18

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Selena hanya pernah dua kali menerima kabar yang ia anggap paling mengejutkan sepanjang hidupnya. Yang pertama adalah ketika ia diberitahu bahwa ayahnya gugur dalam perang, lalu ketika Alan melamarnya di perkemahan beberapa hari yang lalu, tapi hal ini jauh di luar nalarnya. Dan ia butuh waktu untuk mencernanya.

Ketiganya sampai di ujung lorong dan sebuah pintu raksasa penuh dengan ukiran – ukiran melengkung yang rumit berdiri menghadang mereka. Delzar menempelkan tangan di tengah pintu itu, bibirnya bergerak-gerak menggumamkan kata-kata yang bagi Selena terdengar seperti gumaman orc yang sedang mabuk. Dan sesaat kemudian, seluruh lorong itu bergetar ketika pintu raksasa itu bergemuruh dan terangkat.

Di depan Selena sekarang terbentang sebuah kamar yang cukup luas, Krall dan Delzar nampak enggan masuk ke sana. sedangkan Selena terlalu penasaran. Tanpa ia sadari, kakinya melangkah sendiri, tapi cengkeraman kuat Krall di pundaknya menahan dirinya.

"Kau tidak bisa masuk ke sana tanpa perlindungan," kata Krall. "Godaan jiwa itu terlalu besar untuk ditanggung oleh pikiran mahluk fana."

Delzar berbalik, sambil bibirnya kembali berkomat-kamit, ia mengarahkan lengannya yang panjang ke arah Selena. Sesaat, Selena ingin mundur, tapi keinginan itu berusaha diredamnya. Ketika telunjuk Delzar menyentuh keningnya, Selena bisa merasakan otaknya seperti terbungkus selaput tipis yang hangat.

Shaman itu juga melakukan hal yang sama kepada Krall dan juga dirinya, baru setelah selesai kedua Orc melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan, diikuti Selena di belakang mereka.

Ruangan itu sendiri jauh lebih sederhana daripada harapan Selena. Dinding batunya tidak menampilkan relief lagi, polos dan gelap. Hanya diterangi sinar suram beberapa obor yang terpasang di sana. Selena berjalan dan nyaris tersandung, lalu ia mengamati lantainya yang memiliki semacam selokan kecil dan dangkal, membentuk beberapa lingkaran yang semakin lama – semakin mengecil sampai di tengah ruangan .

"Jangan maju lebih dari ini," Krall memperingatkan Selena agar tetap berada di lingkaran terluar. "Dan lihatlah sendiri, benda itu yang menjadi beban kaum kami."

Selena mengikuti arah pandang Krall, dan ia melihatnya. Tepat di tengah, ada sebuah undakan tinggi yang di puncaknya diletakkan sebuah cawan batu, bentuknya persis seperti yang Selena lihat pada relief di lorong kuil. Dan di atas cawan itu, sesuatu yang seperti potongan tanah liat yang besarnya tidak lebih dari ruas kelingking Selena melayang di sana.

"Itu ..., kepingan jiwa Morgrath?" tanya Selena takjub, Benda yang dilihatnya mungil dan rapuh, juga sangat indah, berbpendar dengan warna merah. hijau, dan kuning.

Selena

Sebuah suara memanggilnya dan Selena mengalihkan pandangannya. Ruangan itu mendadak dipenuhi kabut hitam pekat, dan kedua Orc yang tadi ada di sisinya sudah menghilang. meninggalkan Selena sendirian di sana.

"Delzar? Krall?" panggil Selena, tapi tidak ada jawaban. "Ke mana kalian berdua?"

Selena

Selena mencari-cari asal suara itu, tetapi ia tidak bisa menentukan darimana suara itu berasal. Beberapa sosok terbentuk dari kabut di sekelilingnya, Ia mengepalkan tangan ketika mereka mendekat.

Wujud Alan berjalan menerobos ke luar dari kabut, tapi sosoknya tidak seperti yang Selena kenal. , Wajahnya terlihat cekung, tubuh yang semula langsing sekarang hanya terdiri dari kulit dan tulang seolah ia tidak makan dalam waktu yang lama dan pakaiannya compang camping. Ia teseok – seok berusaha menggapai Selena.

"Tolong aku," Alan merintih. "Bebaskan aku dari siksaan ini, Shamvalla ..."

Selena tercekat. Shamvalla adalah kebalikan dari Valadrin. Tempat untuk para pendosa yang tidak pernah mematuhi hukum. Penjara dimana jiwa – jiwa itu akan mendapat siksaan paling mengerikan dengan kelaparan dan kehausan abadi. Mereka tidak akan pernah bisa keluar.

"Tapi kau gugur sebagai pahlawan," kata Selena, ia berusaha mengendalikan ketakutannya. "Kau ... kau seharusnya tenang di Valadrin."

"Tidak, selama para Orc itu masih hidup." Kata Alan, suaranya tidak lebih seperti kaokan gagak yang parau. "Bunuh dia ... bunuh kepala suku itu,"

Selena melangkah mundur, tapi di balik kabut muncul beberapa orang lagi yang ia kenal, para ksatria yang ia lihat telah gugur saat perang. Mereka sekarang berdatangan dari segala arah, mengepungnya. Wajah mereka mengiba dengan pandangan yang kosong.

"Bunuh ... bunuh mereka." Suara arwah para orang mati itu bergema serempak. "Jangan biarkan jiwa kami menderita, kau juga adalah bagian dari kami."

Selena menggeleng cepat, ini ilusi, pikirnya berulang-ulang untuk meyakinkan dirinya sendiri. Khayalan,mimpi, atau apapun, hal ini tidak nyata, tapi ia merasa ketakutan lebih dari yang selama ini pernah dirasakannya. Langkahnya mulai terhuyung dan ia kehilangan arah.

"Tidak!" Selena menjerit. "Pergi! Kembalilah ke tempat kalian!"

Sebuah tangan mencengkeram bahunya dari belakang dan Selena segera berbalik, jantungnya mencelus begitu melihat sosok yang ada di belakangnya, sepasang pria dan wanita tua yang berpakaian lusuh dan penuh tambalan, tubuh mereka penuh borok berbau busuk menyengat. Rasa sesak menekan perasaan Selena karena ia mengenali mereka.

"Papa ... Mama ...," gumam Selena lirih.

Sosok ayah dan ibunya jauh lebih menyedihkan dibandingkan apa yang ia ingat terakhir kali. Baron Redhearn, adalah pria gagah berambut pirang pasir dan mata cokelat besar yang diturunkannya kepada Selena. Sedangkan Lady Danielle ibunya adalah wanita cantik bermata biru dengan bibir tipis dan kulit jernih. Bahkan ketika ia meninggal, banyak orang yang melayat menganggap ibunya masih hidup dan hanya tertidur dengan mimpi indah. Tapi sekarang mereka tidak lebih dari mayat hidup di depan mata Selena.

"Selena, putriku," kata Baron Redhearn. "Apa kau tega membiarkan kami menderita siksaan ini selamanya?"

"Aku ... tentu aku tidak akan membiarkannya," sahut Selena. Suaranya bergetar dan ia nyaris menangis seperti anak kecil. "Aku tidak mungkin membiarkan kalian menderita di Shamvalla, apa yang harus kulakukan?"

"Bunuh Krall," kata ibunya. "Habisi keluarganya, sehingga pasukan Levan akan membuat para orc akan tercerai berai dan mereka akan musnah."

Jantung Selena seperti disiram air dingin, membunuh Krall? Tidak mungkin, ini pasti mimpi, kekuatan dari pecahan hati morgarath, batin Selena berulang – ulang mencoba meyakinkan dirinya. Dia tidak mungkin melakukan itu.

"Aku tidak bisa,"Selena memohon. "Mintalah yang lain, tapi jangan itu."

"Kalios hanya menginginkan itu!" Mata ibunya melotot marah, ia menarik lengan Selena. "Atau sebaiknya kau ikut saja bersama kami ke Shamvalla, agar kau tahu seberapa menderitanya kami di sana!"

Lady Danielle dan Baron Redhearn berusaha menyeret Selena masuk ke dalam kabut, tapi Selena mencoba melawan, cengkeraman kedua orang tuanya seperti cakar besi di pergelangan tangan Selena membuatnya menjerit kesakitan. Selena menoleh ke belakang, berharap ia mendapat jalan atau bantuan tapi hanya ada mayat hidup Alan dan para ksatria yang semakin mendekatinya.

Kabut dingin menyentuh wajah Selena. dan di baliknya ia bisa melihat pemandangan reruntuhan dengan api yang menyala-nyala dan tubuh-tubuh rapuh berbaris dengan kaki terikat pada rantai besi. Selena terpekik ngeri dan meronta sekuat mungkin, tapi punggungnya tertahan oleh tangan-tahan mayat hidup di belakangnya. Ia akan masuk Shamvalla, tempat penyiksaan bagi jiwa – jiwa berdosa berat. Penderitaan tanpa akhir.

Sebuah sinar hijau melintas di depan mata Selena, menghantam tubuh kedua orang tuanya lalu membuyarkan mereka. Cahaya itu kemudian terpecah, memantul dari satu mayat hidup ke yang lainnya, membuat mereka menjadi butiran debu.

Selena menutup mata dari kilasan cahaya yang melesat, tetapi begitu ia bisa melihat lagi, ruangan itu kembali seperti semula, tidak ada lagi kabut, mayat hidup, ataupun reruntuhan yang menyala – nyala. Sebaliknya ia melihat Krall duduk bersandar di dinding, dan Delzar yang mengarahkan telapak tangan ke arah Selena dengan wajah pucat.

"Kau sudah melihatnya kan?" Kata Krall dengan napas terengah-engah. "Sebaiknya kita keluar dari sini sekarang sebelum jiwa terkutuk itu mulai menjerit lagi."

Selena dan Krall memapah Delzar kembali menuju lorong panjang. Pintu penyimpanan jiwa Morgrath langsung tertutup begitu mereka meninggalkannya, Delzar nampak sangat kelelahan membuat Selena yakin, shaman itu bisa pingsan kapan saja.

Mimpi buruk yang baru saja dialami Selena membuat tenaganya terkuras dengan cepat, Krall juga tampaknya merasakan hal yang sama. Mereka akhirnya beristirahat di tengah-tengah lorong kuil.

"Jadi," kata Selena sambil duduk di lantai dan bersandar ke dinding, ia mengusap keringat sebesar butiran jagung yang membanjir di wajahnya. "Ilusi apa yang aku lihat tadi? Kukira aku sudah mengalami yang terburuk sejak bertemu para wisp."

"Ini jauh lebih buruk daripada Wisp. Sangat, sangat buruk," Delzar mengoreksinya. "Kepingan jiwa itu memperlihatkan mimpi terburuk yang kau simpan rapat – rapat di dalam pikiran, bahkan mungkin kau sendiri belum tentu menyadarinya. Aku mencoba menahannya dengan sihir pelindung sebelum kita masuk tadi tapi nampaknya tidak cukup kuat. Belakangan ini, panggilan jiwa itu semakin liar. "

"Panggilan jiwa apa?"

"Kepingan jiwa Morgrath merasakan adanya potongan lain yang sama dan mungkin lebih kuat. Mereka saling memanggil satu sama lain untuk menyatukan diri." Delzar menjelaskan. "Aku khawatir kalau kuil ini dan sihir pelindung yang kubuat tidak cukup untuk menghalangi gelombang jiwa itu."

Selena tidak perlu diberitahu lagi apa akibatnya jika jiwa Morgrath bersatu, satu kepingan kecil saja sudah membuatnya merasakan keadaan antara hidup dan mati. Ia tidak bisa membayangkan sesuatu yang lebih menakutkan daripada itu.

"Apa ada sesuatu yang bisa kita lakukan?" Tanya Selena.

"Satu-satunya jalan adalah meminta pasukanmu untuk mundur, Selena." kata Krall. "Untuk itulah aku mengajakmu ke tempat ini."

"Kau tahu itu hampir mustahil Krall," kata Selena. "Aku tidak punya wewenang apapun untuk menghentikan perang ini, apalagi kau telah-" Selena terdiam sejenak. "Kalian telah membunuh Alan, dia putra dari komandan pasukan ini. Kau bisa bayangkan akibatnya."

Krall memberi tatapan mendesak kepada Selena."Kau harus mencobanya," suaranya terdengar putus asa. "Atau, kepingan jiwa itu harus dipindahkan."

"Kemana?"

"Ke tubuh putra keduaku yang baru dilahirkan oleh Kalia hari ini, dengan darah Fenrir sebagai pembuka segelnya," jawab Krall getir.



=========
Akhirnya dengan segala niat karena harus membagi waktu untuk membaca dan piala dunia bab 19 bisa keluar. 

Semakin ke sini babak 16 besar piala dunia semakin sadis, Argentina dan Spanyol langsung angkat koper dengan menyedihkan. Tapi semakin lama membuktikan kekuatan tiap-tiap negara semakin merata dan akan semakin seru bukan?

 Soal buku yang saya baca, saya lagi mengikuti Seri kedua dari Trilogi Hunger games, dan Tante Suzanna Collins benar-benar "sinting" dalam memperlihatkan karakterisasi tokohnya. Setelah sebelumnya saya menganggap Peeta Mellark cuma cowok yang nggak ada gunanya, tapi dalam buku kedua ini dia ambil bagian besar untuk membuat cerita makin menggila.

   Seperti biasa, mohon dukungan untuk bab ini ya
=========
Bab selanjutnya

    Isi perut Selena seakan diremas begitu melihat panji hitam dengan dua pedang bersilang berwarna putih, diatasnyabertuliskan deretan tulisan dari rune kuno. Kalau mereka sampai ada di sini,Krall dan para Orc hanya memiliki kesempatan tipis untuk bertahan dalam perang selanjutnya.     
=========

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro