32

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Selena merasa sebaiknya ia mati saja.

Semua yang ia sayangi telah direngut dalam pertempuran sia-sia yang direncanakan oleh iblis yang seharusnya mati puluhan tahun lalu, tetapi secuil jiwanya malah hidup di dalam penyihir yang paling dihormati oleh manusia.

Ia menyeret kakinya untuk mendekati bibir tebing. Mata kanannya menatap jurang di bawah, sementara penglihatan kirimya terhalang kegelapan untuk selamanya. Ia separuh buta sekarang.

Selena menarik napas dalam-dalam dan angin yang bertiup mengusap wajahnya, tapi dadanya terasa sesak. Apa gunanya ia hidup lagi? Takdir berulang kali telah mempermainkannya. Walaupun ia bersembunyi, Gladius cepat atau lambat akan menemukan dirinya. Dengan putus asa, ia mulai melangkah ke arah ruang kosong di depannya, sementara kerikil-kerikil meluncur turun lalu pecah berkeping-keping begitu menghantam tanah. Tubuh Selena pun akan bernasib sama.

Ia ingin menjatuhkan diri, tapi angin lembut mendadak mendorong tubuhnya menjauhi jurang. Selena terhuyung mundur dan mencoba untuk maju lagi, tapi tubuhnya kembali terdorong. Seolah ada yang tembok besar tak terlihat mendesaknya agar tetap dia berada di tempatnya.

"Biarkan aku pergi," kata Selena. Ia menggertakan gigi karena frustasi. "Aku telah mengecewakan semuanya. Apa gunanya lagi aku hidup?"

Angin lembut bertiup lagi, dan kali ini Selena bisa mencium aroma yang ia kenal, campuran rempah dan rerumputan, bunga liar dan berry dari sesemakan yang segar. Ia merasa hangat, sampai Ia tak bisa menahan air matanya.

"Kalia?" Selena mencoba memanggil dengan suara lirih dan mulai mencari-cari. "Kau ada di sini?"

Tidak ada jawaban, sosok Kalia juga tidak ada dimanapun, tapi wangi tumbuh-tumbuhan itu masih mengambang di udara dan ia masih bisa merasakannya. Itu adalah wangi tubuh Kalia. Selena tidak mungkin melupakannya.

Kakinya mulai digerakkan oleh wangi itu, Selena mulai merasa ada kekuatan baru yang mengaliri tubuhnya, membuatnya menuruni bukit walaupun sambil tertatih-tatih. Harapan kembali menyala dalam diri Selena. Kalia masih hidup, dan sahabatnya itu sekarang sedang menantikan bantuannya!

Dalam perjalanan ke bawah kaki bukit, Selena meringis, bukan karena kakinya yang pegal atau sakit, tapi karena ia harus membayangkan bagaimana kalau Glaive sudah sadar dari pukulan pedangnya dan harus menjelaskan masalah ini kepadanya? Pikiran itu terus menghantuinya bahkan ketika Selena sampai ke tempat di mana ia membaringkan Glaive, tapi tempat itu tampak kosong, menyisakan rerumputan di tanah yang tercabut dan berserakan di tanah.

Lalu dimana Glaive? Kenapa ia tidak membantunya kalau sudah sadar? Apakah penyihir itu kembali ke perkemahan?      

Dipenuhi pikirannya yang kacau, Selena kembali ke perkemahan tepat di saat para pasukan Levan yang berperang baru saja kembali. Segalanya tampak sibuk, udara penuh dengan erangan prajurit yang terluka, sementara para penyembuh berlarian kesana kemari membawa botol obat-obatan untuk merawat luka mereka. 

Selena melewati tenda-tenda sambil mencari-cari Glaive tapi yang ia temukan hanyalah para prajurit dan ksatria Shiri Zealot yang tidak ia kenal, duduk ataupun berbaring dengan tubuh kotor karena darah dan tanah. Seorang tabib langsung menarik lengan Selena untuk diantar masuk ke tenda penyembuhan, tapi dengan cepat Selena melepaskan tangannya.

"Anda perlu diobati." tabib itu mengerutkan dahi ketika mengamati Selena. "Mata kirimu memang tidak bisa disembuhkan, tapi lukanya kalau tidak dirawat....,"

"Aku harus membawa teman-temanku yang lukanya lebih parah." Selena beralasan. "Katakan saja obat yang kubutuhkan. Aku akan mengambilnya sendiri."

Tabib itu menatapnya curiga selama sesaat, sampai akhirnya merinci obat-obatan yang ia butuhkan, sementara Selena mendengarkan dengan tidak sabar.

Setelah mereka berpisah. Selena segera mencuci wajah dengan air dari baskom yang tergeletak di samping seorang tabib yang sibuk mengobati pasinnya.Pipi Selena berdenyut dengan rasa sakit saat air mengenai bagian matanya yang sudah rusak. Ia lalu mengambil ramuan yang diperlukannya di tenda obat-obatan dan mengoleskannya hingga rasa sakitnya berkurang, dan Selena juga menemukan kain bersih yang cukup panjang untuk menutupi mata kirinya.

Selena melihat Horace yang tengah berbaring untuk diobati, dan pemuda itu juga menyadari kehadirannya. Horace berteriak mencoba memanggil, tapi Selena mengabaikannya dan langsung menuju ke tempat kuda-kuda ditambatkan. Ia mendesah lega ketika tunggangan kesayangannya - Typhoon- masih ada di sana, sedang sibuk mengunyah rumput bersama kuda lain yang nampak kelelahan karena baru saja tiba. Yang terpenting ia harus mengikuti panggilan dari Kalia dulu, ia yakin Glaive akan baik-baik saja dan ia harus siap menghadapi semua konsekuensinya dari memukul kepala sang penyihir. 

Dengan cepat Selena memelanai Typhoon. Awalnya kuda cokelat itu tidak bergerak dari tempatnya seolah memprotes, tapi Selena tidak peduli. Ia tetap menarik tali kekang Typhoon sampai kuda itu akhirnya mau bergerak mengikutinya ke luar perkemahan, lalu segera pergi dari sana.

Langit mulai berwarna oranye, sementara wangi Kalia menguar lebih kuat dari sebelumnya. Typhoon seaakan tahu kemana penunggangnya akan pergi, ia berderap mengikuti angin yang membawa wangi itu. Selena bisa merasakan jantungnya berdebar keras.

Typhoon memperlambat langkah ketika udara anyir mulai bercampur dengan wangi milik Kalia menciptakan bau yang membuat perut mual. Bulu tengkuk selena meremang ketika ia menyadari di mana ia sekarang. Di depan matanya terbentang padang rumput dengan mayat para prajurit Levan dan Orc yang begelimpangan. Sebagian besar wajah mereka menganga penuh kesakitan sebelum pedang atau kapak mencabut nyawa mereka.

Benar-benar pertempuran yang sia-sia, pikir Selena getir. Seharusnya ini tidak terjadi.

Ia menyipitkan mata, berharap bisa menemukan ujung dari pemandangan memuakkan ini secepat mungkin, sementara burung pemakan bangkai mulai berputar-putar di atas kepalanya dan berkaok untuk siap berpesta. Selena mengerutkan kening ketika melihat sesosok tubuh yang masih berdiri tegak di ujung matanya.

"Krall!" panggil Selena. "Kau baik-baik saja?"

Krall tidak mendengar panggilan Selena. Tubuh besarnya tegak berdiri dan memandang jauh ke arah hutan. Selena bergegas memacu Typhoon menuju ke arahnya. Mendadak bahunya langsung terasa lemas begitu melihat kondisi Kepala Suku Orc itu. Luka-lukanya menganga lebar, sementara pedang bergagang perunggu masih tertancap menembus perutnya. Ia memang sudah tidak bisa mendengar, melihat atau bergerak lagi.

Krall telah tewas.

Selena memalingkan wajah berusaha untuk tidak menangis, tapi ia menemui pemandangan yang membuatnya semakin sedih. Tubuh Jendral Aiber tergeletak tidak jauh dari tempat Krall berdiri. Selena terisak, kedua tangannya menggenggam tali kekang Typhoon dengan keras sampai buku-buku jarinya memutih. Ia tidak sanggup membayangkan dua orang yang begitu dihormatinya saling bertempur dengan bodohnya sampai mati.

Dari atas langit, seekor burung pemangsa meluncur turun seperti anak panah. Paruhnya terbuka hendak mengincar mata Krall, mungkin untuk makanan pembuka. Selena berpaling, ia menebaskan pedang tepat di saat paruh si pemakan bangkai hampir mendekati wajah Krall, dan burung itu langsung tergeletak di tanah dengan darah dan isi perut yang berceceran.

Dari atas kudanya, Selena mecabut sebuah tombak yang tertancap di tanah, lalu melemparkannya kuat-kuat ke arah kawanan burung bangkai yang masih berputar-putar di udara, membunuh lagi salah satu diantaranya dan membuat yang lain pergi membubarkan diri dengan kaokan panik.

"Jangan pernah lagi kalian kembali ke sini!" Raung Selena sambil mengacung-acungkan pedang ke arah langit.

Kalau saja ia punya waktu, Selena ingin menghormati jenazah keduanya dengan lebih layak, tapi ia tidak bisa berlama-lama di sana. Dengan perasaan enggan, Selena meninggalkan tempat itu, sengaja membuat Typhoon berlari lebih cepat lagi. Berharap angin menghapus airmata yang terus turun menuju pipinya.

Typhoon akhirnya berhenti di tempat yang dulunya merupakan desa para Orc. Rasa dingin merayap di kulit Selena ketika ia memandangi rumah-rumah tempurung di sana sudah rata dengan tanah, hanya menyisakan reruntuhan bebatuan yang berserakan, tapi ia lega karena tidak menjumpai satupun jenazah Orc . Semoga saja mereka telah mengungsi jauh-jauh dari sini.

Dimana Kalia?

Selena berkeliling sambil memanggil namanya berulang kali sampai tenggorokannya kering, tapi ia tetap tidak menemukan tanda-tanda keberadaan Kalia, ia memandang jauh ke depan, melihat kuil para Orc yang setengah bagiannya sudah runtuh. Isi perutnya serasa diaduk-aduk.

Demi para penjaga semesta, jangan sampai dia ada di sana.

Dengan rasa khawatir yang semakin membebani kepalanya, Selena menuju ke kuil raksasa itu. Di sana, ia menemukan pemandangan yang tidak kalah mengerikannya dengan apa yang ia lihat di padang rumput. Tubuh para Shaman tercerai berai ke seluruh penjuru kuil, sementara tanah dan rerumputan hampir tertutup seluruhnya oleh warna merah darah. Selena menjerit kaget ketika kakinya menyandung kepala seorang Shaman yang sudah tidak mempunyai tubuh.

Belum sempat ia mengatur napas meredakan kekagetannya, matanya membeliak ketika mengenali sesosok tubuh berjubah yang tak bergerak, tepat di pintu masuk Kuil yang terhalang reruntuhan.

Ia melihat Glaive.

=========

Bab Selanjutnya

Mata Selena mencari-cari diantara batu-batu besar yang tadinya adalah atap kuil. Ia melihat sekilas jari-jari tangan yang panjang dan kurus terselip diantara bebatuan, lalu sesosok tubuh yang tergeletak karena tertimpa bebatuan besar.   
===========

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro