3. WHAT CAN I DO?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rumah Evan cukup nyaman bagi Nadia. Dibandingkan rumahnya yang sering ribut dan membuat tak nyaman. Sejenak lamunan Nadia melayang pada pertengkaran orang tuanya.

"Eh, mikirin apa, sih?" Evan menyodorkan air mineral dingin. Tak lama air itu tandas tak bersisa, berpindah membasahi tenggorokan Nadia.

"Haus, lo?" Evan tersenyum melihat Nadia minum tadi.

Nadia sudah macam orang habis lari marathon berkilo-kilo jauhnya. Evan geleng-geleng, lalu beranjak lagi entah ke mana.

Pertemuan pertama dilakukan di rumah Evan. Janjian awal sebenarnya di sekolah saja. Tetapi karena ada sesuatu yang harus dia ambil dan lakukan, akhirnya di sinilah Nadia berada. Entah apa yang dilupakan, dan harus dilakukan Evan, sampai meninggalkan Nadia menunggu di ruang tamu selama lima belas menit.

"Rumah begini luas, dia tinggal sama siapa? Nggak mungkin sendiri, kan?" Nadia ber-monolog sambil pandangannya menyapu seluruh ruangan.

Kakinya menuntun ke arah taman samping rumah. Di sana ada beberapa bunga yang sedang mekar. Mawar, anggrek, beberapa tanaman malah sedang viral karena harganya mahal.

"Mama gue yang suka taman ini, dia nggak pernah absen ngecek berapa bunga yang tumbuh." Evan menghampiri Nadia dengan nampan berisi tiga toples camilan.

Lagi-lagi Nadia terperangah, dia melihat sisi lain dari Evan. Yang bisasanya dingin, cuek, sembarangan kalau bicara, sekarang berubah menjadi Evan yang hangat dan menyenangkan. Dan dia tidak sendirian menempati rumah besar itu.

"Sadar, Nad! Lo mau belajar, bukan mau mengagumi tutor-nya." Dengan cuek dan PD-nya Evan bicara tanpa melihat reaksi Nadia.

"Kepedean, lo!"
Gadis itu langsung mengalihkan pandangannya dari Evan.

Evan memutuskan belajar di depan taman. Nadia tidak keberatan, malah suasananya sangat mendukung. Nadia lega semua lancar tanpa harus berselisih paham dengan Evan.

"Gue bantuin bawa gelasnya ke belakang, ya?" Nadia merapikan gelas dan camilan ke atas nampan.

"Nggak usah. Ada pembantu yang beresin nanti."

"Nggak apa-apa, sekalian. Daripada dibiarin di sini, banyak semut. Belum kalo disandung orang, bahaya kan," oceh Nadia sambil membawa nampan beserta isinya.

"Gue bilang nggak usah ya nggak usah." Evan mencegah langkah Nadia. Diambil alihnya nampan dari tangan Nadia.

Nadia mendecak kesal. Sifat aslinya Evan mulai kambuh.
"Ya, udah iya. Gue pulang, aja. Makasih udah mau bantuin gue." Nadia merapikan buku dan semua alat tulisnya.

"Gue mau bantuin lo karena diminta sama Pak Noval. Jangan mikir macem-macem," gerutu Evan menutupi rasa bahagia yang dia sembunyikan. Hari pertama bisa sedekat ini dengan cewek yang disayangi, tentu menyenangkan.

"Iya, gue tahu. Tapi gue bukan orang yang nggak tahu diri sudah dibantu langsung pergi," sela Nadia.

Geregetan juga lama-lama dia harus menghadapi Evan dengan model labil begini. Tanpa berpamitan lagi, Nadia langsung memakai sepatu dan beranjak dari duduknya.

Setelah Nadia naik ojol, Evan mengusap wajahnya kasar. Bingung dan menyesal, kenapa harus marah lagi sama Nadia. Padahal tadi komunikasi mereka sudah membaik.

Tidak ada masalah besar juga, Nadia cuma ingin membantu membawa bekas makan minum mereka ke dapur. Tetapi Evan ketakutan sendiri kalau Nadia akan melihat semua obat yang belum dia bereskan di meja makan. Bisa kacau kalau sampai Nadia melihat dan menghujaninya dengan pertanyaan.

Dan, Evan belum siap rahasia terbesarnya diketahui Nadia.

***

Pertemuan demi pertemuan Nadia ikuti sesuai jadwal. Marco tidak pernah mau tahu apa yang Nadia lakukan. Jadi Nadia merasa lebih baik hanya melapor pada Lina. Toh, nanti bundanya pasti bilang ke Marco.

"Nad, udah tidur?" tanya Lina perlahan.

"Belum, Bun. Masuk, aja, nggak dikunci, kok!" Nadia merapikan semua catatan yang dia dapat dari Evan.

Lina masuk lalu duduk di tepi tempat tidur. Nadia menyusul duduk di samping Lina.

"Ada apa, Bun?" Jangan sampai ada kekerasan fatal dari Marco lagi.

"Kamu ... nggak ingin berbaikan sama Ayah? Biar bagaimanapun, selama ini dia yang men-support kita dalam hal materi."

Nadia menoleh cepat ke arah Lina. Jelas sekali Nadia marah dengan permintaan bundanya. Akan tetapi Nadia berusaha menahan.

"Bun, berbaikan seperti apa? Selama ini Nadia nggak pernah ngelawan Ayah. Bunda tahu sendiri dia yang selalu mulai bermasalah dengan Nadia."

Nadia sadar, Lina hanya ingin dia mengalah lebih dulu. Tetapi sekarang hal itu sangat berat bagi Nadia. Lagipula dengan mengalah, Marco akan semakin menginjak-injak mereka. Harus ada tindakan lebih untuk mengubah keadaan.

"Bunda nggak mau ada ribut-ribut lagi, Nad. Biarin Ayah lakuin apa pun, kita nggak usah protes. Toh, faktanya memang Ayah yang hidupin kita."

Sudut pandang ini yang Nadia tidak suka. Uang selalu jadi masalah besar dalam hubungan apa pun, saat salah satu pihak berlaku seenak perutnya. Nadia menghela napas dalam. Dia masih SMA tindakan apa yang bisa dia lakukan untuk mengubah keadaan.

"Oke, Bun, nanti Nadia akan minta maaf sama Ayah. Tapi, Bunda jangan berharap terlalu besar, kalau setelah itu Ayah akan berubah. Dia tidak sayang kita lagi."

Lina terdiam. Nadia sudah begitu dalam terluka karena Marco. Sebagai Ibu apa yang dia lakukan? Malah terus menambah luka itu dengan memintanya bertahan.

"Maafin Bunda, Sayang. Hanya sementara kita lakukan ini, Bunda akan selesaikan semua secepatnya."

Selepas keluar dari kamar Nadia, tangis Lina pecah. Ditutupnya mulut rapat-rapat sambil melangkah cepat menuju dapur. Terlalu banyak penderitaan yang dialami Nadia karena Marco dan kebodohannya.

Untuk melakukan semua rencananya, Lina perlu dana. Sedangkan dana yang diberikan Marco selama ini diberikan harian. Jumlahnya pun sudah habis untuk keperluan harian.

"Enggak boleh cengeng, Lin. Demi Nadia, lakukan sesuatu!"

Bersambung

Thank you for reading, Guys. See you on the next chapter.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro