6. NGGAK RELA, TAPI KENAPA?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Orang kok, nggak ada capeknya. Udah lemes kayak gitu, kirain bakalan libur tutornya, eh ini malah rajin banget," omel Nadia sambil merapikan tempat tidur.

"Marah sama siapa, Nad?" Lina menyela di antara omelan yang tidak jelas didengar.

"Eh, Bun. Enggak, lagi kesel sama temen," jawab Nadia sambil meletakkan beberapa buku paket pelajaran ke tempatnya semula. 

"Bunda ada yang perlu diobrolin sama Nadia?" Nadia memutar kursi dari meja belajar mendekat ke arah Lina. Tentu saja setelah kamarnya sudah rapi. 

"Nad, Ayah nggak setuju kalo Bunda buat kue buat dijual. Jadi, kita batalin aja, ya?" ujar Lina dengan menyesal. 

Dia tahu Nadia ingin mereka memiliki penghasilan sendiri, tanpa bergantung pada Marco, yang ujung-ujungnya akan merendahkan mereka lagi.

"Bunda bilang sama Ayah?" tanya Nadia, tampak sekali dia menyesalkan tindakan bundanya. Tak habis pikir kenapa Lina begitu lemah, seperti tidak punya kuasa atas dirinya sendiri.

"Ya sudah gini aja, Bun. Kita tunda dulu rencana kita. Nadia buru-buru ada jadwal tutor, harus berangkat sekarang. Nanti Evan marah kalo Nadia datang telat."

Lina mengangguk maklum. Dia menyesal tidak bisa melakukan apa yang Nadia mau. Tetapi sungguh, jauh di lubuk hatinya Lina masih berharap keluarganya bisa berubah lebih baik. 

Sepanjang perjalanan Nadia masih berpikir mencari solusi persoalan tadi. Kalau dia melawan Marco dan 'keukeuh' melanjutkan rencananya, mungkin perang dunia kesekian akan terjadi. Satu alasan lagi dia tidak sanggup melihat Lina sedih.

Lalu dengan cara apa lagi Nadia bisa mendapatkan uang? 

"Nad, Nadia!!" panggi Evan agak keras.

Hari ini Nadia fokusnya berantakan. Evan melihat itu sejak gadis itu sampai. 

"Eh, apa ... apa? Jangan ngagetin gue gitu, dong! Untung nggak ada riwayat sakit jantung gue," protes Nadia kesal.

"Lah, lo yang ngelamun terus. Dari tadi gue jelasin kayaknya nggak ada yang masuk ke otak lo," balas Evan tidak mau kalah.

Nadia bungkam. Dia memang nggak fokus hari ini. Aarrgh! Nadia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Susah banget mau lepas dari ayahnya. Hubungan Marco dan Lina sudah jauh dari kata cocok. 

"Kenapa lo? Rambut lo banyak kutunya?" Evan menatap jijik Nadia yang garuk-garuk kepala sampai frustrasi.

"Enak aja, lo. Gue nggak kutuan," semprot Nadia.

Tak diduga Nadia malah menyembunyikan mukanya di kedua lengan dan terisak. Evan terdiam, bingung dengan sikap Nadia yang tiba-tiba nangis sesenggukan. 

"Sorry, gue nggak serius tadi. Masa gitu aja nangis, lo." Evan mendekat. Tangannya terulur hendak mengusap bahu Nadia, tapi urung karena sepertinya dia sedang kesal entah karena apa. 

Cowok ini benar-benar tidak peka sama sekali. Dinginnya keterlaluan. Seharusnya Evan minta maaf dengan suara lembut. Ini malah ngegas, lagian Nadia nangis kan bukan gara-gara soal kutu. Nadia tambah frustrasi.

Nadia berhenti menangis setelah beberapa saat. Evan tidak bertanya atau memulai belajar. Sejenak tadi dia bingung harus bertindak seperti apa, jadi hanya diam memberi Nadia ruang. 

"Minum dulu, Nad." Evan memberikan segelas cokelat panas yang dibuatnya saat Nadia menangis. 

"Makasih. Gue pikir lo nggak peduli sama gue." Nadia meneguk minuman cokelatnya. Hangatnya pas dan menenangkan begitu turun ke kerongkongan.

"Lo pacar gue, masa gue nggak peduli. Gue ingetin kalo lo lupa. Gue udah nembak lo waktu itu." 

Nadia seketika gugup karena kejadian itu diungkit lagi. Waktu itu dia malah menganggap Evan tidak serius. Makanya dia santai saja, dan tidak memberikan jawaban apa-apa. Jangankan berpikir mau pacaran, masalahnya sudah cukup banyak, belum soal nilai-nilainya. 

Namun, detik ini Nadia tidak menyesali waktu itu diam saja. Karena perlahan ada sesuatu yang asing mulai dirasakan Nadia. 

Aku ingat kok, Kak. Dan gue mulai terbiasa dengan kebersamaan kita belajar bareng. Tapi gue takut. 

***

Evan menunggu Nadia di depan gerbang sekolah. Hari ini terpaksa tutor harus dimajukan waktunya. Ada jadwal bertemu dokter, dan Evan belum siap memberitahu Nadia soal itu. Evan masih konsisten merahasiakan kondisinya.

"Nad, lo udah ditunggu kayaknya," ujar Sora sambil menyenggol lengan Nadia. Yang disenggol cuek-cuek, aja. Malah sibuk dengan novel yang dia beli dua hari lalu. 

"Nadia!! Lo denger nggak, sih omongan gue?" Sora mengambil novel yang dibaca Nadia.

"Ra, apaan, sih?"

"Lo yang apaan? Gue manggil lo nggak denger. Tuh, udah ditungguin sama tutor lo." Sora menyorongkan novel ke pemiliknya.

"Sorry, gue lagi fokus baca. Kapan-kapan gue cerita sama lo." Nadia melihat Evan sepertinya cowok itu sudah tidak sabar dan mau marah. Apalagi coba sekarang?

"Ya udah, buruan sana susulin, mukanya udah kesel banget kayaknya," saran Sora lalu berlalu ke arah angkot yang mangkal.

Nadia buru-buru mendekati Evan.

"Lo nungguin gue? Ada apa, sih?" tanya Nadia begitu sampai di depan Evan.

"Tutornya sekarang, aja. Gue ada perlu nanti sore."

"Kenapa nggak kasih tahu sebelumnya?" sela Nadia gusar. Dia tidak bawa materi yang dibahas sebelumnya.

"Udah nggak apa-apa, gue punya salinannya di rumah. Sekarang buruan lo naik," perintah Evan tegas tanpa menerima penolakan.

Nadia panik, dia harus naik atau enggak. Tapi tubuhnya tidak bisa menolak perintah Evan, tangannya menerima begitu saja helm yang disodorkan Evan. Motor melaju tak lama setelah Nadia naik dengan posisi yang nyaman.

Nadia ingin bertanya sesuatu tetapi dia urungkan. Aneh saja, Evan tiba-tiba merubah jadwal, kadang menghilang begitu saja saat materi ada di tengah bahasan. Lalu Evan lumayan sering istirahat di UKS sekolah. Nadia ragu, apakah dia punya hak untuk bertanya soal itu? 

"Maaf, kalo gue hari ini serba dadakan dan buru-buru." Evan datang dengan nampan penuh dengan minum dan snack yang biasa dilakukannya.

"Sepertinya rumah lo nggak pernah kosong cemilannya. Selalu banyak kayak gini, ya?" Nadia mencomot satu roti isi pisang coklat, lalu dimakannya perlahan.

"Biasa, aja. Oiya, bentar lagi batas waktu gue hampir habis. Gue mau fokus ujian sesuai perjanjian di awal. Gue harap lo udah bisa ngatasin kesulitan yang lo hadapi." Evan meneguk jus buah jeruknya.

Nadia terperangah. Kunyahan mulutnya memelan. Entah kenapa ada rasa tidak rela saat Evan mengatakan akan stop jadi tutornya.

"Ok, gue akan berusaha lebih baik lagi. Jadi lo nggak kecewa sama gue." Nadia menghabiskan potongan terakhir rotinya, lalu meneguk air minum dari tumbler-nya. Tenggorokannya mendadak kering, menelan roti saja susah.

"Pikirin Pak Noval, jangan gue!" Evan membuka materi terakhir yang mereka bahas sebelumnya. 

Nadia mengangguk, dia mengamati soal demi soal yang baru saja diberikan Evan. Dulu dia seperti ada di jalan buntu saat melihat soal kimia seperti ini. Sekarang semua berbeda, Nadia seperti diajak berbicara dengan semua angka dan rumus kimia di sana.

Ya, akhirnya Nadia bisa memecahkan soal demi soal dengan lebih mudah. Bukan hanya Kimia, tapi dua mata pelajaran hantu lainnya, dia mulai bisa menaklukan. Fisika dan Matematika serta Kimia, tiga 'mapel hantu' yang sekarang sudah tidak lagi menakutkan. Tidak mudah karena terkadang dia masih kesulitan. Wajar, kan, semua harus melewati proses dulu. 

Evan lega melihat perubahan dari diri Nadia. Tiba waktunya dia menyingkir. Seperti rencana sebelumnya, dia akan menjalani semua pengobatan berikut ujiannya dengan cara spesial. Semua pelajaran dan ujian berlangsung online, Evan akan mengerjakan dari rumah sakit. Dengan keputusannya ini, kemungkinan besar, Nadia akan tahu rahasianya. Tetapi di awal dia sudah meminta orang tuanya beralasan mereka harus ke kota lain, sehingga Evan bisa melaksanakan rencananya. 

"Kak, gue sendiri aja pulangnya nggak usah dianter," tolak Nadia saat Evan mau mengantarnya lagi. Muka cowok itu sudah tampak lelah.

"Sekali ini turutin gue, Nad. Nggak usah banyak protes," pungkas Evan, lagi-lagi nada bicaranya tidak bisa ditolak. Tanpa banyak basa basi Evan mengambil kunci motor dan menarik tangan Nadia.

"Gue nggak mau lo sakit kayak kemarin." Nadia menarik tangannya. 

"Please, Nad! Gue memang capek, tapi habis nganter lo gue langsung tidur. Beres, kan?" Evan kembali meraih tangan Nadia.

Bersambung

Duh, belum apa-apa udah mau pisahan. Gimana, nih?

Thank you for reading, Guys. See you on the next part, ya.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro