31

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seharusnya ia lari ketika masih ada kesempatan, tapi sekarang sudah terlambat.

Cahaya yang mendadak jatuh dari langit nyaris membutakan matanya. Membuat Selena memalingkan wajah karena ia sudah yakin pedang panjangnya sudah cukup untuk mengakhiri hidup Gladius, tapi itu adalah kesalahan besar.

Penyihir itu masih berdiri tegak di hadapannya.

Selena mencabut pedangnya dan darah menyembur keluar dari punggung si Penyihir. Gadis itu mencoba menusuknya lagi, kali ini di bagian bawah dan pedangnya dengan lancar menembus tubuh renta Gladius sekali lagi tanpa halangan, ksementara nota hitam embali mengotori jubah putih yang dipakanya, tapi tubuh di depannya tetap tidak roboh ke tanah.

Apa dia sudah mati? Selena harap begitu, tapi ia merasakan sesuatu yang aneh. Semuanya terlalu mudah.

Sebuah angin besar tiba-tiba menghantam perutnya seperti tinju raksasa. Ia terjungkal ke tanah dan menabrak dahan pohon, dan pedangnya terlepas dari genggamannya. Sambil menahan rasa nyeri, Selena mengerjapkan mata berusaha mengusir titik hitam yang menari di pandangannya, sementara debu-debu yang beterbangan mulai mereda.

Gladius perlahan berputar menghadap Selena, membuat gadis itu menjerit tertahan. Penampilannya yang bijaksana, rapuh dan tua sudah lenyap, ia yang sekasrang seperti mayat hidup dengan kulit seputih batu kapur dengan janggut dan rambut awut-awutan, sedangkan matanya merah membara . Ia menyeringai.

"Jadi, kau telah melihat semuanya, Nona?" Ia berbicara, suaranya kering dan kasar. "Kau sudah menyaksikan kehancuran orc para kaum sesat itu!"

"Aku sudah menduga kau di balik semua ini. Serpihan jiwa Morgrath ada padamu." Selena mendesis sambil mencoba untuk berdiri . "Tapi kenapa? Seharusnya kau yang membunuh Morgrath di gunung Khadgar. "

Gladius tertawa, "Itu hampir saja kulakukan," kata Gladius dingin. "Saat itu, tinggal sedikit lagi aku membunuhnya ... sebelum aku akhirnya menyadari apa yang akan kulakukan adalah sebuah kesalahan besar."

"Maksudmu ..."

"Jiwa Morgrath tidak seburuk yang mereka ceritakan nona kecil." tukas Gladius, "Karena ia akan meminjamkan kekuatannya untuk meraih tujuanku selama ini. Para peri dan kurcaci adalah musuh sesungguhnya dari kaum manusia."

Kata-kata itu seperti pukulan telak yang menghantam perut Selena, membuat ia ingin memuntahkan segalanya. Tapi bagaimana bisa? Penyihir agung. manusia yang paling dipuja oleh manusia di seantero Miderland, penuh belas kasih dan kelembutan.

"Tapi... kenapa?"

Gladius mengayunkan tangan ke arah Selena, dan gadis itu langsung tergantung diudara, seakan benang-benang yang tak terlihat menjeratnya. Selena berusaha meronta untuk membebaskan diri tapi sia-sia. Sementara itu Gladius melanjutkan ceritanya

"Pernahkah otak kecilmu itu berpikir tentang seberapa rapuhnya manusia?" tanya Gladius. "Seberapa kuat mereka jika dibandingkan para Elf yang bisa menyatukan dirinya dengan sihir alam? Lalu kurcaci yang terbiasa hidup di gunung dan menguasai kekayaan di tanah yang tak akan ada habisnya? Manusia hanya butiran debu diantara mereka."

Gladius mengepalkan tangan, membuat jeratan di tubuh Selena menguat, kaki dan tangannya seaakan diremas sampai hancur dan ia mulai tersedak.

"Manusia harus bertambah kuat dan menaklukan kedua ras itu, atau perlahan-lahan kita akan tersingkir dan menjadi budak mereka. Untuk itu aku butuh kekuatan besar, yang mampu membuat lebih banyak orang patuh kepadaku selain kekuatan nama dari Kalios. Kekuatan yang nyata. Tuanku yang baru ini, sang penjaga yang disingkirkan, dengan belas kasihannya mau meminjamkan kekuatannya padaku."'

"Artinya, para Orc dari dulu memang tidak bersalah!" Selena meninggikan suaranya. Muak akan apa yang dikatakan Gladius. "Kau memang sengaja melakukan pembantaian ini untuk mencari jiwa Morgrath? Dan Semua itu kau tutupi nama Kalios, sang penjaga manusia?!"

Cekikan di leher Selena menguat sampai ia tersedak. Selena mengerahkan seluruh tenaga yang ia punya hanya agar ia bernapas. Kakinya berusaha menendang-nendang dengan liar berharap bisa melepaskan ikatan sihir Gladius.

"Cerdas sekali," puji Gladius sinis. Matanya berkilat memancarkan kilau ungu. "Karena cakra murniku sendiri sudah hampir habis sebaiknya aku sudahi ceritaku dan kau segera kukirim ke Shamvalla, dengan sesuatu yang sangat istimewa!"

Sementara tangan kiri Gladius tetap terarah kepada Selena, ia membuka tangan kanannya. gumpalan asap hitam terbentuk di telapaknya dan semakin memipih, membentuk sebuah bilah tajam. Penyihir itu mengarahkannya tepat ke leher Selena.

Selena memejamkan mata bersiap menahan tusukan yang menyakitkan, ia sudah sangat kelelahan dan pasrah. Semua perjuangannya sia-sia. Ia menyesali tidak bisa menyelamatkan siapapun, Alan, Krall, Kaila, lalu putra mereka ....

Satu detik berlalu, lalu yang kedua dan ketiga.Selena bisa merasakan bilah itu mendekat di lehernya, dengan rasa dingin yang menusuk, tapi tidak ada rasa sakit yang menembus tubuhnya. Apa ia sudah mati? Atau ini memang ini sihir yang membuatnya mati tanpa merasakan sakit?

Selena memberanikan diri untuk membuka mata perlahan, jantungnya serasa merayap turun kembali ke tempatnya semula begitu mengetahui ia masih hidup dan ada di sana, walaupun tetap tergantung sama seperti sebelumnya. Tombak hitam itu menguap begitu saja ke udara, sedangkan Gladius berdiri tepat di depannya dengan tampang bingung.

"Apa yang kau sembunyikan?!" kata Gladius jengkel setengah keheranan. Ia membentuk bilah pisau hitam yang baru, lebih panjang dari sebelumnya. Lalu melemparkannya lagi, kali ini ke jantung Selena. Tapi sama seperti sebelumnya, bilah itu langsung menghilang sebelum mencapai sasarannya.

"Ke-kenapa?" Wajah Gladius memucat. Suaranya terdengar ketakutan. "Kenapa kekuatan anda tidak bisa membunuhnya?"

Gladius tampak berbicara sendiri. Mungkin penyihir ini sudah gila, pikir Selena. Tapi terdengar suara balasan yang membuatnya terpekik ngeri.Suara itu berasal dari Gladius sendiri.

"Bodoh," Suara penyihir agung itu berubah. Kali ini terdengar serak dan dingin, seperti orang yang tidak pernah minum air selama bertahun-tahun dalam hidupnya. "Pasti ... ada .... sesuatu... cari,"

"Benar sekali," desis Gladius. "Morgrath, sang penguasa seharusnya bisa dibunuh. Pasti kau punya sesuatu dari para Orc itu."

Gladius melangkah lebar-lebar ke arah Selena. detik berikutnya, ia merasakan sentuhan tangan kurus kering si penyihir di lehernya, tapi Gladius tiba-tiba berteriak kesakitan. Ia terhuyung mundur sambil memegangi tangannya yang kini melepuh, dan sihir yang mengunci Selena lenyap. Gadis itu jatuh terjerembab ke tanah.

Selena terbatuk-batuk, di tengah kesadaran dan tenaganya yang mulai berkumpul, ia bisa melihat Gladius terhuyung. Kulit di tangannya mengelupas memperlihatkan daging berwarna merah dan mengkilat.

"Aku tidak bisa memegangnya, kenapa?"

"Pergi ... dari sini," Suara Morgrath menjawabnya.

"Tapi, tuan ... jiwa anda ...,"

"PERGI!" Morgrath meraung, kali ini disertai kepanikan dalam suaranya.

Selena meraba-raba lehernya. Ia baru menyadari benda yang tergantung di sana. Pemberian dari sahabat yang telah mempercayai dirinya. Kalau Morgrath begitu takut dengannya, bisa saja karena benda ini. Mungkin juga ia bisa berbuat sesuatu walaupun peluangnya kecil, tapi ia harus mencoba. ...

Cahaya hitam mulai mengelilingi tubuh Gladius ketika ia memulai sihir perpindahan tempat. Selena berdiri dan mencabut kalung milik Kalia dari lehernya, ketika tubuh Sang Penyihir mulai tertutup, tangan Selena menembus tirai hitam dengan taring kecil dari kalung Kalia yang ia hujamkan tepat ke arah Gladius.

Gladius berteriak seperti binatang buas yang terkena anak panah begitu kalung milik Kalia menyentuh dadanya. Secara ajaib, ujung kalung Kalia menembus baju dan kulitnya semudah pedang menusuk sebuah kertas. Retakan yang mengeluarkan sinar merah darah mulai muncul di dada Gladius.

"Untuk Kaila dan para Orc!" raung Selena, sementara tangannya berusaha semakin menekan lebih dalam.

Tirai hitam di sekeliling tubuh Gladius mulai meninggi. Dalam kepanikan, ia mencakar udara dengan liar. Ujung jari-jarinya dipenuhi sinar hitam dari tenaga sihirnya yang keluar tanpa kendali. Tangan kanannya berhasil meraih wajah Selena.

Rasa sakit yang tajam seketika menusuk mata kiri Selena. Sebagian pandangannya langsung dipenuhi warna merah, kepalanya terasa panas. Ia menjerit dan jatuh berlutut. Kalung milik Kalia terlepas dari tangannya.

"Kita akan .... menyelesaikan ini ... kelak," Suara Gladius sayup-sayup terdengar sebelum tubuhnya lenyap karena sihir perpindahan. "Cepat ... atau ... lambat ... Kematianmu akan sangat .... Menyakitkan."

Selena tidak mau menyerah begitu saja, ia merangkak bergegas meraih kalungnya, tapi terlambat. Tirai hitam itu langusng terbuyarkan dan tubuh Gladius sudah lenyap. hanya menyisakan sepetak tanah dengan rerumputan yang menghitam, lalu luruh menjadi abu.  


=========
Saya hidup dari tiga hal, PC, AC, dan koneksi internet. Jika salah satu saja mengalami gangguan maka mood saya akan berantakan. Yah sayangnya beberapa minggu ini AC saya lagi bermasalah dan tukang reparasinya belum datang-datang juga jadilah saya kepanasan ketika harus mengedit cerita ini, mungkin hasilnya tidak maksimal. Karena itu saya minta maaf. 

Tapi saya tetap mohon dukungan dari kalian semua para pembaca berupa vote dan commentnya 

m(_ _)m
=========
Bab selanjutnya

"Biarkan aku pergi," kata Selena lirih. Ia menggertakan gigi karena frustasi. "Aku telah mengecewakan semuanya. Apa gunanya lagi aku hidup?"

=========
 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro