letih. Ia bersandar di sebuah pohon untuk mengambil napas. Matanya juga mencari pohon yang cukup tinggi dengan dahan yang kuat, memperhitungkan kemungkinan dirinya untuk bermalam di tempat itu dan melanjutkan perjalanan begitu keadaan sedikit lebih terang.

Sebuah kilasan biru terang mendadak melesat di sudut kiri matanya, membuat Selena terkesiap. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, berharap itu hanya halusinasi, tapi cahaya itu tetap ada di sana, kali ini nampak bulat dan menggantung di udara seperti lentera.

Selena, kaukah itu?

Selena tersentak. ia mendengar seseorang berbicara di dalam kepalanya, begitu lembut nyaris tidak terdengar. Seluruh otot–otot tubuhnya menegang waspada. Ia menggelengkan kepalanya untuk mencoba mengusir ilusi atau apapun itu, tapi suara itu terdengar lagi.

Selena,kemarilah. Biar aku menemuimu.

Suara itu lebih jelas terdengar sekarang, milik seorang pria dan berasal dari bola cahaya di depannya. Rasa penasaran sekaligus ketakutan bercampur jadi satu. Membuat Selena berjalan perlahan ke arahnya.

Tiga langkah lagi.

Bola biru itu kelihatan tumbuh semakin besar, tertarik, memanjang, dan melebar seolah ada tangan tak kasat mata yang membentuknya seperti tanah liat.

Dua langkah lagi,

Sosok itu membentuk wujud belakang seorang manusia, seorang pria berbahu lebar dan jangkung. Ia berbalik menatap Selena, dan membuatnya menahan napas.

"Alan," Selena bergumam lirih. "Apa itu benar – benar kau?"

Alan tersenyum dan mengangguk. Seluruh tubuhnya berpendar warna biru terang, tapi Selena tidak mungkin melupakan rambut keriting yang melengkung memayungi tatapan matanya yang teduh. Juga lesung pipinya yang manis.

Selena terisak. Ia menjatuhkan perisai dan kapaknya ke tanah, lalu menghambur ke arah Alan yang merentangkan tangan untuk menyambutnya.

Dia ingin memeluknya seerat yang ia bisa, dan tidak akan membiarkannya pergi lagi. Selena ingin Alan membawa dirinya kemanapun pemuda itu pergi.

Jeritan melengking tinggi terdengar di atas Selena dan membuat langkahnya terhenti. Tiga ekor gagak meluncur cepat ke arah Alan. Mereka mencakar dan mematuknya dengan liar. Alan tampak ketakutan, ia menutupi wajah sambil mengibas-ngibaskan tangannya mencoba menghalau gagak-gagak itu.

Suara Alan terdengar memohon di kepala Selena. Tolong aku.

Selena melangkah mundur, tapi kini ketakutannya berganti dengan rasa marah. Ia memungut kapak yang dijatuhkannya lalu berusaha menebas burung-burung itu. sabetannya mengenai sayap seekor di antaranya.

Gagak yang terluka terbang menjauh sambil berkaok marah, tapi dua yang lain bertambah ganas. Salah satunya berbalik menyerang Selena dengan cakar dan paruhnya yang tajam, menimbulkan suara derit keras pada perisainya. Salah satu cakar gagak itu berhasil menyayat lengan Selena, membuatnya meringis.

Selena bergerak sembarangan untuk tetap menyerang sekaligus melindungi dirinya, tebasan kapaknya semakin tidak terarah dan kebanyakan hanya mengenai angin. Mendadak, ia merasa kakinya hanya menginjak udara kosong, dan tubuhnya langsung merosot lalu terguling cepat di tanah membuat pandangannya berputar kacau. Kepalanya kemudian menghantam sesuatu yang keras dan dingin.

Setelah itu, rasa sakit.

Lalu kesadarannya hilang. 


=============

Bab kedelapan!

Semakin banyak revisi yang diperlukan untuk bab ini, karena saya sedikit terpengaruh dengan gaya Cristopher Paolini yang bukunya saya baca akhir-akhir ini (Dan sukses membuat saya harus menahan sedikit kebosanan karena narasinya yang panjang). Semoga paragraf-paragraf yang berderet seperti kereta api kali ini tidak membuat kalian bosan 

Saya mengharapkan dukungan terhadap cerita ini dengan meninggalkan komentar, kritik, koreksi, saran, dan vote jika kalian berkenan 

m(_ _)m

=============

Bab selanjutnya:

Selena meneguk ludah dengan perasaan getir yang menjalar memenuhi kerongkongannya.

=============

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro