25

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Yang pertama kali dirasakan Selena adalah rasa kasar menggelitik di pipi ketika kesadarannya mulai kembali. Kepalanya terasa dingin karena hanya berbantalkan tanah lembab. Ia lalu menyemburkan debu pahit yang tidak sengaja masuk mulutnya.

Selena tidak terikat, tapi masih sangat kelelahan. Ia berusaha bangkit untuk duduk, itu pun membutuhkan lebih banyak usaha daripada yang ia kira. Baju pelat baja yang ia pakai malah memperlambat gerakannya. Dengan susah payah, Selena berhasil mengangkat punggung untuk bersandar di sebuah kotak kayu beraroma masam sambil memeriksa keadaan sekelilingnya.

Ia berada di tenda gelap penuh tumpukan peti. Satu-satunya sumber cahaya yang bisa ia andalkan adalah dari sinar matahari yang mengintip di beberapa celah kain yang berlubang dan dasar tenda. Ia tidak bisa memperkirakan waktunya, tapi dari rasa lapar yang memberontak di perutnya, ini pasti sudah hampir tengah hari.

"Kau akhirnya bangun juga,"

Sebuah suara menyapa, dan Selena harus mengerjapkan mata beberapa kali untuk melihat Glaive yang duduk tepat di sampingnya. Ia juga terlihat sama lelahnya seperti Selena. Rambutnya yang panjang jatuh tak beraturan di bahunya dengan poni yang nyaris menutup mata. Glaive menyunggingkan senyum getir.

"Apa yang membuatmu sekacau ini?" tanya Glaive. "Kau kelihatan sama parahnya denganku."

Selena lalu menceritakan ceritanya dari saat penyihir itu terhempas tidak sadarkan diri, dan bagaimana Gladius mencoba menerobos masuk pikirannya, di mana ia mencoba bertahan tetapi akhirnya takluk juga.

Glave berdecak. "Kau masih cukup beruntung, tenagamu hanya terkuras tetapi tidak sampai jadi gila. Para penyihir dengan latihan yang rutin saja sangat sulit untuk menahan kekuatan mental dari Gladius."

"Apa maksudmu?"

"Kau terlalu memaksakan diri, Selena," Glaive menjelaskan. "Manusia biasa yang bukan penyihir sebenarnya punya tingkat prana yang sangat rendah. Tetapi dalam keadaan darurat, ia bisa saja mengubah energi yang ada pada tubuhnya menjadi prana tambahan, walaupun itu akan berakibat kelelahan atau bahkan kematian, cara ini biasanya jarang diketahui orang awam karena sangat berbahaya."

"Jadi aku tanpa sadar mengubah tenaga fisik di tubuhku menjadi prana, begitu maksudmu?"

Glaive mengangguk. Dalam hati, Selena merasa sedikit bangga atas apa yang ia lakukan. Tapi perasaan itu langsung tersapu begitu dirinya dikembalikan kepada kenyataan. Ia sekarang terkurung di sini, tak berkutik, dan mungkin menunggu hukuman mati.

"Kau sendiri, apa yang terjadi padamu?" tanya Selena menyadari kondisi Glaive yang tidak lebih baik dari dirinya. "Apa tidak ada sihir yang bisa kau lakukan untuk membuat keadaan kita lebih baik?"

Glaive tersenyum pahit. "Aku sudah mencoba dari tadi," katanya, "tapi tampaknya nadi prana di tubuhku terluka sehingga tidak bisa menciptakan sihir sekecil apapun."

Selena mengangkat kepalanya ke arah langit-langit tenda. Jarak pintu keluar dengan tempatnya duduk sebenarnya hanya beberapa langkah, tetapi ia bahkan tidak sanggup untuk berdiri. Perutnya terus berbunyi, mendesak untuk diberi makan. Tapi rasa frustasi ditambah bau apak yang merupakan campuran berbagai bahan makanan mentah terus menghalau rasa laparnya.

"Glaive, aku benar-benar minta maaf," kata Selena lirih.

"Untuk apa?"

"Aku melibatkanmu dalam masalah ini, kalau saja kau tak membantuku mungkin kau masih bebas di luar sana dan-"

"Dan membunuh para orc itu?" Glaive menimpali. "Tanpa tahu kebenarannya satupun?"

"Jadi kau hanya melakukan semua ini hanya untuk mengetahui kebenaran?"

"Ya, dan apa ada yang salah tentang itu?" Glaive memandangi Selena, matanya sekilas nampak seperti seorang anak polos yang menyimpan banyak pertanyaan untuk dikeluarkan. Ia lalu berkata dengan suara berbisik. "Lagipula, sudah agak lama aku sebenarnya merasa ada yang aneh dari Penyihir Agung."

"Apa maksudmu?"

Pertanyaan Selena terhenti di tengah jalan karena kain pintu tenda tersibak dan cahaya matahari yang silau menusuk masuk dan membuat Selena memicingkan matanya, tapi begitu keadaan menjadi gelap kembali, Selena baru menyadari sosok Horace dengan baju zirah yang tampak mengkilap berdiri di sana. Kedua tangannya membawa nampan makanan.

Horace berlutut dan sepatu bajanya berderit , ia menaruh nampan yang dibawanya ke hadapan Selena. Isinya sama seperti sarapan yang sudah-sudah, beberapa potong roti, buah kering, dan dua gelas air, hanya saja jumlahnya lebih sedikit dari biasanya terutama untuk mengisi perut dua orang yang kelaparan.

"Aku kira mereka akan membiarkanku mati kelaparan setelah kejadian kemarin." Selena mendengus, ia berusaha menahan keinginan untuk segera meraih roti di depannya.

"Setelah perang ini selesai, mereka akan menentukan hukumanmu," kata Horace muram. "Selena tidak bisakah kau menahan dirimu? Kau akan dijatuhi dua hukuman sekaligus, dari Makhamah Kalios dan Sidang Ksatria. Jendral Aiber dan aku mungkin bisa meringankan hukumanmu di pengadilan militer, tapi-"

"Cukup Horace," tukas Selena. "Kau tahu bagaimana diriku di akademi, dan aku tidak akan mengubah pendirianku. Ini bukan lagi perang untuk melawan kekejaman Morgrath, kita sendiri yang menjadi alat kekejaman itu."

"Tidak bisakah kau melunakkan dirimu sekali saja?" kata Horace setengah memohon. "Lakukanlah demi kenanganmu akan Alan dan-"

"Jangan bawa-bawa Alan untuk masalah ini!" Bentak Selena. "Ini adalah masalah pendirianku, dan tidak ada yang bisa mengubahnya, sekalipun arwah Alan muncul di sini."

Horace mengangkat bahu pasrah, ia mulai berdiri dan baju bajanya berderit lagi, ketika ingin keluar, Glaive memanggilnya. "Aku hanya ingin tahu beberapa hal saja," kata penyihir itu. "Bolehkah?"

"Tentu saja. selama hal itu tidak bersifat sesuatu yang harus dirahasiakan dengan sumpah," kata Horace dengan nada resmi.

Glaive mengangkat alisnya dan terlihat berpikir sementara Selena memalingkan kepala, mencoba untuk tidak mendengar. Lagipula apa gunanya mendengar berita di luar sana sementara ia terkurung dan tidak bisa berbuat apa-apa di sini? Itu akan menyakitkan. Selena menggerakan telunjuknya perlahan menyentuh celah kecil di kain tenda yang memberikan cahaya tipis, lalu menguliknya untuk memperbesar lubang itu.

"Pertama aku ingin tahu. Apa yang akan terjadi denganku setelah ini? Apa gelarku sebagai Penyihir Tinggi akan dicopot?" tanya Glaive.

Horace menggeleng. "Aku tidak tahu soal itu, juga tidak mendengar apapun tentang diri anda. Para ksatria sihir Zealot sudah menuju hutan Knox ketika matahari baru saja terbit, dan aku juga belum melihat Penyihir Agung sepagian ini."

"Kau tahu apa yang para ksatria sihir itu lakukan?"

"Mereka membakar hutan dengan api sihir," kata Horace datar. "Setelah hutan terbuka, para Kesatria akan melakukan serangan penuh ke desa para Orc."

Mendengar berita itu, Selena menggigit bagian dalam mulutnya untuk menahan rasa marah yang nyaris meletus. Para Orc itu benar – benar akan menghadapi perang terbuka melawan ksatria sihir, tanpa perlindungan para wisp. Ini adalah salahnya karena membiarkan ingatannya terbaca.

"Ada lagi yang ingin anda tanyakan, penyihir?" tanya Horace dengan nada sopan yang sama. "Kalau tidak ada lagi, aku mohon pamit. Aku akan mempersiapkan diriku."

Glaive mengangguk memberi tanda untuk mempersilahkan Horace pergi, tapi begitu Horace menyibak kain penutup tenda. Namun Selena memandangi matanya, membuat pemuda itu berhenti sekali lagi.

"Ada yang ingin kau tanyakan, Selena?" tanya Horace.

"Apa yang akan kau lakukan setelah ini?" tanya Selena. Ia sebenarnya benci menanyakannya karena sudah tahu jawaban yang akan diberikan Horace, tapi kata-kata itu keluar begitu saja tanpa bisa ia tahan.

"Berperang, tentu saja. Aku seorang Kesatria yang membaktikan hidupku pada kerajaan."

"Kau akan membunuh para Orc itu? Sekalipun kau sudah mendengar ceritaku?!" sahut Selena berang."Kau bukan manusia!"

Dua orang Zealot bertopeng hitam menyibak pintu kemah dengan senjata di tangan lalu bertanya kepada Horace apa yang terjadi, tapi Horace mengangkat tangan untuk memberi tanda bahwa semuanya baik-baik saja.

"Dengarkan aku Selena," kata Horace dengan suara tetap tenang setelah kedua Zealot itu keluar. "Aku hanya melaksanakan tugasku, dan ini medan perang. Apa kau akan berharap di sana aku berteriak 'aku ini teman dari Selena' dan mereka akan membiarkanku hidup?" Horace terus melanjutkan, mengabaikan Selena yang ingin memprotes. "Aku tahu kau bersimpati kepada mereka, dan terkadang aku berharap agar waktu itu aku juga tertangkap bersamamu agar bisa ikut melihat apa yang kau lihat, tapi saat ini hanya satu kebenaran yang aku percayai. Mereka sudah membunuh teman terbaikku, Alan."

Tanpa menunggu jawaban Selena, Horace langsung meninggalkan mereka dan sarapan yang belum tersentuh sama sekali. Selena memaksakan tangannya untuk mengambil sepotong roti dan memakannya. Potongan roti itu kini terasa kasar dan hambar seperti pasir yang masuk ke tenggorokannya.

"Glaive," kata Selena setelah ia berhasil menelan potongan rotinya.

"Apa?"

"Berbuatlah sesuatu," Selena memohon dengan putus asa. "Kau penyihir tinggi, pasti ada yang bisa kau lakukan dengan keadaan ini."

"Kalaupun aku bisa, sudah kulakukan dari tadi." Glaive mendesah. "Tapi pembuluh nadi prana miliku masih teluka dan tidak bisa memberi energi sihir. Kalau saja kita punya sumber tenaga lain yang bisa gunakan...," Ia lalu melirik lubang besar di kain tenda yang dibuat Selena, alisnya bertaut tampak memikirkan sesuatu, tidak lama kemudian, wajah penyihir itu terlihat cerah. "Mungkin kita bisa melakukan sesuatu."

Penyihir itu lalu mengguratkan sesuatu di punggung tangan kanan dengan jari telunjuk kirinya. Dahinya berkerut. Ia berkali-kali menggambarkan sebuah tanda yang berpendar warna kuning, lalu menghilang begitu saja. Gliave begitu berkonsentrasi, sampai tidak memperhatikan nampan makanan yang digeser Selena ke arahnya.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Selena sambil menjulurkan kepalanya agar bisa melihat lebih jelas.

Glaive tidak menjawab, sementara wajahnya dibiarkan basah karena keringat yang mulai mengucur deras. Bagi Selena, jelas penyihir itu sedang memaksakan dirinya untuk melakukan sesuatu.

Ketika simbol terakhir digambarkan di punggung tangannya, simbol itu tidak menghilang. Wajah Glaive menunjukan kepuasan, ia membuka dan mengepalkan jarinya berulang – ulang.

"apa yang kau perbuat Glaive?" Selena mengulangi pertanyaannya, sementara sinar di punggung tangan Glaive semakin cemerlang ketika ia mengarahkannya ke sinar matahari dari lubang di dinding tenda yang dibuat Selena. Sementara rona wajahnya terlihat segar.

Glaive tersenyum penuh arti. "Tindakan yang akan menyelamatkan kita dari sini."


=======
Apa kabar semuanya?
Maaf ya, bab ini sebenarnya sih harusnya sudah saya publish sabtu tapi malah molor dan akhirnya saya putuskan untuk publish minggu ini.

FYI, Bab depan kayaknya bakal membuat kalian semua menyadari arti dari judul cerita yang saya tulis, dan bakal membayangkan berapa orang kira-kira yang komen karena memprotes?

Pokoknya tetap dukung cerita saya dengan vote dan comment ya 

m(_ _)m
 
========= 
Next Episode:

Krall berhenti sejenak, dengan tatapan jengkel yang sama. "Kau harus tetap hidup dan memimpin mereka sekarang! Ini adalah tanggung jawab yang cuma kau sendiri yang bisa melakukannya. Apa kau mengerti?!"

  =========   

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro