29

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Selena kini menatap sosok berjubah panjang dari penyihir Gladius yang berdiri hanya berjarak satu lemparan batu di depan matanya.

Ia berlutut di antara sesemakan yang terhimpit diantara dua buah pohon yang menjulang tinggi. Beberapa kali Selena harus menahan bersin ketika dedaunan semak itu menggelitik wajah dan membuat hidungnya terasa gatal. Sementara satu gerakan gegabah saja bisa mengantarnya ke kematian dengan lebih cepat.

Jubah dan topeng Zealot yang ia pakai untuk menyamar telah dibuangnya setelah menyandarkan tubuh Glaive yang tak sadarkan diri di sebuah pohon yang ia anggap cukup nyaman. Selena benci mengenakan pakaian itu, terasa pengap dan panas, juga memuakkan karena ketika topeng itu menempel di wajahnya, ia merasa mengerikan, dan kehilangan sisi kemanusiaannya. Seperti boneka tanpa perasaan yang bisa diperintah seenaknya atas nama Kalios.

Begitu juga dengan baju pelat baja yang ia pakai. Selena ikut melepaskannya setelah memasuki hutan agar ia bisa bergerak lebih leluasa, kaki kirinya sekarang terasa pincang karena penyembuhan darurat dari Glaive. Mustahil ia memyusuri jalan setapak yang mendaki dengan membawa beban berat. Lagi pula baju baja seperti itu tidak akan bertahan lama menghadapi sihir yang bisa menyasar jantungnya dalam sekejap.

Sekarang ini, nyawanya hanya bergantung pada baju rantai besi yang menutupi tubuhnya dan sebilah pedang di genggaman tangannya. Juga keyakinan bahwa ia pasti bisa melakukan tindakan konyol ini.

Seorang Zealot yang mengawal Gladius menoleh ke belakang. Matanya yang terhalang topeng berwarna keperakan bergerak-gerak seperti mencari sesuatu. Selena menundukkan kepala begitu tatapan pria itu mengarah kepada sesemakan tempatnya bersembunyi.

"Ini sudah kelima kalinya kau seperti itu." pria lain di sebelahnya menegur dengan suara jengkel. "Apa yang mengganggumu, Kevlan?"

Pria yang dipanggil Kevlan itu hanya menggeleng. "Aku merasa ada yang mengawasi kita."

"Dan apa kau tahu apa itu?"

Kevlan mengangkat bahunya. "Entah, bisa saja manusia, serigala, atau burung. Tapi aku bisa memastikan kita sedang diawasi."

"Burung-burung mengawasi kita, tupai memandangi kita. Semua alam ini mengarahkan matanya kepada tempat ini." Suara berat milik Gladius menengahi pembicaraan mereka berdua.hingga para Zealot itu terdiam. "Ini adalah saatnya kita mengerahkan kekuatan kita dalam nama Kalios untuk mengirim kembali mahluk-mahluk sesat itu kembali ke alam mereka. Sekarang himpun tenaga kalian!"

"Kau mau aku memeriksanya?" Kevlan menawarkan diri.

"Tidak usah, biarkan saja."

Mendengar perintah Gladius, semua Zealot pengawalnya menundukan kepala dan memejamkan mata. Beberapa saat, angin bertiup di sekitar kelompok itu dan semakakin lama semakin kencang, hingga akhirnya menciptakan pusaran kecil di sekeliling mereka yang menerbangkan dedaunan dan sosok mereka di depan Selena hanya berupa sekumpulan warna hitam yang kabur di tengah gumpalan debu berwarna kelabu.

Apa yang harus ia lakukan sekarang? pikir Selena. Glaive tidak memberitahu kalau Ultima bisa dilakukan dengan lima orang, ia sendiri tidak yakin bisa mengalahkan Gladius. walaupun si penyihir itu dalam keadaan setengah sadar, dan kini Selena harus menghadapi keempat ksatria sihir Zealot lain.

Jeritan menyayat mendadak terdengar dari balik pusaran angin yang terus berputar dan menyentak Selena. membuatnya mengeratkan pedang dalam genggamannya, ia bersiap untuk segala kemungkinan buruk yang akan terjadi. Suaranya terus melolong memenuhi udara, penuh dengan rasa sakit dan penderitaan. Selena harus menggertakan gigi untuk menahan rasa ngilu yang menusuk-nusuk pikirannya.

Teriakan siapa itu? Selena berharap seorang Zealot mendadak menyerang Penyihir Agung dan mempermudah segalanya, ia tinggal membereskan sisa-sisa mereka lalu pergi secepatnya dari tempat menyeramkan ini.

Teriakan penuh penderitaan dan kesakitan itu perlahan menghilang, diikuti pusaran angin yang juga mereda. Selena ingin menarik napas lega, tapi udara seakan tertahan di kerongkongan dan perutnya merasa mual melihat pemandangan di depan matanya.

Kalau saja ia boleh menjerit, Selena akan menjerit sekeras-kerasnya sekarang.

Tubuh keempat Zealot pendamping Glaive yang tadinya terlihat kekar, kini hanya tinggal tulang belulang warna kelabu dengan Tengkorak yang hanya menyisakan dua rongga kosong di tempat dimana seharusnya bola mata berada. Mereka melayang di udara seperti boneka tali yang hampir putus, sementara jubah dan baju perang yang mereka pakai melorot dan jatuh ke tanah, tetapi penyihir agung masih ada di sana, berdiri dengan api keunguan yang mengelilinginya sekarang.

Sihir apa ini? Selena tidak pernah mempelajari sihir sejahat ini di akademinya dulu. Kalau saja Glaive ada bersamanya, mungkin saja penyihir mengetahuinya dan bisa menyusun rencana untuk mengatasi hal ini tapi ....

Tidak, tidak, Selena berusaha mengusir bayangan itu jauh-jauh dari kepalanya. Glaive sudah terlalu banyak berkorban untuk membantunya dan Ia tidak mau membahayakan penyihir itu lebih jauh lagi.

Selena menggertakan gigi kuat-kuat berusaha menahan suaranya agar tidak keluar ketika akhirnya sisa kerangka Zealot itu luruh menjadi debu, sementara kobaran ungu di sekeliling tubuh Gladius semakin besar dan membakar rerumputan yang dipijaknya.

Gladius kelihatan lebih segar dan berdiri tegak, tapi di saat yang sama, ia melangkah sempoyongan seperti orang mabuk. Penyihir Agung lalu mengangkat kedua lengan dan tangannya mulai berpendar dengan cahaya terang seakan matahari ada di dalam genggemannya.

Inilah saatnya, pikir Selena. sekaranga Gladius tidak akan bisa bergerak dalam waktu yang cukup lama. Tapi entah kenapa rasa ngeri menjalar perlahan merayap dan membuat lengan Selena gemetar. Sebagian dari dirinya ingin meletakkan senjata lalu melarikan diri, melupakan segalanya dan hidup tenang entah di mana. Nalurinya berkata, kekuatan lawan di hadapannya terlampau besar untuk ia hadapi. Apakah ia sanggup melakukan tugas ini?

Selena memejamkan mata dan wajah Kalia membayang di kepalanya. Wanita Orc itu telah mengorbankan segalanya. Dendam, bahkan kedua putranya yang pasti lebih beharga ratusan kali dari nyawanya sendiri, kemudian Selena membayangkan rasa sakit yang ia alami. Luka-lukanya yang ia derita selama ini akan sia-sia kalau ia tidak menyelesaikan tugasnya.

Pikiran tentang Kalia membuat keberanian Selena kembali. Ia mengangkat perlahan pedang di tangannya. Matanya tertuju kepada punggung Gladius yang terbuka tanpa perlindungan, tusukan telak di jantung penyihir itu seharusnya sanggup menyelesaikan segalanya dengan cepat.

Perlahan, awan di ujung cakrawala terbelah dengan cahaya menyilaukan yang mulai menyembul keluar, dan Selena segera berlari keluar dari persembunyiannya, lalu menghujamkan pedangnya tepat ke punggung Gladius.


=========
Next Chapter

Krall berguling di tanah sambil meringis. Selama sedetik, ia berusaha mengusir titk-titik hitam yang menari di matanya, tapi begitu pandangannya kembali fokus, yang keluar dari mulutnya adalah lolongan marah yang terakhir kali ia keluarkan saat menyaksikan putranya terbunuh.

=========

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro