20

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Selena melesat seperti angin di atas punggung Frost. Omniwolf berbulu seputih salju yang membawanya keluar dari hutan. Kecepatan larinya mengingatkan Selena pada Fenrir sang omniwolf terkutuk saat ia mengamuk, hanya saja tunggangan milik Krall ini lebih terkendali.

Ia nyaris tidak merasakan guncangan sama sekali, bahkan Selena sampai melirik ke bawah untuk memastikan Frost memang berlari bukannya sedang melayang di atas tanah. Angin dingin melecut wajah Selena dan pohon - pohon berlari mundur dengan cepat di depan matanya, sesekali ia harus menunduk, menghindari ranting yang tumbuh rendah dan hampir melukai wajahnya.

Dengan kecepatan seperti ini, tidak lama lagi Selena akan tiba di tepi hutan Knox, lalu kembali ke perkemahan, sebagai seorang ksatria. Perlahan, beberapa hari yang Selena alami di perkampungan para orc mulai terasa seperti mimpi.

Frost menghentikan langkahnya tepat di barisan pohon terakhir yang memisahkan hutan dengan padang rumput luas di mana perkemahan kerajaan Levan berdiri. Tempat itu nampak lebih terang dan ramai dari biasanya.

"Sampaikan terima kasihku untuk Krall," kata Selena ketika ia meluncur turun dari punggung Frost dan menepuk tubuh besar binatang itu dengan lembut. "Dan bilang padanya agar dia berhati – hati."

Frost mengangguk dan menggeram rendah sebagai jawaban untuk Selena. lalu dalam sekejap omniwolf itu berbalik dan melesat masuk kembali ke dalam gelapnya hutan, meninggalkan Selena sendirian.

Selena berjalan ke arah perkemahan, dan sesaat tangannya tergerak untuk mencabut pedang panjang di punggungnya ketika ia melihat seorang prajurit yang membawa obor berjalan ke arahnya, tapi begitu Selena bisa mengenali wajah kurus yang datang, ia langsung mengurungkan niatnya.

"Carmelo?" kata Selena begitu ia mengenali penjemputnya. "Kau ternyata masih hidup!"

"K-kau ... Nona, maksudku ...," Wajah Carmelo menjadi ketakutan seakan ia bertemu dengan hantu. "Demi Kalios agung, kau bukan hantu kan?"

Selena mengangguk dengan cengiran lebar, "Aku masih manusia dan hidup."

"Ta-tapi, kau menghilang beberapa hari yang lalu," ujar Carmelo. "Banyak yang bilang kau ikut berperang melawan para orc dan terbunuh di hutan Knox."

"Ceritanya panjang," tukas Selena. "Sekarang, aku ingin sesuatu untuk mengganjal perutku yang sudah berbunyi ini, antar aku ke perkemahan sekarang juga."

Carmelo mengantar Selena menuju perkemahan, sesekali ia berhenti untuk menoleh ke belakang, hanya untuk memastikan bahwa Selena tidak akan menghilang begitu saja atau apakah kakinya masih berpijak di tanah.

Perkemahan menjadi lebih ramai dengan banyak orang tetapi entah kenapa terasa mencekam. Tenda – tenda- tenda telah didirikan dengan bendera hitam berdiri di puncaknya. Semua mata melirik kepada Selena ketika ia lewat, terutama para Zealot dengan tatapan sinis dan dingin dari balik topeng mereka.

"Demi Kalios yang Maha Agung. Selena, kaukah itu?"

Horace muncul dari kerumuman para prajurit yang sedang duduk beristirahat di dekat api unggun, dengan langkah terburu – buru ia menghambur ke arah Selena, tidak mempedulikan sisa – sisa roti kering yang menempel di mulutnya.

"Senang ketemu kau lagi Horace," kata Selena dengan cengiran lebar. "Kau tampak baik – baik saja."

Horace balas tersenyum, "Waktu kami mundur dari hutan Knox, aku tidak melihatmu di antara para prajurit, kami kira kau ....," Ia menghentikan bicaranya, lalu melempar pandangan penuh harap melewati bahu Selena, "Apa hanya kau yang kembali? Bagaimana dengan Alan?"

Selena menggeleng lemah, "Dia meninggal. Aku melihatnya sendiri."

Wajah Horace berubah muram. "Maafkan aku," katanya penuh simpati. "Pasti berat bagimu. Semoga Kalios menempatkan jiwanya di Valadrin."

"Aku tidak apa – apa," balas Selena. "Apa aku bisa bertemu dengan Jendral Aiber sekarang? Ada banyak cerita yang mau aku sampaikan padanya."

"Tidak untuk saat ini. Ia sedang mendiskusikan strategi perang bersama pendeta agung." kata Horace dengan suara bersemangat. "Para Zealot sudah ada di sini, kita pasti akan menghancurkan sarang monster itu dengan mudah dan membalaskan dendam Alan."

Keduanya berkumpul dalam satu ruangan, bagus sekali pikir Selena. Ia akan menjelaskan semuanya kepada mereka. Rasa lelah dan laparnya menghilang entah kemana dan harapan mulai menyala lagi di dalam hatinya.

"Bawa aku kepada mereka sekarang." pinta Selena

"Mereka tidak bisa diganggu," kata Horace. "Pertemuan mereka tertutup dan tidak boleh ada yang masuk."

Selena melewati tubuh gempal Horace dengan cepat sebelum pemuda itu sempat bereaksi. Berdebat dengannya hanya akan membuang waktu. Tanpa menghiraukan peringatan Horace, ia melangkah dengan cepat bahkan nyaris berlari mencari tenda besar milik Jendral Aiber, tapi jantungnya serasa merosot ke dasar perutnya begitu melihat dua orang Zealot bertopeng perak berdiri mengawal kedua sisi pintu tenda itu.

"Aku ingin bertemu pendeta agung dan Jendral Aiber," kata Selena memberanikan diri. "izinkan aku masuk."

Salah satu Zealot itu hanya menggeleng dan mengibasakan tangan seolah mengusir seekor anjing. Membuat darah Selena mulai naik ke kepalanya, tapi ia berusaha tetap tenang. Dan mengulangi permintaannya.

"Ini hal yang penting. Ada yang ingin kulaporkan kepada mereka." Selena mendesak.

"Pergi perempuan!" Kata Zealot kedua dengan tidak sabar. "Temanku sudah memberi tanda agar kau pergi, dan kau masih belum mengerti juga?!"

Selena ingin mengeluarkan makian kasar yang sudah menumpuk di mulutnya, atau kalau mungkin ia bakal menempeleng dua orang zealot itu. Ia tidak peduli lagi kalau dirinya dijatuhi hukuman karena menyerang perwira pendeta. Hukuman penjara tidak akan sebanding dengan penghinaan yang ia terima.

"Selena!"

Suara Horace menghentikan niatnya, pemuda itu muncul dari belakang Selena, berlari kecil ditemani seseorang bertubuh jangkung dan berambut hitam yang mengikutinya .

"Pendeta Tinggi Glaive," Selena membungkukan badan untuk memberi hormat. "Saya mohon maaf kalau sampai kejadian ini mengganggu anda."

Glaive hanya tersenyum dan memberi isyarat agar kedua zealot itu tetap tenang."Kalau ada hal penting yang mau kau sampaikan kepada pendeta agung, kau bisa membicarakannya kepadaku," kata Glaive kepada Selena. "Atau hal itu terlalu rahasia untukku juga?"

Awalnya Selena ragu, para pendeta sihir kebanyakan keras kepala dan tidak mau mendengarkan hal yang bertentangan dengan apa yang mereka yakini selama ini.Tapi pandangan mata dan nada bicara Glaive yang bagai air tenang membuat Selena melunak.

"Aku akan menceritakannya, tapi bisakah kita pergi ke tempat yang tidak banyak orang seperti ini? " kata Selena.

Glaive mengangguk, "Kalau itu yang kau mau, kita bisa berbicara di tendaku."

Selena memberi tanda dengan kepalanya agar Horace juga ikut bersama mereka, dalam perjalanan menuju tenda milik Glaive, ia memberi tatapan penuh rasa terima kasih kepada temannya itu.

"Hei, kita sudah kenal cukup lama. Itulah gunanya teman." bisik Horace.

Kemah milik Glaive dijaga oleh seorang Zealot bertopeng hitam, tapi ia memberi isyarat gar pengawalnya itu pergi sehingga Selena merasa tenang. Tenda milik Glaive beberapa kali lebih luas daripada Selena dan bisa menampung paling tidak lima orang untuk berada di dalamnya, di salah satu sudut terdapat tumpukan kitab dan pakaian yang tersusun rapi. Sementara wangi dupa menggantung samar di udara.

"Tidak perlu terlalu sungkan, buatlah diri kalian sendiri nyaman." Glaive tersenyum. Setelah Selena dan Horace duduk, ia memberi tiga cangkir berisi minuman dari teko miliknya. "Minuman khas dari daerah selatan. Aku baru saja selesai membuatnya sebelum tuan ksatria ini memanggilku, dia bilang ada seseorang yang ingin membicarakan hal penting. Minumlah selagi hangat."

Selena meminum cangkir bagiannya, rasa manis dan hangat rempah-rempah memenuhi mulutnya dan membuat ia merasa lebih tenang. Setelah menarik napas Selena pun memulai ceritanya, dari saat dirinya bangun di rumah Kalia, Jenazah Alan, sampai akhirnya kepada kepingan jiwa Morgrath yang tersimpan di kuil para Orc.

Setelah selesai bercerita, Selena diam untuk memperhatikan reaksi dua orang yang mendengarnya. Horace melongo dengan mulut terbuka sampai Selena kira rahangnya akan lepas dan jatuh ke tanah, sedangkan Glaive hanya menganggukan kepala sedikit dengan alis bertaut berusaha mencerna apa yang diceritakan Selena.

"Horace?" panggil Selena. "Rohmu masih ada dalam tubuh kan?"

"Ah .. ya, tentu saja," kata Horace kaget, "Ada apa Selena?"

"Hanya itu tanggapan yang bisa kau berikan untuk ceritaku? Melongo seperti kambing tua yang mengantuk?"

Horace mengangkat bahu. " Entahlah, Aku tidak tahu harus bilang apa. Ini semua terlalu tiba – tiba untukku, tak tahu harus percaya atau tidak."

"Tapi aku mengalami semuanya sendiri," Selena bersikeras. "Aku melihat kepingan jiwa Morgrath dan merasakan seperti apa kekuatannya. Benda itu terlalu mengerikan."

"Ini menarik," kata Glaive setelah ia meminum habis isi cangkirnya,kedua alisnya yang tebal nampak bertaut. "Kalau apa yang kau katakan benar benar, maka sulit dipercaya. Dari dulu kita mengenal mereka sebagai mahluk buas dan kejam. Aku sangat berharap kalau bisa mempelajari kebudayaan mereka."

"Kau bisa melakukannya kalau kau mau membantuku berbicara kepada Jendral dan pendeta agung untuk mencegah perang ini, Krall juga mengharapkan perundingan dengan mereka." ujar Selena bersemangat, dukungan Glaive membuat harapan menyala di hatinya. "Aku bisa mengenalkanmu kepada kepala suku mereka kalau semua urusan ini beres."

Glaive menggeleng muram. "Aku akan sangat tertarik untuk itu. Tetapi sayangnya, orang yang memegang kekuasaan tertinggi di sini sulit diyakinkan sekarang," katanya. "Jendral Aiber sangat berduka karena kehilangan putranya, dan ia bahkan memberi izin kepada penyihir agung Gladius untuk memakai sihir Ultima begitu mereka sudah mengetahui letak desa para Orc."

Dan wajah Selena langsung berubah ngeri mendengar kata itu.

=========
20

Nggak terasa sudah mencapai bab dua puluh, dan sebenarnya saya akan mengedit banyak typo sebelumnya mulai dari bab 20 ini. semoga bisa terwujud. 

Selama sebulan saya mengikuti kelas gratis belajar menulis di facebook, memang hanya diajari hal dasar dan saya merasa kembali ke titik nol menulis, tapi kali ini berbekal dasar yang lebih kuat dari sebelumnya. 

Miss Yasmita, mentor saya berpesan "Menulis itu cuma perlu tiga. Riset, Logika, Bahasa."

Banyak dasar-dasar baru yang saya pelajari dari sana, semoga kalau ada kelas gratisan dari beliau lagi dengan materi berbeda saya bisa ikut.

Tetap dukung cerita saya dengan komentar berupa krisar dan vote jika kalian berkenan 

m(_ _)m 

=========
Bab selanjutnya

"Jadi, apa yang kau harapkan dari kami setelah mendengar ceritamu, nona Selena?"

=========

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro