26

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Krall berdiri di depan aula dewan dengan kedua tangannya bertumpu pada Blodbrone, kapak perang raksasa miliknya, simbol dari kekuasaan dan kehormatan yang ia emban sebagai kepala suku. Mata hitamnya bergerak gelisah memandangi sekeliling desa Orc.

Hari itu, desa para Orc tidak setenang biasanya. Aroma makan siang yang mengepul di rumah-rumah mereka menghilang sama sekali, sementara anak-anak kecil yang berlarian dengan riang kini kebingungan, berada dalam gendongan ibu mereka yang sibuk memasukkan barang ke kantung-kantung kulit dibantu oleh keluarga mereka. Tidak ada lagi asap putih dari mulut tetua orc yang mengisap pipa. Tubuh rapuh para Orc tua itu sekarang terbungkus jubah kulit tebal sambil menggenggaam tongkat di tangan. Mereka siap untuk melakukan perjalanan.

Sejak menerima surat dari Selena. ia terus mencari cara lain untuk menyelamatkan sukunya. Beberapa pilihan sempat muncul di kepalanya, termasuk ia ingin pergi untuk menawarkan perundingan untuk mengungkap semuanya, tapi usulnya ditentang oleh sebagian besar panglima dan juga Delzar. Semuanya meyakini, para manusia itu sudah terbakar kebencian yang membabi-buta, dan akan menutup matanya pada kebenaran.

Setelah perundingan alot dan memakan waktu lama, akhirnya mereka menyisakan keputusan pahit. Bertempur sampai darah yang terakhir sementara para Orc yang tidak bisa berperang meninggalkan desa untuk selamanya.

"Kepala suku!"

Lamunan Krall buyar ketika Garzo berjalan cepat ke arahnya bersama seorang panglima Orc tua yang rambutnya mulai beruban, nyaris menabrak pandai besi yang memanggul kapak dan gada. Mereka berdua memakai baju perang lengkap. Luka di lengan kanan Garzo kini berwarna keunguan dan berbau memabukkan.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Krall begitu mereka berdiri berdampingan.

Panglima tua itu menggeleng, ia tampak seram dengan tiga guratan luka memanjang dari pelipis sampai ke bawah matanya. "Api mereka lebih cepat menjalar dari yang kita duga," katanya. "Sebelum matahari sampai di puncak langit, mungkin mereka sudah memasuki desa ini."

"Kalau begitu kita harus bergegas," kata Krall. " Periksa persiapan para prajurit. Aku ingin sebelum matahari meninggi, desa ini sudah kosong dan kita berperang."

Panglima tua itu segera pergi, meninggalkan Krall dan Garzo yang memandang kepala sukunya dengan tidak nyaman.

"Apa yang harus aku lakukan?" tanya Garzo.

"Perintah untukmu tidak berubah." jawab Krall sambil menyandangkan Blodbrone di punggungnya "Kau ikut mengungsi bersama Orc yang tidak bisa berperang."

"Aku masih bisa bertarung!" Garzo memprotes, ia mengambil kapaknya menggunakan tangan kiri, dan menebas ruang kosong di depannya. "Tangan kiriku masih sanggup untuk memotong beberapa puluh leher prajurit manusia keparat itu!"

Ketika kapak Garzo terayun lagi, Krall menangkap gagangnya. Ia menarik senjata itu dari genggaman Garzo dan menjatuhkannya. Tanah di sekitarnya melesak membentuk cekungan karena berat kapak itu.

"Setelah menebas sepuluh orang, kepalamu akan terpenggal sama mudahnya seperti ranting pohon yang dipatahkan anak kecil."

"Kau menghinaku, kepala suku!" Garzo mengerang. "Kau menganggap aku tidak berguna lagi bagi suku ini! Mulai sekarang, aku mencabut sumpah setiaku padamu, dengan atau tanpa izinmu, aku akan tetap berperang!"

Dalam satu kedipan mata, tinju Krall menghantam wajah Garzo membuat ia tersungkur. Belum sempat orc muda itu sadar sepenuhnya. Krall mencengkeram leher baju perangnya agar ia bangun, dan menyeretnya sampai punggung Orc itu menabrak dinding aula dewan hanya dengan satu tangan. membuat hiasan yang menggantung di sana retak.

"Dengarkan aku!" Krall menggeram. Taring mereka nyaris beradu ketika mata hitam Krall memelototi panglimanya itu. "Apa yang kuperintahkan kepadamu jauh lebih berat daripada yang aku lakukan! Kami pergi berperang untuk mati, kemudian bergabung dengan para leluhur untuk beristirahat selamanya! Tapi kau-." Krall berhenti sejenak, dengan tatapan jengkel yang sama. "Kau harus tetap hidup dan memimpin suku ini di tengah dunia yang gila. Ini adalah tanggung jawab yang cuma kau sendiri yang bisa melakukannya! Apa kau mengerti?!"

Nyali Garzo menciut seperti seekor anak serigala di depan induknya. Ia mengangguk lesu, sementara Krall melepaskan cengkeramannya, dan berbalik hendak meninggalkannya, tapi Garzo memanggilnya.

"Bagaimana dengan istri dan anak anda?"

"Aku menitipkan nyawa mereka di belas kasih para leluhur," kata Krall sambil berlalu.

Krall mengamati desa yang mulai sepi. Garzo dan beberapa prajurit yang tidak bisa berperang karena kehilangan salah satu anggota tubuh mereka membantu mengatur barisan. Anak-anak yang cukup besar dibagikan kapak dan gada, bersiap melindungi keluarga mereka jika diperlukan. Para Orc tua dan perempuan berbaris di tengah untuk mempermudah penjagaan.

Para prajurit dan penunggang Omniwolf mengasah senjata mereka dengan batu hitam mengkilap. Hawa panas dan ketegangan membuat wajah mereka berkerut dan lelah, tapi pandangan mereka sama seperti waktu pertama kali Krall mengumpulkan para petarung itu untuk menahan serangan dari kerajaan manusia. Penuh kebanggan dan kehormatan.

Sekelompok shaman orc berjubah putih berkumpul di kuil. Ini juga salah satu dari hasil perundingan di Aula dewan. Para Shaman tidak ikut berperang, tapi membentuk tembok pelindung dengan tenaga mereka sampai upacara pemindahan jiwa Morgrath selesai. Delzar berjalan keluar barisan bersama dua pengikutnya dan memakai jubah berbulunya. Krall tahu arah yang mereka tuju.

Krall mempercepat langkah menuju rumahnya, begitu pintu berayun terbuka. Kaila sedang duduk di dipan, menggendong bayi kecilnya yang baru bangun dari tidurnya, ia tidak menangis, malah menatap ayahnya dengan mata bulat yang besar.

"Kau tidak berkemas?" kata Krall menutup pintu sambil meletakkan Brodbone bersandar kepada dinding, ia memandangi isi rumahnya. Kendi-kendi dari gerabah dan pakaian masih dibiarkan bertumpuk di sudut-sudut ruangan, sementara kapak untuk berburu masih menggantung di tempatnya semula.

"Untuk apa?" tanya Kalia."Takdirku adalah bersama keluargaku, walau sampai akhir yang pahit."

Krall duduk di sisi Kaila, memandangi putranya lekat-lekat, "Kau sudah memberi nama untuknya?"

Kaila menggeleng. "Apa itu perlu?" ia bertanya. "Krall, apa kau yakin masih ada masa depan untuk putra kita?"

"Aku percaya akan hal itu," kata Krall, berharap apa yang dikatakannya benar.

Krall menggigit ujung jari telunjuknya yang besar sampai berdarah, lalu menempelkaannya ke kening putranya, membuat tanda tiga goresan serupa sayatan cakar kecil berwarna merah. Sebagai simbol pemberkatan para orang tua kepada anaknya yang baru lahir.

"Semoga arwah leluhur selalu menyertaimu, dan jiwamu setangguh serigala di alam liar." kata Krall. "Putraku, Krall El Kharkan Gran Khalazur."

Setelah nama untuk putra mereka di sebut, Kaila mengangkat alisnya. "Apa kau tidak punya nama lain selain namamu sendiri dan kakaknya?"

"Apa kau bisa memikirkan nama lainnya?" balas Krall.

Dahi Kalia berkerut beberapa lama, kemudian senyum tipis tersungging di bibirnya yang bertaring kecil. "Tidak," katanya menggeleng. "Aku tidak bisa menemukan yang lebih baik daripada nama dua Orc pemberani yang telah hidup bersamaku selama ini."

Mereka tertawa, termasuk Krall kecil yang baru lahir dengan suaranya yang jernih dan lucu, seolah melupakan beban mereka untuk sementara, tetapi suasana hangat itu terganggu karena ketukan di pintu rumah.

"Siapa?" tanya Krall.

"Sudah waktunya, kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Para gagak melihat semua pasukan manusia bergerak menuju ke arah kita."

Dengan enggan, Kaila bangkit untuk berdiri. "Aku harus menemani putra kita menghadapi takdirnya." Suaranya terdengar bergetar. "Semoga para leluhur menyertaimu dan memberikan keselamatan dalam perang."

Krall hendak menjulurkan tangan untuk mencegah Kaila pergi, tapi kemudian ia menahan dirinya dan hanya memandangi istrinya berjalan untuk membuka pintu. Karena sang kepala suku menyadari, dengan membuat Kaila tetap di sana sedikit lebih lama, hatinya akan bertambah berat untuk melepas kepergian mereka.

Kaila pergi bersama Delzar didampingi dua orang Shaman lain, tanpa suara dan ia tidak menoleh ke belakang lagi. Membiarkan pintu rumah tetap terbuka sehingga Krall bisa melihat kepergian mereka yang menghilang dengan perlahan.

Sang kepala suku berdiri dari duduknya dan memejamkan mata. Berusaha keras menahan air mata yang ingin tumpah keluar. Bagaimanapun juga, ia adalah pemimpin yang tidak boleh mempertunjukan kelemahan. terutama di saat seperti ini, dimana para prajuritnya akan mengorbankan nyawa mereka.

Krall menarik napas dalam, membiarkan udara mengisi paru, kemudian mengembuskannya kuat-kuat,berusaha untuk mengenyahkan rasa kehilangan yang masih tersisa. Tangannya kemudian meraih gagang hitam Blodbrone.

Setelah itu, ia melangkah keluar untuk ikut mengantar istrinya, lalu menjemput peperangan di depan matanya 

=========
Bab 26 

Senang rasanya ada yang menunggu cerita ini :) 

Dan minggu ini disamping AC saya yang lagi cengeng (baca: bocor) kalau dinyalakan, saya dapat kuota malam melimpah untuk download, sehingga cukup bingung juga mau dipakai untuk download apa. 

Anyway, bagaimana dengan bab ini? Apakah cukup memenuhi ekspetasi kalian? Mohon dukungan vote dan komentarnya ya 

m(_ _)m     
=========
Bab Selanjutnya

"Mulai sekarang, ini adalah pertarungan para penyihir," kata Glaive. "Aku tidak bisa melibatkanmu lebih jauh dari ini. Terlalu berbahaya untukmu."

=========  

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro