30

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Krall terus menerobos barisan para prajurit pejalan kaki yang mencoba menghalangi jalannya sambil mengayunkan kapak raksasanya dengan liar, membuat tiga orang prajurit manusia terbelah menjadi dua dalam sekali tebas. Sementara Frost juga tidak kalah beringas, ia mengoyak kepala seorang prajurit muda yang ketakutan, tepat sebelum ia menusukkan tombaknyanya kepala dan tubuhnya terpisah, meninggalkan bercak merah darah di moncong Frost.

"Terus maju!" Krall memberi perintah. "Para penunggang, bunuh penyihir mereka lebih dulu!"

Mendengar perintah Krall, para penunggang Omniwolf mempercepat laju mereka. sebagian bahkan melompati kepala para prajurit manusia yang ternganga sebelum kepala mereka hancur oleh gada para prajurit Orc.

Biar para prajurit itu diurus oleh yang lain, pikir Krall. Kalau bisa menghabisi ksatria sihir mereka lebih dulu, segalanya akan berjalan lebih mudah.

Para Ksatria sihir Zealot nampak tidak terpengaruh oleh deru dan getaran tanah yang ditimbulkan oleh kaki-kaki serigala raksasa itu, mereka tetap duduk tenang di kudanya dan semakin merapatkan barisan. Sebagian besar mengacungkan tangan ke depan, mulai memancarkan cahaya merah dan biru terang. Di langit bola-bola api dan bilah es tajam bermunculan lalu meluncur ke arah para Orc.

"Berpencar!" Krall berseru sambil menunduk menghindari bola api yang melewati kepalanya , bola api itu meledak, meninggalkan kobaran api dan kepulan asap kelabu tinggi di belakang mereka.

Barisan para penunggang terpecah menjadi puluhan kelompok kecil di tengah kekacauan. Beberapa penunggang yang tidak berhati-hati tewas karena bilah es yang menancap tepat di dada atau kepalanya, sedangkan yang lain terbakar hidup-hidup bersama Omniwolf tunggangannya.

Sambil terus melaju, Krall mengambil kapak lempar yang terpasang di sabuk kulitnya, lalu melemparkannya kuat-kuat ke arah barisan para Zealot, berharap setidaknya satu orang akan mati dengan kepala terpenggal.

Kapak milik Krall meluncur dengan cepat, tapi begitu berjarak hanya sehelai rambut dari salah stu Zealot , kapak itu langsung hancur menjadi kepingan baja dan kayu kecil seakan menabrak dinding kokoh yang tak kasat mata.

Seharusnya manusia tidak sekuat ini, pikir Krall getir sambil menepis beberapa bilah es yang nyaris menusuk lehernya dengan Brodbone. Dalam kecepatan tinggi Frost, ia mulai menyadari jumlah para penunggang Orc menyusut semakin banyak.

Jarak antara Krall dan para ksatria sihir menyusut dengan cepat sampai hanya tinggal sepelemparan batu lagi, dan ia bersiap untuk mengayunkan kapaknya kuat-kuat untuk memporak porandakan barisan mereka. Mendadak Frost melolong keras dan melemparkan tubuh Krall ke udara, lalu jatuh dengan debam keras yang menyakitkan.

Krall berguling di tanah sambil meringis. Selama sedetik, ia berusaha mengusir titk-titik hitam yang menari di matanya, tapi begitu pandangannya kembali fokus, yang keluar dari mulutnya adalah lolongan marah yang terakhir kali ia keluarkan saat menyaksikan putranya terbunuh.

Frost. Omniwolf gagah berani yang selama ini menemaninya dalam perburuan dan pertempuran, sebagian dari dirinya sendiri, sudah tidak bernyawa lagi. Tubuh besarnya menggantung diudara, dengan leher tertusuk batangan batu runcing yang mencuat tinggi dari dalam tanah.

Darah di seluruh nadi Krall terbakar dengan rasa marah, ia langsung bangkit dan menerjang para Zealot. Tanpa mempedulikan perisai kasat mata yang menghalanginya, Krall menghujamkan kapaknya keras-keras, menimbulkan percikan cahaya yang menyilaukan.

Kuda-kuda para Zealot meringikik panik, sebagian bahkan menjatuhkan penunggangnya dan melarikan diri. Zealot yang berada di dekat Krall berusaha menghentikan usaha monster hijau besar itu untuk menembus dinding pelindung dengan menembakkan banyak sihir. Sambaran petir, pisau es yang mengiris tubuh sang Kepala sukutapi membuatnya tidak peduli, akar rambat yang mencoba melilit tangan dan kaki Krall berhasil dipatahkan dengan tenaganya.

Satu hantaman dari Brodbone dan akhirnya perisai sihir dari Ksatria Zealot hancur dalam ledakan dan cahaya putih terang.

"Hentikan iblis itu, cepat!" Seorang Zealot berteriak panik sebelum kepalanya terbelah menjadi dua.

"Kalianlah yang akan kami hentikan!" Krall menggeram seperti binatang buas, lalu ia membunuh dua orang Zealot perak lagi yang baru saja berhasil menusuk lengan kiri dan paha kanannya dengan bilah es.

Para Orc bertarung seolah kerasukan arwah hutan setelah melihat pemimpin mereka. Selama lebih dari satu jam, walaupun banyak senjata yang hancur karena sihir, para prajurit dan Penunggang Omniwolf itu bertarung dengan apa yang mereka miliki. Mematahkan leher para Zealot hanya dengan kuncian lengan, atau menghancurkan kepala mereka dengan pukulan kuat.

Sama seperti para Zealot, mahluk hijau pemberani ini pun menyadari, gugur dalam sebuah pertempuran adalah kehormatan tertinggi yang bisa mereka raih.

Krall berjalan terhuyung setelah membunuh Zealot terakhirnya , bagian tajam Brodbone berwarna merah tua, nyaris menghitam karena banyaknya darah yang menempel. Udara di hutan itu berbau campuran anyir darah dan asap yang memuakkan.

"Demi Levan!"

Sebuah seruan dan dua ksatria berkuda meluncur cepat ke arah Krall, mengayunkan tombak dan pedang mereka. Orc itu menghindar ke samping, dan di saat yang sama tangannya meraih pinggang salah seorang Ksatria dan membantingnya jatuh.

Ksatria itu berusaha bangkit, tapi Krall meninjunya sebelum ia bisa berdiri, membuat helm bajanya terlepas sehingga ia bisa melihat wajahnya. Laki-laki itu masih sangat muda, berusia tidak jauh dengan Selena. Ia pendek tetapi berotot dan terlihat seperti prajurit yang tangguh, lengannya menggenggam pedang dengan gemetar.

"Pergilah sekarang," kata Krall dengan suara datar. "Kegilaan ini bukan tempat yang cocok untukmu."

Ksatria itu mengacungkan pedangnya ke depan, tapi ia hanya diam seperti sebuah patung, sementara Krall bersiap-siap mengayunkan kapaknya.

"Horace, awas!"

Krall berbalik, dan sebuah tombak menyambar dada kirinya, menyemburkan darah berwarna merah kehitaman, Sebagai balasannya, Krall menggenggam tombak itu dan melemparkannya bersamaan dengan orang yang memegangnya hingga terlontar dan menghantam tanah.

Kali ini Krall mengenali musuhnya yang baru saja tiba, dengan baju baja warna merah dan pedangnya yang bergagang perunggu. Aiber Somerville.

"Horace, aku akan mengurus ini!" Aiber berseru tanpa mengalihkan pandangannya dari Krall. "Bantulah yang lain."

Sesaat Horace ragu, tapi sedetik kemudian ia berdiri dengan mantap. "Aku akan membantumu, Jendral."

"Kau yakin ?" tanya Aiber.

Horace mengangguk.

"Kalau begitu, serang dengan aba-abaku."

Tanpa menunggu lebih lama, keduanya mengayunkan pedang panjang mereka hampir bersamaan. Mereka menyerang dengan gerakan berlawanan, Membuat Krall menangkis serangan mereka dengan lambat. Ia menahan terjangan pedang Aiber dari atas, tetapi dari kiri Horace berhasil menyabet pinggangnya.

Krall meraung kesakitan. Di saat yang sama, ia menghantamkan tinju kirinya ke arah Horace, membuanya tersungkur untuk kedua kalinya, lalu menendang perut Aiber sampai ia terjengkang ke tanah.

Luka-lukanya terbuka lagi. membuat rasa sakit yang menyengat dan darah yang tadinya sudah membeku mengalir kembali. Pandangan Krall mulai berbayang dan kepalanya terasa pusing, ia harus segera mengakhiri pertempuran ini.

Krall berjalan ke arah Horace dengan terseok-seok, sementara pemuda itu berusaha bangun. Tapi nampaknya tenaga besar Krall membuat ia hanya bisa mengangkat punggung, keringat dinginnya mengalir turun ketika Krall mengangkat kapak, siap membelah dirinya jadi dua.

"Lawanmu itu aku!" Aiber berseru dari belakang, ia menebaskan pedang panjangnya ke punggung Krall. Jenderal tua itu langsung menunduk begitu Krall balik menyerang, membuat tebasannya hanya mengenai angin.

Rambut kelabu Aiber berantakan dan wajahnya kotor karena darah dan tanah, keadaannya tidak lebih baik daripada musuhnya, tapi ia tetap berusaha untuk berdiri tegak.

Krall tahu, hanya satu dari mereka yang akan keluar hidup-hidup dari perang ini.

Keduanya saling menyerang lagi. menyabet dan menangkis, menusuk sambil menghindar. Kral mengayunkan kapak dengan gerakan membelah dan Aiber berhasil berguling menghindar, lalu berusaha membalas dengan serangkaian tebasan tanpa putus, sampai senjata mereka saling bergesekan dan menimbulkan bunga api.

Krall mempercepat ayunan Brodbone walaupun otot-otot di lengannya berdenyut hebat. Sedetik ketika bagian tajam kapaknya terangkat membuat tubuhnya terbuka tanpa perlindungan, Aiber melihat kesempatan dan menusukan pedangnya tepat di perut Krall.

Rasa sakit menyentak hebat menjalar dari ujung kaki sampai kepala Krall ketika logam tajam itu merobek kulit dan dagingnya. Brodbone terlepas dari tangannya, dari pandangannya yang mulai mengabur, ia bisa melihat seringai puas Aiber.

"Semoga ... jiwamu ... kembali kepada... kegelapan." Aiber terengah-engah sambil berusaha mendorong pedangnya semakin dalam ke perut Krall, tidak mempedulikan darah yang mengotori tangannya.

Mengerang menahan rasa sakit, dengan susah payah Krall mengangkat kedua lengannya tinggi-tinggi. Mengumpulkan sisa kekuatan yang ia punya ke pegelangan tangan. Sambil meraung ia menghantamkan keduanya ke leher Aiber.

Aiber ingin berteriak tapi terlambat. Ketika bunyi krak kecil terdengar, Jendral tua itu hanya sanggup membuka mulut , tapi suaranya tidak pernah keluar, sementara rona di wajahnya menyusut dengan cepat, berganti warna putih pucat sebelum ia roboh ke tanah.

"Jendral! Jendral Aiber!" Horace berteriak dengan suara pecah. Sambil tertatih-tatih, ia berlari ke arah tubuh sang Jendral, memanggil namanya berulang kali, tapi sia-sia. Aiber hanya membalas dengan pandangan mata kelabunya yang kosong.

"Jangan mendekat!" Horace mengacungkan pedang ke arah Krall. Rasa sedih, marah dan ketakutan bercampur jadi satu dan terlihat di matanya yang mulai merah dan bibirnya yang bergetar . "Aku ... akan ... membunuhmu ... kalau ... kau mendekat!"

Horace tidak akan berani bergerak sedikitpun dari situ. Karena itu, Krall tetap melangkah maju.

Suara angin menderu yang datang membuat Krall mengalihkan perhatian. Kumpulan awan seolah dikoyak paksa oleh tangan tak terlihat ketika sebuah cahaya menyilaukan meluncur cepat ke bumi menghasilkan suara gemuruh hebat yang menimbulkan gumpalan debu raksasa. Tubuh Krall menjadi limbung karena getaran di tanah tempat ia berdiri.

Jantung Krall melesak ke bawah perutnya begitu ia menyadari ke mana sinar itu jatuh.

Kuil di perkampungan Para Orc

Kalau bisa, Krall ingin berlari ke sana, tapi ia hampir tidak punya tenaga lagi, bahkan untuk menggerakan jari-jarinya. Ia hanya sanggup mengeluarkan satu kata dari kerongkongannya.

"Kalia!"

=========Salah satu chapter favorit saya ^_^
Kalau mau tanya kenapa updatenya sampai terlambat, silahkan protes sama provider saya tri entah kenap ajaringannya kebanyakan edge terus belakangan ini. 
Tetap mohon dukungannya berupa vote dan kritik-saran ya  
m(_ _)m=========

Next Chapter
"Manusia harus bisa menguasai semuanya, apa kau tidak pernah berpikir kelak para ras lain akan memburu manusia untuk dijadikan mangsa?!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro